Saat Setan Lebih Baik Melakukan Demokratisasi Dibanding Manusia


Judul : Demokrasi dan Sentimentalis
Penulis : F. Budi Hardiman
Penerbit : PT. Kanisius
Cetakan : Pertama, Tahun 2018
Tebal : 304 Hal
ISBN : 978-979-21-5550-1
Peresensi : Ahmad Muqsith

Saat Setan Lebih Baik Melakukan Demokratisasi Dibanding Manusia


Jika anda ingin menjadi politikus, atau menjadi pemimpin di Indonesia, atau hanya cukup mengkritisi model-model kepemimpinan yang ada dalam masalah demokratisasi di Indonesia, Buku ini harus anda baca.

Buku ini muncul disaat yang tepat, paska pilkada Jakarta yang menguras energi pegiat agama. Baik yang mengkampanyekan agama sebagai alat pemenangan politik dengan segala sentimentalitasnya, maupun pegiat yang sibuk menahan rajutan baju kebangsaan bermotif batik keagamaan agar tidak sobek terlalu lebar. Penulis, Budi Hardiman, membuka buku dengan asas-asas bangsa setannya Immanuel kant. Filsuf jerman ini dijadikan pondasi argumen utama buku ini, bahwa pondasi demokrasi haruslah penalaran publik (public reasoning), tidak boleh menggunakan sentimen emosional, termasuk agama.

Bangsa Setan-Setannya Kant

Bangsa setan dalam buku ini—sesuai gagasan Kant—memang dinilai tidak "bermoral", tetapi malah mereka punya alasan rasional yang kuat untuk patuh pada konstitusi sebagai pemeliharaan diri, inilah yang disebut sebagai moralnya bangsa setan. Berbeda dengan manusia, mereka terjebak dualisme. Pertama moral konstitusi yang universal, kedua moral yang terikat kelompok sosial tertentu (h.37). Dualisme inilah yang selalu jadi batu sandungan demokratisasi di berbagai dunia, termasuk Indonesia.

Buku ini secara konseptual juga menjelaskan hambatan-hambatan yang dihadapi suatu negara, terutama bagi yang masyarakatnya plural-kompleks yang terdiri dari utility-maximizers. Setiap kelompok sosial tentu punya moral dan kepentingannya masing-masing, negara berkewajiban mengatur semua kepentingan-kepentingan tersebut agar tidak saling bertabrakan (management of self interest). Hal ini mencerminkan gagasan Kant dalam buku Zum Evigen Freiden (untuk perdamaian abadi). Bukunya terkait pengaturan hak dasar individu untuk mengejar kepentingan pribadi tanpa merusak hak individu lainya di tengah kompleksitas kepentingan diri (h.79).

Hal ini sangat menarik jika melihat praktik politik primordial yang ada di Indonesia. Moral kelompok yang dikonsepsikan sesuai nilai agama atau budaya lokal tertentu, sering menjadi pancingan sentimentalitas politisi dalam pemilu. Bahkan di daearah tertentu, isu berdasarkan letak geografis muncul saat Pilkada, dikotomi antara masyarakat “daratan” dan masyarakat “Kepulauan” terjadi di Sulawesi Tenggara. Di sinilah wasit benturan kepentingan masyarakat kompleks yang paling ideal adalah konsep negara hukum demokratis.

Budi Hardiman selanjutnya menambahi gagasan bangsa setannya Kant dengan pendapat Habermas melalui bukunya, Between Fact and Norm. Keadilan yang memenejemen kepentingan pribadi adalah batas minimalisnya, lebih dari itu, keadilan harus mengindahkan gambaran anggota masyarakat kompleks tentang yang baik, sehingga bukan hanya kebebasan individu yang terjamin, melainkan juga ungkapan solidaritas sosial. Gagasan seperti ini harus dipahami dengan kacamata bahwa negara adalah suatu entitas politis dan etis sekaligus (h.85).

Populisme sebagai Konsekuensi Demokratisasi

Kemudian di Bab 9, melengkapi kerumitan masyarakat demokratis, dijelaskan tentang masyarakat resiko (Ulrich Beck) sebagai konsekuensi logis upaya-upaya demokratisasi. Kemudian resiko yang muncul ini diulas dengan berbagai teori kekerasan mulai dari Wolf sampai Galtung. Hal ini penting sebagai bekal membaca bab selanjutnya terkait aksi kekerasan massa yang menjadi buih dari gerakan populisme, yang bukan hanya saja berkembang di Indonesia, melainkan juga di beberapa negara besar eropa bahkan Amerika.

Menanggapi kompleksitas hal tersebut, salah satu opsi yang disarankan penulis adalah penajaman diskursus masyarakat post sekular. Argumen ini ia sandarkan pada argumen Habermas yang titik tolaknya adalah "keterbukaan komunikasi". Dalam konteks demokrasi dan sentimentalitas, maka komunikasi terbuka dan saling menghormati antara masyarakat religius dengan masyarakat sekuler perlu dioptimalkan.

Sekali lagi, meski buku ini seolah titik berangkatnya polarisasi konflik Pilkada Jakarta, tetapi penulis dengan teliti dan penuh kehati-hatian menunjukan bahwa gejala kekuatan politis religius adalah fenomena global, bukan hanya terjadi di Indonesia. Misal protes gereja katolik di Amerika terkait desakan anti aborsi, kaum Sikh di Inggris dan Amerika yang ingin dibebaskan dari wajib helm, Antroposofi di Jerman yang menolak pemasangan salib di kelas sampai pelarangan pemakaian hijab di Prancis (h.202).

Fenomena kekuatan agama yang pernah diramalkan akan menjadi sekedar artefak usang pada awal tahun 1980-an ternyata salah. Meski sudah didosmetik-kan, agama nyatanya masih menjadi kekuatan politis yang mampu menekan pemerintah untuk menegakkan hukum sesuai norma moral partikular mereka. Masalah ini kemudian diulas menggunakan kacamata Habermas, terutama konsennya terhadap masalah seputar hubungan antara kelompok agama dan kelompok sekuler di ruang publik.

Selanjutnya, agar sesuai konteks keindonesiaan, penulis mengulas pemikiran Nur Cholis Madjid terkait masyarakat madani. Menurut Madjid, dalam demokrasi pluralistis tidak seharusnya warga menghilangkan identitas keagamaan yang wajar untuk dimiliki, melainkan melarang pemutlakan satu-satunya identitas agama di hadapan identitas lainnya (h.226). Dalam Bab sebelumnya, negara diminta menjadi wasit yang adil sekaligus tegas jika ada upaya masyarakat melakukan pemutlakan identitasnya yang mengakibatkan kerugian kelompok atau individu beridentitas lain.

Bab terakhir mengulas secara teorotis filsafat konstruktif untuk masyarakat majemuk. Tentu buku ini menyediakan teori-teori yang bisa jadi pertimbangan bijak para pengambil kebijakan publik. Mengingat selalu ada lubang luka setiap pemilu selesai digelar, buku ini mendesak untuk beberapa hal. Pertama, memahami gejala populisme agama di dunia yang pondasinya sentimentalitas. Kedua, peta menuju jalan demokratisasi masyarakat yang majemuk. Ketiga, perbincangan diskursus upaya sekularisasi di Indonesia yang masyarakatnya plural.

*Ahmad Muqsith, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia, Direktur Umum Minerva Foundation