Pemabok Cinta yang Menabok Pemabok Agama

 



 

Berbicara penulis fiksi dengan latar rural di zaman kiwari, satu nama ini sulit untuk diabaikan; ia adalah Mahfud Ikhwan. Alumnus sastra Universitas Gajah Mada ini belakangan  ramai diundang dalam berbagai seminar dan podcast tentang sastra dan kepenulisan. Pria yang mengaku menulis awalnya bukan merupakan/menjadi cita-cita ini telah menghasilkan beberapa karya, diantaranya Ulid, Kambing dan Hujan, serta kumpulan cerpen Belajar Mencintai Kambing.

Seperti pengakuan penulis dalam Cerita, Bualan dan Kebenaran, ide Kambing dan Hujan ada sebelum novel pertamanya. Mesikpun dalam prakteknya Kambing dan Hujan ia tulis bebarengan dengan novel pertamanya (UlidI).

Barangkali bisa dipahami mengapa ide Kambing dan Hujan malah lahir lebih awal ketimbang Ulid, novel yang awalnya disetting roman ala Romeo Juliet ini tidak lain merupakan pengalaman pribadi penulis. Meskipun kisah asmaranya berasal dari kisah pribadinya, tapi tidak untuk Nu-Muhammadiyah dan angka 65-nya, ia terinspirasi dari buku-buku Gerts Mohammad Iskandar, Jerome Pieters dan buku riset Islam- Jawa sejenisnya.

Maka tidak heran jika detail konflik seluk beluk dusun Tegal Centong yang dibangun di atas pondasi konflik Nu-Muhammdiyah menjadi kekuatan novel ini. Penulis memakai tiga prinsip “yang”; yang saya tahu, yang saya pahami, yang saya kuasai.

Kambing dan Hujan.

 Bagi orang yang belum pernah membaca karya Mahfud, barangkali buku baru yang saya sebut di atas bisa jadi spoiler bagus untuk mempelajari sekaligus membuktikan klaim-klaim dalam proses kreatif menulisnya dan dalam rangka itulah kemudian saya memutuskan untuk membaca Kambing dan Hujan.

Kambing dan Hujan  awalnya menceritakan kisah cinta Mif dan Fauzia, sepasang pemuda/i Dusun Centong tamatan sarjana dengan latar rural tahun dua ribu-an sedangkan konflik kedua tokoh paruh baya yang menurut pembacaan saya mendominasi serta menjadi kekuatan novel ini terjadi tahun 1965 . Mif dan Fauzia terhalang restu kedua orang tuanya karena  keluarga mereka masing–masing adalah tokoh Ormas NU dan Muhammadiyah. Persaingan serta konflik dua ormas itu khususnya di Centong digambarkan layaknya kambing dan hujan, tidak pernah bisa ketemu. Penulis menggambarkan secara historis bagaimana konflik itu bermula, cerita konflik  ia sematkan lewat tokoh Is alias Iskandar dan Mat alias Muhammad Fauzan yang tak lain adalah kedua orang tua Mif dan Fauzia.

Is dan Mat adalah dua sahabat karib, keseharian mereka sama-sama angon kambing. Keduanya pembelajar tekun. Karena perbedaan latar belakang ekonomi lantas keduanya berpisah. Mat meneruskan belajar di Pondok Pesantren sedangkan Is meneruskan aktifitas angonnya tanpa mengurangi intensitas belajarnya.

Kedatangan pemuda bernama Cak Ali sepulang belajar agama dari kota ke dusun Tegal Centong membawa kabar gembira sekaligus resah. Gembira karena pemuda seperti Is dan kawan-kawannya akhirnya menemukan guru sekaligus teman belajar, membuat resah karena ajaran yang dibawa Ali (Muhammadiyah) tidak sejalan dengan mahdzab warga Tegal Centong (NU).

Pada prosesnya peristiwa-peristiwa kunci yang dibangun  menimbulkan konflik, dendam turun temurun serta melahirkan segregasi luar biasa. Masjid Utara (afiliasi Muhammadiyah) sementara Masjid Selatan (afiliasi NU) selain menjadi tempat ibadah juga sebagai simbol segregasi masyarakat Tegal Centong.

Ada dua adzan yang bersaing, seperti beradu merdu. Menjelang shalat dimulai, segera terlihat dua rombngan jamaah yang bersimpang arah. Ya, ada dua umat di desa terpencil ini” (h. 223).

