![]() |
Resensi Buku Panggilan Tanah Air oleh Fathan Zainur Rosyid |
Problem Agraria Problem Kita Bersama
Di Indonesia
tidak banyak kita bisa menyebut pakar Agraria, Noer Fauzi Rahman satu diantara
segelintir itu. Bukunyapun bisa kita temukan
berserakan di berbagai toko buku, beberapa diantaranya berjudul ; Petani dan
Penguasa (1999) buku yang
memaparkan dinamika sosio-politik agraria di Indonesia dan menyoal relasi petani
dan penguasa dari zaman feodal hingga pasca reformasi. Bersaksi untuk
Pembaruan Agraria (2003), dan Land Reform Dari Masa ke Masa (2012). Tentu kesemua buku tersebut membahas tentang tetek
bengek soal agraria, persoalan yang masih menjadi PR bangsa ini sampai sekarang.
Pertanyaannya
kemudian apa yang ingin disampaikan Noer Fauzi dalam buku tipis berjudul Panggilan tanah air ini? Dalam pengantarnya dia mencoba mengajak pembaca
untuk sejenak berimajinasi – meromantisir lagu – lagu Nasional yang dulu pernah
diajarkan guru-guru kita sewaktu kecil macam Rayuan Pulau Kelapa dan Indosesia
Pusaka karya Ismail Marzuki (1914-1958), Tanah Airku karya Sarijdah Niung Soedibio atau akrab disapa Ibu Sud (1908-1993), lagu yang
menggambarkan Tanah Air yang indah alamnya- subur tanahnya-masyhur sampai
dipuja – puja Bangsa, seakan tidak ada
Negeri yang lebih elok dibanding Indonesia. Singkatnya Indonesia adalah
surga dunia.
Setelah
selesai mengajak pembacanya berimajinasi melalui lagu – lagu karya pengarang lagu ternama tadi, selanjutnya Noer Fauzi mengajak pembaca untuk membuka mata dan melihat dunia nyata, Indonesia Tanah Air kita
hari ini yang mana rakyatnya tidak lagi berdaulat atas sumber daya alamnya.
Noer Fauzi berangkat dari TAP MPR RI NO. IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam isinya kurang lebih sebagai berikut :
Noer Fauzi berangkat dari TAP MPR RI NO. IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam isinya kurang lebih sebagai berikut :
(i) Ketimpangan (terkonsentrasinya) penguasaan tanah oleh segelintir perusahaan,
(ii) Konflik agraria yang menjamur diberbagai wilayah Indonesia,
(iii) Kerusakan ekologis yang parah membuat alam tidak lagi bersahabat dengan rakyat.Tiga masalah ini hingga hari ini masih menghantui kita dan sayangnya sampai hari ini tidak ada tanda-tanda upaya serius dari Pemerintah untuk mengatasinya.
Noer
Fauzi melihat adanya sebuah gejala yang dia sebut sebagai reorganisasi ruang,
bahwa sebagian situasi tanah air yang porak-poranda tidak lepas dari efek
kapitaslime. Yakni orientasi keuntungan kepada pemilik alat produksi membuat mesin
industri dituntut bekerja terus menerus sampai terciptanya komoditi yang dinikmati secara massal. Cara kerja sistem ini sebenarnya terletak pada bagaimana
ia mampu meenjadikan rakyat sebagai konsumen. Sayangnya sebagian dari kita mengamini bahwa
sistem kapitalis ini merupakan cara kerja yang given.
Dalam
buku ini pembaca akan menemui bagaimana sistem kapitalis ini bekerja secara terstruktur –sistematis-massif. Ironisnya negara memfasilitasi ekspansi kapitalisme sampai kepelosok desa. Padahal hal tersebut
bertentangan dengan cita-cita Republik Indonesia yakni negara yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Ajakan
menjadi pandu untuk tanah air ini tidak hanya semata
ditujukan untuk aktivis, pemuda maupun pegiat LSM, melainkan seluruh elemen bangsa ini, sekalipun ia berada di linkungan penguasa. Hal ini dimulai dari hal yang
paling mendasar misalnya mereintepretasi ulang makna “Pemerintahan” yang ia kutip dari tulisan Hendro Sasongko (1999): “Pemerintahan
sebagai mitos yang harus diterima sebagai ketentuan bagi rakyat, yang nyaris
diterima begitu saja dan dianggap brsifat alami.
Dalam mitos yang sekarang masih meelekat sebagai wacana publik itu, pemerintahan merupakan sebuah pertunjukan tentang bagaimana mengelola sumber - sumber daya alam, orang, barang, dan uang, dengan para pengelola negara sebagai pemain panggungnya dan rakyat sebagai pengamat dan pembayar karcis pertunjukan. Partisipasi rakyat, paling jauh adalah sebagai komentator atau kritikus pertunjukan.
Ajakan pembaruan cara dan agenda pemerintahan dengan demikian bersifat mudah-mudahan, penuh harap pada para pengelola negara yang baru serta pada ketentuan – ketentuan yang dihasilkannya; sebuah koor nyaring dari bawah panggung tentang reformasi, yang tetap takzim pada akar kata itu: perintah. (hal.45)”. Dari deskripsi pemerintahan diatas pembaca diajak untuk berfikir kritis bahwa minimal pemerintahan idealnya mempunyai prinsip partisipatoris / (top down,bottom-up).
Diakhir
buku ini terdapat lampiran beberapa ringkasan
founding people’s seperti Soekarno (1933) “Mencapai Indonesia
Merdeka”, Tan Malaka (1925) Naar de Republiek Indonesia” , Mohammad
Hatta (1932) “Kea rah Indonesia Merdeka”
dan beberapa lampiran lagu Nasional serta putusan kongres pemuda. Pembaca
mencoba diingatkan kembali tentang cita-cita Republik ini. Sekilas memang buku
ini menyoal problem multidimensi negeri ini lewat satu pintu khusus kajian tema
yakni agraria.
Setelah
membaca buku ini, kemungkinannya ada dua. Pembaca akan tertarik hingga kemudian menekuni
kajian agraria ini atau sebaliknya dibuat kecewa karena memang pembaca tidak
tertarik dengan kajian agraria. Bagi saya pribadi walaupun buku ini terbit
belakangan dibanding karya Noer fauzi yang lain, tapi sebenarnya buku ini
adalah pintu awal kita untuk sengaja “menyeburkan diri” dalam samudra khazanah kajian agrarian. Karena selama reforma agraria
sejati belum dilaksanakan maka selama itu pula sebenarnya kita melanggengkan
kesenjangan ekonomi.
Judul Buku : Panggilan Tanah Air
Penulis : Noer Fauzi Rahman Ph.D
Penerbit : Prakarsa Desa
Tahun Terbit : 2015
Tebal Buku : Vii+ 144 halaman, 14x 20 cm
Peresensi : Fathan Zainur Rosyid