Resensi buku Seks, Tuhan dan Negara oleh Miftahul Huda |
Tubuh Perempuan dalam Streotip Negara dan Agama
Julia Kristeva,
dalam Powers of Horror (1980), mengatakan bahwa perempuan dianggap abject—di
luar subjek dan objek—karena struktur bahasa mereka tidak bisa diterima
laki-laki, tidak beraturan. Dale Spander mengamini itu, melalui bukunya: Man
Made Language (1980), ia menemukan hal-hal yang perkasa dan formal
dikaitkan dengan tubuh laki-laki, sedangkan hal-hal yang lemah dan non-formal
dikaitkan dengan tubuh perempuan.
Namun bagi Soe
Tjen Marching, “laki-laki” menambah-gunakan agama dan negara untuk menundukkan
perempuan. Melalui buku
kumpulan artikelnya: Seks, Tuhan, dan Negara (2020), Marching
menunjukkan bagaimana “laki-laki” bekerja keras untuk bisa mengontrol tubuh
perempuan. Kadang kala tubuh itu (perempuan) memicu birahi, bahkan juga berguna
sebagai alat politik.
Negara kadang
menjadi lembaga yang sok tau soal kebebasan perempuan. Mereka
mengeluarkan peraturan dan menelurkan kebijakan dengan dalih ingin membebaskan
perempuan. Namun apa yang terjadi jika si pemilik tubuh tidak dilibatkan dalam
penyusunan kebijakan tersebut? Ya, bukan kebebasan yang didapat, melainkan
keresahan.
Marching
menjelaskan itu dalam esai Hukum Pelarangan Burqa: Membebaskan Perempuan? (h.48).
Pemerintah Perancis melihat burqa
sebagai bentuk fundamentalisme agama, kekangan, dan bentuk kemunduran. Ini sama
sok tau-nya ketika Belanda “berkunjung” ke Nusantara, melihat perempuan
Bali bertelanjang dada lalu dianggap belum tercerahkan. Kemudian mereka mengenalkan
jenis pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Anehnya, sekarang lambang kebebasan adalah
pakaian terbuka.
Persoalan burqa
bahkan dicari asal-usulnya, apakah ia dari agama Islam, Yahudi, atau tradisi
non-agama? Tapi, dalam esai Burka: Aturan Agama Apa? interpretasi patriarki selalu lebih dulu mewarnai
pakaian daripada aspek kenyamanan dan kebahagiaan si pemakai. Dengan demikian (lagi-lagi)
pemilik tubuh dilenyapkan dan tak diberi kesempatan menentukan pilihan.
Sama halnya
dengan slogan “Kebaya Truly Indonesia”,
sebagai kontra-narasi atas jilbab. Marching bertanya dengan penuh keraguan
dalam esai Kebaya Vs Jilbab: Identitas Indonesia?, apakah penindasan
terhadap perempuan hilang dengan mengenakan kebaya? Atau malah membawa kita
terjerumus ke dalam—istilah Kuntowijoyo (2006)—komersialisasi budaya?
Ini semakin
menegaskan bahwa tubuh perempuan yang menjadi persoalan serius, bukan jilbab
atau kebaya. Keduanya datang bukan untuk membebaskan, melainkan mengontrol
tubuh perempuan, dan negara hadir untuk melegitimasi. Ambil saja contoh MUI
tahun 2012 yang mencerca “jilboob”, menganggapnya sebagai usaha memamerkan
payudara; tapi mereka alpa terhadap ketatnya pakaian yang dikenakan laki-laki
(h.194).
Apa jadinya jika
negara “laki-laki” tak bisa mengontrol tubuh perempuan? Pasti terjadi
keresahan, entah resah karena degradasi moral, spiritual, atau meresahkan
nafsu-birahinya sendiri. Tapi yang pasti, negara selalu bisa mempolitisasi
keresahan masyarakatnya. Dengan demikian, negara hanya perlu memajang tubuh
perempuan untuk membawa ke arah mana masyarakat akan digiring.