Setelah mengetahui rumitnya riwayat konflik panjang kedua Bapaknya. Berbagai cara ditempuh Mif dan Fauzia untuk mengurai benang kusut. Hingga pada akhirnya ia menemukan pengurai itu pada sosok pakde War (Anwar). Anwar muda menghabiskan masa mudanya ikut berjuang bersama Cak Ali, Is dan kawan-kawannya mendirikan masjid Utara, masa dewasanya menyebrang ke kubu Mat alias pak Fauzan. Salah satu faktor tersambungnya hubungan mereka karena menjadi saudara ipar dan ikut berjuang menjadi pengajar di Madrasah Selatan.

Pakde War yang mempunyai kedekatan pada kedua orang tua Mif dan Fauzialah yang pada akhirnya mampu menyatukan mereka, lewat sebuah peristiwa koflik perkelahian hebat antara Mif dan Fuad, kakak fauzia. Momen itu digunakan betul oleh pakde War untuk mewejang kedua tokoh masyarakat Centon Utara dan Selatan itu.

betapa kalian tak pernah menjadi lebih tua dari empat

puluh tahun lalu. Kalian menyangka telah menjadi pembimbing umat

dengan menjadi imam di masing-masing masjid dan guru di masing-masing

sekolah? Salah. Kalian masih tetap dua gembala yang ribut

karena soal segenggam rumput. Atau ini masa depan yang kalian

rancang?”  (h. 192).

 

Pakde War sekaligus menjadi pemungkas epik dari sekian panjang sajian sebuah fenomena cara beragama fanatik lewat masyarakat Centong Utara dan Selatan. Masih dalam rangka mewejang pak Fauzan dan Pak Is.

Karena mengaji di masjid yang berbeda, sekolah di tempat yang

berbeda, diajari hafalan dan bacaan shalat yang sedikit berbeda yang

satu ‘ushalli’, satunya lagi pakai ‘allahumma bait’; satunya pakai

‘syayyidina’ saat tasyahud, satunya tidak], diajari renik-renik rukun

dan syarat puasa yang mungkin juga tak sama, sangat mungkin

keduanya akan jadi orang-orang dewasa yang berbeda. Dan, apa

salahnya berbeda? Tuhan menciptakan makhluk juga berbeda-beda.

Manusia juga berbeda-beda; beda rupa, suku, golongan, bahasa.

Jadi, tidak ada yang salah menjadi berbeda. Dan, mereka memang

menjadi dua orang yang berbeda. Tapi, karena apa yang kalian

lakukan—atau apa yang kalian tidak lakukan—anak-anak kalian jadi

dua orang yang berbeda sekaligus saling ingin melenyapkan.” (Hal;293)

 

Tentu percakapan di atas tak pernah ada jika tidak ada kisah cinta Mif dan Fauzia, perjuangan cinta kedua sejoli sukses meruntuhkan keteguhan kalau tidak dikatakan kebebalan kedua orang tuanya, frasa judul kritik sastra Wahyu Kriss A.W.  atas novel ini begitu tepat menggambarkannya “Ketika Pemabok Cinta Sukses Menabok Pmeabok Agama”.

Ditinjau dari sudut pandang roman, porsi novel ini tak terlalu menitik beratkan pada kisah asmara secara langsung. Meminjam kalimat penolakan dari editor  penerbit yang sempat menolak novel ini ” Mas Mahfud hanya memperalat dua remaja itu ( baca; Mif dan Fauzia) ini sebenarnya adalah kisah dua orang paruh baya”.

Penulis memang sudah memutuskan tidak akan memperkosa karyanya untuk menjadi  karya roman dengan target pembaca millenial muslim dan barangkali pembaca (atau setidaknya saya sendiri) sepakat bahwa itu adalah keputusan tepat; ganjaran pemenang sayembara DKJ 2014 menjadi bukti. Buku ini menjadi penting untuk menggelitik diri kita masing-masing yang hidup di tengah fanatisme golongan berlebihan.

 

Judul Buku

:Kambing dan Hujan

Pengarang

:Mahfud Ikhwan

Penerbit

:Bentang Pustaka

Cetakan

:I Mei 2015

TebalBuku

:vi+ 374 halaman

Peresensi

:Fathan Zainur Rosyid