Penlis : K.H Husein Muhammad
Editor : Muhammad Ali Faqih
Penerbit :IRCiSoD
Cetakan : Pertama, April 2019
Jumlah Halaman : 344 Halaman
ISBN : 978-602-7696-78-5
Peresensi : Ahmad Sajidin
Nahdlatul Ulama’ (NU) tak henti-hentinya menyumbangkan kader terbaiknya dari generasi ke generasi untuk peradaban bangsa dengan berbagai spesialisasi keilmuannya masing-masing. Organisai masyarakat islam yang dikenal dengan sebutan kelompok Islam Tradisionalis ini, selalu menunjukkan komitmenya untuk negeri ini.
Kali ini sosok yang akan saya bahas adalah K.H Husein Muhammad. Tokoh yang lahir di Cirebon pada 9 mei 1953 ini telah menulis sebuah buku yang membuktikan bahwa peran NU, dalam bahasa beliau, Islam Tradisionalis yang senantiasa terus bergerak dalam merespon perubahan zaman.
Sebelum membincang buku tersebut, sejenak kita mengenal sosok K.H Husein Muhammad. Beliau sejak kecil berada di pesantren sebagai tempat pendidikanya, tepatnya di pesantren Lirboyo sampai tahun 1973, setelah itu melanjutkan ke PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran).
Husein muda melanjutkan karir pendidikanya di universitas Al-Azhar Kairo. Setelah tamat di kairo beliau diminta mengajar di pondok pesantren Dar Tauhid. Pondok yang tak lain adalah pondok kakeknya sendiri yang berdiri pada tahun 1933.
Tulen sebagai santri sejak kecil tidak membuat dirinya mempunyai cara berfikir yang koservatif, justru sebaliknya. Pikiran-pikiran beliau sangat inklusif dengan bukti dalam berbagai karyanya yang syarat akan ilmu pengetahuan dengan berbagai rujukan pemikiran dari semua dimensi keilmuwan.
Hal itupun yang mengantarkan beliau untuk menggeluti dunia akademis dan aktivisme setelah sekian lama hidup di dunia pesantren. Menurut Marzuki Wahid, seorang murid, sekaligus sahabat diskusi yang juga dekat dengan penulis mengatakan, bahwa K.H Husein ini sosok yang unik dimana dia menjadi aktivis justru saat usia sudah tidak muda lagi.
Selain itu beliau juga baru saja mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa bidang Tafsir Gender dari UIN Walisongo Semarang pada 26 maret 2019. karya-karya tulis dari beliau kurang lebih sebanyak 10 buku. diantaranya, Fiqh Perempuan: Refleksi kiai atas wacana agama dan gender; Islam Agama Ramah Perempuan; Islam Tradisional Yang Terus Bergerak dan lain-lain.
Buku ini mengawali isinya dengan menuliskan lembaga pendidikan khas Indonesia yaitu Pesantren, dalam buku ini disebutkan bahwa pesantren ialah lembaga pendidikan paling kuno, ortodoks dan lazim disebut lembaga pendidikan kaum sarungan (h. 12).
Lain daripada itu sebagai sebutan umum tentang pesantren beberapa ahli berpendapat tentang pesantren adalah sebagai berikut: Gus Dur misalnya berpendapat bahwa pesantren adalah tempat hidupnya santri.
Kemudian dilengkapi Zamakhsyari Dhofir degan mengemukakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren, yaitu adanya 1).Tempat tinggal santri atau yang disebut pondok 2).Masjid 3). Santri 4). Pengajaran Kitab-kitab klasik 5). Kiai-Ulama sebagai pengasuh. (H. 15).
Sebagai lembaga pendidikan tertua pesantren menjadi embrio awal lahirnya tokoh-tokoh bangsa yang sampai hari ini beberapa warisan pemikiranya masih kontekstual dan relevan untuk zaman sekarang.
