Penulis : M. Quraish Shihab
Penerbit : Lentera Hati
Tahun Terbit : April 2018
Halaman : 452 hlm
ISBN : 978-602-7720-77-0
Peresensi : Lutfi Nur Fadhilah
Perempuan adalah makhluk yang belum dikenal secara utuh hingga kini. Kita telah ratusan tahun mempelajari perempuan, tetapi sampai sekarang kita belum mengenal siapa dan apa yang sebenarnya ia inginkan. Inilah perempuan, sosok yang sulit untuk ditebak atau bahkan diperhatikan.
John Gray, seorang pakar Amerika kontemporer menulis perbedaan perempuan dan lelaki dalam bukunya, Men are from Mars, Women are from Venus. Dalam tulisannya,
“lelaki cenderung masuk ke gua-nya, yakni menyendiri bila mengalami stres, sedangkan perempuan semakin bingung dan terlibat secara emosional. Lelaki merasa lebih baik dengan menyendiri untuk memecahkan persoalan, sedangkan perempuan merasa lebih nyaman berkumpul bersama dan secara terbuka membicarakan kesulitan yang dihadapi”.
Pembicaraan tentang perempuan selalu menarik, baik antar perempuan lebih-lebih antar-lelaki, tua ataupun muda. Tak dapat dipungkiri, bahwa mengabaikan perempuan berarti mengabaikan setengah dari potensi masyarakat. Melecehkan perempuan berarti melecehkan seluruh manusia, karena tak seorangpun manusia kecuali Adam dan Hawa yang tidak lahir melalui seorang perempuan.
Buku yang berjudul “Perempuan” buah karya M. Quraish Shihab ini mengupas pembahasan seputar perempuan. Mulai dari cinta sampai seks, nikah mut’ah sampai nikah sunnah, ditinjau dari bias lama sampai bias baru. Bias lama tentang perempuan kerap kali menganggap bahwa perempuan adalah yang buruk bahkan, salah satu perkataan Ali bin Abi Thalib “Semua yang ada pada perempuan itu buruk, dan yang terburuk adalah ia kita butuhkan”. Tak dapat dipungkiri bahwa lelaki membutuhkan perempuan, begitupun sebaliknya.
Dalam perihal perasaan, perempuanlah tempatnya. Kaum sufipun mengakui bahwa cinta kasih adalah sifat yang lebih menonjol pada perempuan dibandingkan pada laki-laki sehingga kata orang bijak:
“Mengajar perempuan mencintai atau mengasihi serupa dengan membimbing air mencari tempat yang rendah”.Inilah agaknya yang menjadi sebab sehingga Allah menganugerahi perempuan kemampuan menangis, cemburu, dan berduka serta kesediaan berkorban untuk kekasih melebihi anugerah-Nya kepada lelaki. Air matanya mengundang kasih dan cinta, pengorbanan menyuburkannya, cemburu menghangatkannya, dan duka cinta tak terobati kecuali dengan cinta pula. (h. 83)
Di era globalisasi, dunia kita telah menjadi satu desa kecil. Salah satu yang menonjol di era ini adalah kebebasan, kebebasan dalam segala hal. Semua berbicara dan mengajak pada kebebasan, kebebasan dalam politik, ekonomi, budaya, dan seks, di samping kebebasan beragama atau tidak beragama.
Cinta pun sudah masuk dalam era kebebasan, tak ubahnya dengan kebebasan di bidang ekonomi atau pasar. Pasar bebas menawarkan ide dan komoditasnya sambil mengemasnya dengan indah. Apapun yang ditawarkan akan berhadapan dengan prinsip ekonomi, supply and demand. Prinsip inilah yang menentukan nilai sesuatu, bahkan nilai manusia termasuk hubungan cinta dan kasih sayang.
Seseorang, kendati dalam dirinya terdapat sesuatu yang “istimewa”, tetap saja tidak akan diterima oleh pasar jika di pasar tidak ada permintaan. Yang digemari dan diminta pada era sekarang ini adalah materi atau kemasan yang menarik sehingga semua diukur dengan materi dan daya tarik yang tampak.
Di sinilah terjadi kekaburan makna dan praktik mencintai karena cinta dalam kondisi manusia telah menjadi alat, bukan lagi cinta. Sebab “alat” tak memiliki rasa, sedang cinta adalah rasa. Kondisi seperti ini akan menimbulkan korban, dan korban yang paling banyak adalah perempuan, makhluk yang semestinya paling tinggi dan dalam rasa cintanya.
Buku perempuan karya M. Quraish Shihab ini sangat layak untuk dikonsumsi semua kalangan. Bagaimana kita memahami perempuan, bagaimana perempuan adalah sosok yang harus kita hormati dijelaskan dalam buku ini. Bahkan dalam sorotan pendidikan, perempuan harus mendapatkan hak belajarnya dengan baik. Kalau kita mengatakan bahwa salah satu tugas utama perempuan adalah mendidik anak-anaknya, bagaimana mungkin tugas pokok itu dapat dijalankan kalau mereka tidak diberi kesempatan untuk belajar? Bukankah perempuan adalah sekolah yang bila dipersiapkan dengan baik, mereka akan melahirkan generasi yang cerdas?
Bagi perempuan karir, Quraish Shihab menyatakan dalam salah satu babnya bahwa tidak ditemukan satu teks keagamaan yang jelas dan pasti, baik dalam Al-quran maupun sunnah yang mengarah kepada larangan bagi perempuan untuk bekerja di luar rumahnya (h. 400).
Akhirnya, masa kini adalah masa di mana perempuan telah semakin diakui hak-haknya. Sudah banyak persamaan antara mereka dengan lelaki. Kini, perempuan dapat belajar, bekerja, bahkan memilih jodohnya sendiri. Inilah kesempatan bagi mereka untuk dapat bangkit mengukir sejarahnya sendiri tanpa harus didekte oleh lelaki.