Menilik Kebijakan Reforma Agraria Secara Kritis

Resensi buku Prespektif Agrarian Kritis; Telaah Teori, Kebijakan, dan Kajian Empiris oleh Fathan ZR


Menilik Kebijakan Reforma Agraria Secara Kritis

Tanah hasil landreform yang dijalankan pemerintah sejak medio 60-an kembali ke tangan segelintir orang/kelompok/institusi/korporasi. ketika itu sebenarnya agenda reforma agraria belum sepenuhnya selesai alias masih dalam tahap proses distribusi-redistribusi.

Reforma agraria kemudian menjadi diskursus yang dihindari untuk dibicarakan secara terbuka paska  era Soekarno  karena takut dicap PKI.  Bahkan beberapa peneliti agraria seperti Gunawan Wiradi mengaku kesulitan melakukan penelitian karena masyarakat cenderung apatis dan mencari aman jika diwawancarai soal agraria.

Melihat cerita singkat di atas, membaca buku “Perspektif Agraria Kritis Telaah Teori, Kebijakan, dan Kajian Empiris” karya Muhammad Shohibuddin membuat sayaseperti melihat oase di tengah padang pasir. Alih –alih hanya membahas agraria sebagai objek kajian, shohibuddin lebih meletakkannya sebagai perspektif kritis.
Adapun  perspektif kritis yang dimaksud adalah 
sebuah pendekatan interdisipliner dan komparatif dalam memandang sumber-sumber agraria, relasi –relasi teknis dan sosial terkait dengannya, serta tata pengurusannya (governance) yang dapat terwujud dalam berbagai isu kebijakan maupun dinamika sosial, kesetaraan ekonomi dan keberlanjutan ekonomi” (H. 6).

Reforma agraria Sejati 


Reforma agraria Genuine dengan reforma agraria pseudo selanjutnya mengalami perdebatan dari waktu ke waktu secara sengit. Menurut para ilmuan perdebatan ini sangatlah penting untuk melihat sejauh mana wacana dan praksis reforma agraria menyentuh akar substansi permasalahan yang meliputi beberapa diantaranya; keadilan sosial dan ekonomi, kesetaraan akses sumber- sumber agraria (SSA) dan keberlanjutan SAA.

Secara sederhana prinsip reforma agaria sejati adalah distribusi-redistribusi tanah (land reform) jika sebalikanya (non distribusi–redistribusi) maka termasuk reforma agraria palsu, apalagi rekonsentrasi–monopoli tanah, tentu hal itu bisa disebut anti-reforma agraria. Lalu apakah kualifikasinya sesederhana itu?  Tentu tidak, pembaca bisa membaca lebih lanjut soal ini.
Di luar perdebatan di atas shohibuddin menawarkan dua kriteria sebagai indikator reforma agraria sejati yang ia kutip dari pendapat Borras dan Franco (2010).
Pertama transfer actual, yakni sejauh mana kebijakan pembaruan relasi sosial agraria dapat memastikan bahwa manfaat ekonomi dan politik benar-benar tertuju pada kelompok yang dituju, alih –alih hanya memberikan hak legal atas aset agraria (misalnya sekedar pemberian sertifikat hak tanah). Kedua  dampak redistribusi, menuntut arah transfer neto dipastikan mengalir pada lapisan lintas kelas misalnya; dari negara, korporasi, desa, komunitas atau lapisan sosial atas kepada lapisan sosial bawah.

Buku ini juga merekam konflik Din Mini, mantan gerakan kombatan (GAM) dengan perspektif agraria dimana terdapat temuan-temuan seputar gagalnya kesepakatan damai terkait SSA, dinamika konflik menimbulkan kerusakan pada lingkungan dan ekosistem, ketidakpastian dan peralihan dan perubahan struktur demografi dst. Meskipun temuan–temuan di atas tidak begitu terpublikasi karena framing media seakan konflik itu seputar keamanan dan separatisme.

Di akhir bab buku ini saya begitu antusias membaca, sebab membahas soal ijtihad agraria Nahdlatul Ulama (NU) dalam sejarahnya. Tulisan ini menarik terutama soal arus balik manuver NU dalam menyikapi reforma agraria di tahun 1961 di bawah putusan forum konferensi ulama’ di Jakarta dan Munas Alim Ulama’ di Mataram tahun 2017. Di bawah prinsip dasar yang sama yakni asas melindungi jiwa (hifzhun –nafs) dan harta (hifzhul al – mal). Dua konsep ini kemudian dimaknai secara sama sekali berbeda.
Konferensi Jakarta memaknai dua konsep di atas untuk mengafirmasi kepentingan hak milik pribadi (hurriyah at-tamlik). Sedangkan Munas Alim Ulama Mataram lebih memaknai sebagai upaya pemerataan ekonomi dengan dalih bahwa Islam anti-ketimpangan. Dua perbedaan pemaknaan tadi tidak lepas dari konteks keadaan sosio-politik waktu itu.

Dimana tahun 1961 adalah proses masa persiapan penerapan reforma agraria. Ketika itu marak terjadi aksi sepihak oleh Barisan Tani Indonesia, organisasi petani yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia menyasar  para anggota PERTANU (organisasi tani yang berafiliasi dengan NU) karena yang disebutkan terakhir diasumsikan sebagai kelas tuan tanah.

Selain itu faktor perang dingin Blok Timur dan Blok Barat waktu itu sehingga NU berupaya menawarkan altenatif baru pengharaman kebijakan reforma agraria. Meskipun pengharaman ini tidak bersifat bulat satu suara dimana sebagian kyai-kyai NU seperti KH Muchit Muzadi mendukung reforma agraria pemerintah.

Jika dibandingkan penjelasan Dita Anggraeni dalam bukunya Islam dan Agraria; Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidakadilan Agraria tentang pandangan NU  atas Land Reform pada tahun 1961, buku Shohibuddin ini lebih komprehensif. Selain tidak menyinggung konteks sosio-politik waktu itu secara mendalam, Dita cenderung berapologi mengenai ketidaksetujuan sebagian besar ulama NU waktu itu dengan mengatakan bahwa walau bagaimanapun ulama’ adalah panutan masyarakat (Dita:63), alih-alih dapat menjelaskan secara objektif –rasional.
Seperti dikatakan Amir Mahmud dalam pengantar buku ini mewakili Sajogjo Institute, penting bagi pengajar, pelajar, pengorganisir rakyat, pengambil kebijakan hingga para pendakwah membaca buku ini. Mengingat mempelajari problem agraria sangat rumit sebab ia berkait kelindan dengan aspek kelas sosial, ekonomi,sosiologi dst.  Selamat membaca!


Judul Buku : Prespektif Agrarian Kritis; Telaah Teori, Kebijakan, dan Kajian Empiris
Pengarang  : Mohamad Shohibuddin
Penerbit         : STPN Press
Cetakan        : Maret 2018
Tebal Buku : Ivxiv+ 233 hlmn: 15x23 cm
Peresensi Fathan Z. Rosyid