Mangir; Potret Desa Melawan


Judul Buku : Drama Mangir
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Tahun terbit/cet : 2016/X
Halaman : XLIX + 114 hlm; 13,5 x 20 cm
Resensator : Umi Ma’rufah

"Seorang panglima tak terkalahkan di medan perang, tertipu tewas di kaki musuh karena cinta" (Pencerita, hlm. 94).

Sepotong kalimat itu menjadi kesimpulan dari drama dalam buku berjudul Mangir. Drama yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru ini berkisah tentang ketangguhan sebuah desa bernama Mangir menghadapi serangan kerajaan Mataram. Perlawanan tersebut dibumbui oleh cinta sang Panglima Desa Mangir terhadap Putri Mataram.

Kisah ini bermula dari percakapan seorang kepercayaan Ki Ageng Mangir, bernama Baru Klinting dengan Suriwang, seorang pembuat tombak. Disusul kedatangan para demang pemimpin rata (pasukan) bernama Demang Patalan, Demang Jodog, Demang Pajangan, dan Demang Pandak. 

Keempat demang itu datang sambil memperdebatkan tingkah Wanabaya yang tak hentinya menari bersama seorang penari (waranggana) cantik, Adisaroh namanya. Adalah soal patut atau tidak, seorang pimpinan tertinggi, Ki Ageng Mangir, bertingkah seperti orang mabuk cinta di tengah situasi desa yang sedang siaga perang. 

Yang setuju dengan tindakan Ki Ageng Mangir akan mengatakan hal demikian sudah wajar, apalagi keduanya sesama anak muda. Sedang yang tidak setuju bakal menyanggah, perang memang baru saja dimenangkan, tetapi belum selesai. Belum saatnya bersenang-senang. 

Perdebatan larut sampai dipanggilnya Wanabaya ke hadapan mereka. Perdebatanpun kembali berlanjut. Keputusan diambil, Wanabaya akan memperistri si penari, Adisaroh. Baru Klinting merestui, meski masih ada kecurigaan dalam dirinya tentang siapa sebenarnya Waranggana beserta rombongannya itu (h. 46).

Tentang Mangir dan Mataram


Mangir adalah sebuah desa perdikan yang terletak kurang lebih 20 km dari Kraton Mataram (Kota Gede). Dijelaskan dalam prakata oleh Savitri Scherer, perdikan adalah sebutan untuk sebuah kawasan pemukiman (umumnya desa) yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak dan menyetor jasa bagi proyek kemasyarakatan kraton, termasuk bertugas sebagai prajurit perang (h.x).

Kebebasan itu diberikan karena penduduk perdikan diserahi tugas mengatur pendidikan spiritual bagimasyarakat dan juga merawat rumah-rumah ibadah, warisan budaya cagar alam, dan pesarean para petinggi yang dikeramatkan. Sistem itu sudah ada sejak zaman Majapahit hingga pasca Majapahit. 

Alasannya menurut Pramoedya, karena pada masa-masa yang lalu daerah tersebut telah sangat berjasa pada raja atau telah membantu seseorang marak jadi raja, setatus perdikan adalah sebagai tanda ucapan terimakasih. Tetapi bisa juga ia adalah wilayah (biasanya desa atau gabungan beberapa desa) yang tidak berada dalam kekuasaan raja manapun (hlm. xxvii).

Permusuhan antara Mangir dengan Mataram bermula dari keinginan Raja Mataram, Panembahan Senapati untuk memperbanyak pasukan perang dan menghasilkan upeti dari daerah kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang mewah. Itulah mengapa ia ingin menaklukkan Mangir agar tidak lagi menjadi daerah perdikan.

Tetapi Mangir rupanya cukup tangguh. Mataram kalah dalam sebuah perang melawan Mangir melalui siasat Gelar Ronggeng Jaya Manggilingan. Mangir tetap jadi perdikan yang tidak mengenal aturan kraton, strata sosial, dan upeti. 

Kemudian diubahlah strategi perlawanan itu menggunakan siasat gelar Sarpa Kurda. Siasat yang bertujuan menjebak kepalanya (pimpinannya), menghabisinya, maka pasukan dibawahnya akan mudah dimusnahkan. Melalui strategi inilah, Panembahan Senapati mengirim putrinya untuk mendapatkan Wanabaya, lalu membunuhnya.

Kisah Cinta Wanabaya dan Putri Mataram


Jika anda membaca buku ini, mungkin berasumsi sama dengan saya, bahwa sepenggal kisah yang diangkat dalam drama Mangir ini lebih menyoroti pada kisah cinta antara Wanabaya, Ki Ageng Mangir muda dengan Putri pambayun, Putri Permaisuri Mataram.