Ini tidak lepas daripada proses pendidikan yang dilalui dengan asas kemanfaatan dan adaptasinya dengan berbagai zaman. Di sinilah Islam tradisional menjawab itu, bagaimana dinamika dan mobilitasnya untuk menghadapi era demi era agar selalu relevan setiap zaman.
Lahirnya pesantren juga tidak lepas dari sumbangsih para ulama’ Nahdliyin, maka menurut buku ini disebutkan Kiai NU sering melabeli NU sebagai Pesantren besar, sedangkan pesantren ialah NU kecil (H. 43).
Tokoh-tokoh pesantren sering dialamatkan sebagai tokoh-tokoh islam tradisional yang hanya menempatkan tradisi-tradisi kepesantrenan sebagai sebuah sakralitas yang tidak diimbangi dengan bagaiman dia menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat.
Tentu ha ini perlu disikapi dengan bijak dan lantas tidak meninggalkan tradisi lama yang melekat dan itu baik, tapi juga mengambil yang baru yang lebih baik atau dalam salah satu adagium yang familiar di kalangan NU, Al muhafadzatu a’la qodimis sholih wal akhdzu bil jadid al-ashlah.
Tokoh yang mengawali gerakan tersebut di NU dan pesantren adalah K.H Abdurrahaman Wahid. Menurutnya, wawasan kitab kuning perlu direaktualisasi kandunganya. Ada dua hal yang harus ditempuh untuk keperluan ini.
Pertama, penggarapan melalui jalur pengembangan wawasan kesejarahan atas kandungan kitab kuning. Kedua, pengembangan melalui jalur kontemporarisasi (ta’shir) (H. 165). Dua cara diatas dimaksudkan Gus Dur bahwa dalam mempelajari teks kita dituntut untuk dapat melihat peristiwa dan dinamika sejarah pada masa tersebut yang melahirkan teks dan mempelajari teks itu untuk menjawab persoalan-persoalan masa kini.
Selain Gus Dur adapula tokoh karismatik KH. Sahal Mahfudz. Kiyai asal Kabupaten Pati ini mencetuskan pemikiran tentang Fiqih sebagai etika sosial bukan sebagai hukum Negara. Beliau ingin mengembalikan makna fiqh yang sesungguhnya sesuai dengan pendapat Imam abu hanifah.
Ia mendefinisikan fiqh dengan ” Pengetahuan diri tentang apa yang baik dan apa yang buruk, atau tentang apa yang memberi manfaat bagi manusia dan apa yang merugikanya”. Hal ini disambut antusias oleh Gus Dur dan menghimbau para ulama’ lain untuk mengikuti paradigma Kiyai Sahal (H. 218).
Pesan yang lain dalam buku ini mengkritik tradisi pesantren untuk tidak terlalu mensakralkan kitab kuning. Lazimnya kitab kuning dianggap sebagai media untuk belajar agama dan ilmu pengetahuan yang sebagian besar pesantren di Indonesia, hanya berpatron pada ahlul hadis Iraq (Iraqiyyin) yang secara sanad keilmuan di Indonesia berpusat pada Imam Nawawi Al bantani.
KH. Husein juga berpesan untuk pesantren agar juga mempelajari kitab dari madzhab khurasan atau ahlul ra’yi/rasionalitas (Khurasaniyyin) yang secara sanad keilmuan merujuk pada Imam Rafi’i (Hlm.117).
Tak ada gading yang tak retak, dalam buku ini pula terdapat beberapa kekurangan diantaranya, tidak dilengkapi dengan kata pengantar seperti buku-buku pada umumnya sehingga membuat pembaca kesusahan arah dari keseluruhan isi buku, untuk dapat memahami gambaran isinya maka kita harus membaca keseluruhannya dengan lebih teliti. Selain itu ada beberapa teks arab yang salah harokat semisal kalimat yang seharusnya dibaca jer majrur dibaca rafa’ .