Kemunculan
Undang-Undang Anti-Pornografi adalah salah satu bentuk lanjut penundukan negara
mengenai tubuh perempuan. Dalam esai Penanggulangan Pornografi: Hanya Basa-Basi,
Marching berteriak pada kita bahwa perempuan selalu menjadi objek
pornografi. Ia mencontohkan bagaimana terganggunya masyarakat dengan foto-foto
dan pakaian ketat perempuan hingga harus di-Undang-kan. Ini yang memicu abainya
masyarakat terhadap pelaku perkosaan dan cenderung mengejar korban sebagai
penyulut nafsu (victim blaming). Padahal tidak sedikit korban perkosaan
yang mengenakan pakaian tertutup (h.103).
Bagaimana dengan
ekspresi seni, misalnya lukisan atau seni pahat yang menampilkan perempuan
telanjang atau berpenampilan sensual? Masyarakat tetap menafsirnya sebagai
tindakan pornografi, bukan bagian dari seni (h.105). Berkaitan dengan ini,
Laksmi Pamuntjak menceritakan dengan apik melalui novelnya: Kekasih Musim
Gugur (2020), bagaimana tubuh perempuan dikontrol dan “dicabik-cabik” dalam
bentuk patung dan gambar.
Tapi yang sering
disebut seks atau tindakan pornografi juga sempat dimunculkan dengan sengaja
oleh negara. Itu adalah senjata pamungkas ketika isu yang terlalu besar tidak
bisa dikontrol. Keluarkanlah tubuh perempuan, pajang ia di depan rakyat,
seketika isu yang dianggap besar tadi tampak kecil bahkan terhalangi sepenuhnya
oleh tubuh perempuan.
Marching, dalam
esai Luna Maya dan Ariel: Anugerah Kemenangan Politik, menyatakan bahwa
“Negara yang seksualitasnya terbungkam,
isu seks bisa meledak sebagai perkara nasional, karena selalu berkaitan dengan
moralitas.” Ketika isu seksual dilambungkan, maka akan mampu meredam isu korupsi dan politik suatu negara.
Hal tersebut
pernah dilakukan oleh Presiden Ferdinand Marcos ketika kekuasaannya di Filipina
terguncang, seketika televisi dipenuhi adegan seksi; lalu terpancinglah
kemarahan publik dan korupsi presiden terlupakan. Hal tak jauh beda juga
dilakukan oleh Mahathir Mohammad ketika dihujani kritik oleh mahasiswa.
Tiba-tiba Menteri Keuangan—Anwar Ibrahim—dijebloskan ke penjara atas tuduhan
praktek sodomi, dan isu korup Mahathir hilang (h.116).
Sedangkan di
Indonesia, vidio seks mudah sekali digunakan untuk menggiring kemarahan publik.
Ini berkaitan dengan berjubalnya kelompok reaksioner dan centeng moral.
Sebenarnya mereka dilema, di depan publik mereka marah-marah terhadap perilaku perempuan;
tapi di dalam kamar, vidio tersebut terus diburu.
Tapi negara tetap
pemenangnya, publik bisa disihir dengan tubuh perempuan. Tetapi ketika sudah puas
bermain-main, negara akan kembali menghakimi perempuan. Terbaru, kasus vidio
yang mirip Gisel muncul bertepatan dengan isu Omnibus law. Animo publik yang tertuju pada
vidio tersebut
tidak bisa dibilang kecil.
Soe Tjen Marching
dalam buku ini telah menghadirkan kritik terhadap seks, agama dan negara,
dimana ketiganya lekat dengan patriarki. Sekalipun ada klasifikasi artikel
berdasarkan Seks, Tuhan, dan Negara (seperti judulnya), tapi saya lebih memilih
untuk merantai ketiganya dalam kacamata sebagai upaya penundukan
perempuan.
Ada beberapa esai
yang disampaikan Marching dengan penuh kemarahan, sehingga kejernihan maksud
agak tercemar. Saya menduga ini adalah ungkapan seorang yang mengalami represi berlapis (jika
saya boleh mengungkap): entis Tionghoa, dituduh PKI, dan perempuan. Namun itu
tak menjadikannya tidak laik baca. Sebaliknya, kita harus
mendengarkan suara dari orang yang paling dekat dengan penindasan untuk kritis melihat apa yang sebenarnya
terjadi di sekitar kita.
Judul :
Seks, Tuhan, dan Negara
Penulis :
Soe Tjen Marching
Penerbit : Globalindo, 2020
Tebal :
265 hlm; 14
x 20 cm
ISBN :
9786239334628
Peresensi : Miftahul Huda