Memang menarik, Putri Pambayun yang sejak awal dikirim dengan niat untuk membunuh Wanabaya, rupanya berubah tujuan ketika ia bertemu dengan Wanabaya dan menjalin hubungan dengannya. Melalui nama samaran Adisaroh, Putri Pambayun malahan menjadi istri yang paling bahagia karena mendapat suami seorang Wanabaya.

Begitupun Wanabaya. Sejak pertemuan pertamanya dengan Adisaroh, ia langsung menaruh hati padanya. Katanya di sela kemarahan para demang, “Dara Adisaroh hanya untukku seorang. Bumi dan langit takkan bisa ingkari. (pada Putri Pambayun) Sejak detik ini kau tinggal di sini, jadi rembulan bagi hidupku, jadi matahari untuk rumahku” (h. 33).

Sampai akhirnya Wanabaya mengetahui tentang kebohongan identitas Adisaroh. Ia marah namun tak kuasa menghukum. Ditemani Baru Klinting dan kawan-kawannya iapun mengikuti keinginan Putri Pambayun untuk menemui musuh sekaligus mertuanya, Panembahan Senapati di Kraton Mataram untuk meminta restu. 

Sebaliknya, Mataram telah siap menyerang Wanabaya dan pasukannya. Melalui hiburan dan para perawannya, Mataram memberi penyambutan untuk memperdaya pasukan Wanabaya. Akhirnya tinggal Wanabaya dan Baru Klinting terkepung oleh pasukan Mataram, dan merekapun terbunuh oleh tombak. 

Putri Pambayun menangisi kepergian suami dan bapak dari anak dalam kandungannya. Ia juga diasingkan oleh keluarga kraton karena lebih memilih Mangir ketimbang Mataram. Mataram menang atas Mangir dengan cara yang licik dan tanpa perang yang seimbang.

Mangir di Tangan Pram


Sepenggal sejarah mengenai sebuah desa perdikan yang disajikan oleh Pram ini memang tampil agak berbeda dari cerita sejarah kerajaan jawa di buku lain. Perbedaan itu terletak dari diwujudkannya Baru Klinting (yang konon adalah seekor ular yang menjadi senjata tombak Ki Ageng Mangir) sebagai seorang manusia kepercayaan Ki Ageng.

Pram menjelaskan, sejak ada dongeng tentang Ken Arok, seorang tokoh dalam sastra tidak bisa lepas dari senjata-pusakanya. Pandangan sastra demikian semakin lama semakin menyesatkan, seakan usaha manusia yang digambarkan oleh sastra Jawa setelah Majapahit tidak tergantung manusianya, tapi pada senjatanya (h. xxix).

Pram menjelaskan alasan itu ke dalam pengantar berjudul Pertanggungjawaban. Pengantar tersebut cukup memperjelas latar sejarah, seting sosial-politik, serta karakter para tokoh yang dimainkan dalam cerita drama Mangir.

Terlepas dari kebenaran mitos apakah dahulu Baru Klinting berbentuk ular, senjata, atau manusia, yang pasti novel Pram ini memberikan pesan yang cukup signifikan untuk masa sekarang. Sampai saat ini desa masih menjadi sebuah kekuatan yang dapat diandalkan untuk melawan kesewenang-wenangan penguasa. Seperti yang dicontohkan oleh Desa Wiromartan Urutsewu dalam melawan TNI yang merampas ruang hidup mereka.

Seperti juga yang disampaikan Scherer, cara Pramoedya menggali inspirasi dari tradisi leluhur secara kreatif merupakan tahap paling awal bagi kita untuk menghayati jati diri sebagai bangsa. Hal ini penting, supaya kita dapat memilih dan menemukan sistem yang serasi serta jalan keluar yang paling pas untuk mengatasi masalah yang berpotensi merusak.

Terakhir adalah pengingat dari Pram melalui tutur sang kakek Putri Pambayun, Ki Ageng Pamanahan yang tidak mampu membendung keinginan anaknya untuk membunuh menantunya.
 “betapa terlambat tahu di hari tua; jajlan ke arah dia (kewibawaan Mataram) adalah dusta, aniaya, perang, darah, dan binasa” (h.103). 

Artinya, jangan sampai kitapun terlambat untuk menyadari, bahwa  jalan ke arah kewibaan Negara Indonesia adalah dusta, aniaya, perang, darah, dan pembinasaan atas rakyatnya sendiri. Selamat membaca dan memainkan drama Mangir.