Cak Dlahom Dalam Kisah-Kisah Spiritual di Bulan Ramadan
“Batu tak sanggup jadi Manusia, karena merasa kalah keras dibanding hati manusia”- (H. 206)
Blak-blakan saja, baru
dari judulnya saja, saya langsung sudah penasaran “kira-kira apa yang
diceritakan di buku ini ya?” Begitu buku tiba, langsung saja saya sambar dan
membaca bagian pengantar terlebih dahulu. Ternyata buku ini merupakan kumpulan
esai karya Rusdi Mathari yang dimuat di situs web Mojok.co sebagai serial drama
Ramadan di tahun 2015-2016, dan sialnya saya baru tahu di tahun 2020.
Dalam
membaca buku ini, terus-terusan saya dibuat merasa “loh, kok benar juga”,
“ternyata aku baru sadar”, “astaghfirullah, ternyata aku…”, dan ekspresi mlongo
lainnya. Dari setiap kisah yang disajikan, overall membuat saya
tertohok dengan lontaran tutur kata Cak Dlahom
yang terkesan nglantur, namun hal itu nanti justru mampu membuat pembaca
menjadi berpikir lebih dalam tentang hakikat kehidupan.
Pembaca
akan dibawa ke suasana perkampungan yang jauh dari peradaban kota. Kampung
dengan hiruk-pikuk laiknya pedesaan pada umumnya, berlatar belakang cenderung
agamis. Buku ini membagi esai-esainya di dua Ramadan menjadi dua bagian.
Kita
akan diakrabkan dengan beberapa tokoh fiktif, diantaranya ada Cak Dlahom yang
dikenal ketidakwarasannya namun perkataannya selalu dipertimbangkan oleh
masyarakat, Mat Piti yang bukan orang melarat dan juga tidak kaya namun dikenal
dengan kedermawanannya, Romlah anak dari Mat Piti yang kecantikannya menggaung
di penjuru desa, serta Pak Lurah, Pak RT, Dullah, Istri Bunali, Sarkum, Sunody,
dan Gus Mut dengan karakternya masing-masing.
Belajar Ikhlas dari Sepanduk Masjid
Dari menariknya
kumpulan esai di Ramadan pertama , ada satu yang paling menarik yakni ketika Cak
Dlahom mengatakan
“sesuatu yang diwajibkan adalah sesuatu yang manusia tidak sukai dalam mengerjakannya, kalau manusia suka mengerjakannya untuk apa diwajibkan?”
Lanturan
kalimat tersebut keluar dari keresahan Cak Dlahom terhadap sepanduk yang
terpampang di pagar masjid dengan tulisan “selamat datang Ramadan, kami rindu
padamu”.
Cak Dlahom
menuturkan dan memberikan saran kepada Mat Piti yang meminta kejelasan dari
kalimat sepanduk teresbut. Menurut Cak Dlahom, Mat Piti seharusnya berani berterus
terang kepada Allah, bahwa dirinya tidak merindukan Ramadan. Mat Piti harus
berani mengakui bahwa sejujurnya untuk melakukan puasa itu bukanlah suatu hal
yang murni berasal dari perasaan suka. Kemudian Cak Dlahom menjelaskan, bahwa meskipun
tidak suka, Mat Piti tetap harus ikhlas melakukannya, dengan demikian
derajatnya akan tinggi di hadapan Allah Swt.
Membangun Masjid atau Membangun Masyarakat?
Lalu, di
Ramadan kedua, menurut saya di bagian ini lebih-lebih spektakuler dibanding
esai-esai di sesi Ramadan pertama. Sulit untuk menentukan satu yang paling
membuat saya terheran-heran. Namun saya akan tetap mengambil satu contoh saja, agar
selebihnya untuk para calon pembaca bisa melanjutkan kepenasarannya.
Diceritkan
bahwa di desa Ndusel terdapat seorang janda yang akrab disapa dengan Istri
Bunali, ia memiliki satu anak yang seusia dengan anak yang berjenjang sekolah
menengah pertama, Sarkum namanya. Boro-boro menyekolahkan Sarkum, untuk sekadar
keperluan sehari-hari saja Istri Bunali kesulitan untuk memenuhi. Bahkan gaji
kerjanya sebagai pembantu rumah tangga di tempat pak lurah masih kurang untuk
melunasi hutang yang sudah tercatat di mana-mana.
Oleh
adanya keadaan keluarga yang masih seperti itu, membuat Cak Dlahom bungkam jika
dimintai pendapat tentang pembangunan Masjid. Di suatu hari, Cak Dlahom
menyulut keresahan warga yang tengah salat di Masjid, dengan berlarian
bolak-balik di jalan depan masjid sambil berteriak-teriak ”celaka, celaka!” Tak tahan dengan kelakarnya Mat Piti pun
menghampiri Cak Dlahom untuk meminta keterangan atas perbuatannya. Kemudian
mereka berdialog.
Cak Dlahom
menjelaskan keadaan yang sedang dialami oleh Istri Bunali, sedangkan masyarakat
abai dengan keadaan tersebut. Alih-alih acuh, mereka malah sibuk mencari hak
untuk mendapatkan surga dan hak untuk terhindar dari neraka dengan cara terus
menerus beribadah. Lalu keluarlah kalimat mutiara dari mulut nglanturnya Cak Dlahom
”salatmu dan sebagainya adalah urusanmu dengan Allah, tapi Sarkum yang yatim dan ibunya yang kere mestinya adalah urusan kita semua”.
Begitulah
kiranya gambaran dari buku ini. Semua dari kita pasti mempunyai sisi baik-buruk
dalam pandangan setiap orang. Pun dengan pemikiran yang telah kita yakini
selama ini secara syariat, bisa saja mempunyai bias yang kuat ketika dipandang
secara hakikat. Sosok Cak Dlahom selazimnya dibutuhkan di tengah-tengah
masyarakat yang bimbang untuk menjadi penyeimbang.
Kisah-kisah
yang disajikan dalam kumpulan esainya Rusdi Mathari ini beberapa merupakan diadaptasi
dari cerita yang Cak Nun, Syekh Maulana Hizboel Wathany Ibraim, kemudian ada
juga yang terinspirasi dari kisah-kisah Fariduddin Attar, kitab addurunnafis,
dan kisah Rabiah al-adawiyah.
Cerita-cerita
tersebut kemudian digubah oleh penulis dengan gaya bahasa yang ringan sehingga
mudah dipahami dan diterima di semua kalangan. Karena esai tersebut merupakan
adaptasi kisah dari tokoh-tokoh yang familiar, mungkin nanti bagi pembaca yang
sudah pernah mengetahui cerita secara detailnya akan terkesan membosankan.
Namun,
dari saya pribadi untuk hal tersebut tidak mengurangi keasyikan dalam membaca
di tiap kisah per kisah. Dengan ini saya menyatakan buku Merasa Pintar Bodoh Saja Tidak Punya, recommended untuk
dibaca. Semoga kita selalu dipertemukan dengan Cak Dlahom dalam kehidupan nyata agar hidup kita lebih
bermakna. Sekian, terima kasih J
Judul : Merasa Pintar Bodoh Saja Tidak
Punya
Penulis : Rusdi Mathari
Penerbit : Buku Mojok
ISBN : 978-602-1318-40-9
Tebal : 224 hlm.
Peresensi : Ahdina Constantinia