Revolusi Ekologi

Judul : Lingkungan Hidup dan Kapitalisme: Sebuah Pengantar
Penulis : Fred Magdof dan John Bellamy Foster
Penerjemah : Pius Ginting
Tahun : Agustus, 2018
Penerbit : Marjin Kiri
Tebal : i-xiv + 188 halaman
ISBN : 978-979-1260-80-0
Peresensi : Rachman Habib

Pada 22 April kita memperingati hari bumi sedunia. Tapi beberapa hari sebelumnya kita mungkin menonton film dokumenter Sexy Killers dan melihat belalang besi mondar-mandir melubangi daratan pulau Kalimantan, mungkin kita juga telah menonton video dokumenter World Economic Forum dan menyaksikan kura-kura menyantap plastik di lautan. Seperti nubuat, keduanya menyampaikan satu hal bahwa bumi kita sedang krisis. Dan krisis ini menghantui kepastian masa depan umat manusia juga bumi sendiri.

Beberapa laporan menyebut bahwa bumi ditaksir akan menjadi hunian tidak aman dalam seratus tahun mendatang, kiamat akan tiba lebih cepat dari yang diperkirakan dan seterusnya. Laporan itu, sebagaimana halnya disebut buku ini, bersumber dari fakta bahwa sistem penopang bumi sudah tergerus kerusakan fatal.

Perubahan iklim, hilangnya keragaman hayati, dan penipisan nitrogen sudah melewati ambang batasnya. Pengasaman air laut, krisis air tawar, berkurangnya lahan, penipisan ozon, dan sirklus fosfor juga mendekati ambang batasnya. Batas yang seandainya hal itu tidak dilanggar, keberlanjutan sistem bumi akan terjaga. (Hal—7).

Lalu apa pangkal penyebab krisis lingkungan hidup ini? Jawabannya adalah sistem ekonomi kapitalisme yang mendominasi seluruh bidang kehidupan.Kapitalisme menimbulkan persoalan sosial dan lingkungan yang mengerikan.

Buku ini mencatat masalah yang ditimbulkan kapitalisme sebagai berikut: (1) polarisasi pendapatan dan kekayaan, (2) adanya surplus tenaga kerja cadangan yang akan terus membeludak, (3) krisis-krisis ekonomi periodik seperti tahun 1929-1939 dan 2008, (4) imperialisme dan perang sistematis, (5) pelumpuhan potensi banyak individu, (6) dan dampak terhadap keberlanjutan lingkungan.(Hal—39).

Secara khusus buku ini menjelaskan bagaimana kapitalisme beroperasi sehingga menciptakan masalah-masalah tersebut, terutama menyangkut krisis lingkungan. Biang utama yang menjadi sumber masalah adalah akumulasi laba tak mengenal “cukup”. Demi mengeruk keuntungan tanpa batas, kapitalisme menjalankan eksploitasi beringas atas energi dan sumber daya. Bahkan sampai melampaui kemampuan sumber daya untuk memperbarui diri. Akibatnya tidak hanya penipisan sumber daya tak terbarukan, tetapi juga yang bisa terbarukan.

Lihatlah bekas galian tambang batu bara yang tidak bisa dipulihkan, atau berkurangnya populasi ikan di laut sampai 50%.  Itu belum ditambah limbah produksinya yang menyumbang bonus bakteri dan gas beracun atas air, tanah dan udara. Singkatnya di setiap aktivitas produksi kapitalisme menimbulkan keretakan metabolisme dalam ekosistem besar kita.

Perlu dicatat juga bahwa semua kegiatan kapitalisme untuk menangguk untung tersebut meminta ongkos yang tidak bisa terbayar bahkan oleh sistem kapitalisme sendiri. Kapitalisme lebih banyak mengambil ketimbang mengembalikan.  Semua itu tidak akan bisa ditebus. Sekalipun oleh gerakan kapitalisme ramah lingkungan.

Memang kapitalisme melakukan reformasi untuk mengatasi efek sampingnya dengan cara itu. Beberapa perusahaan raksasa menciptakan teknologi dan sistem produksi bercorak ramah lingkungan. Seperti rekayasa genetika, bahan bakar alternatif biofuel dan lain-lain, yang sebenarnya sama mematikannya. Bahkan juga mendorong pola konsumsi ramah lingkungan seperti belanja tanpa kantong plastik atau membeli produk organik dan hijau.

Lewat CSRnya mereka juga terlibat kampanye pemulihan lingkungan. Misalnya membiayai penghijauan di negara dunia ketiga biar tampak seolah menebus dosa moral mereka terhadap alam. Tetapi itulah yang disebut  greenwhasing,  suatu keadaan di mana perusahan mengucurkan dana besar untuk dianggap ramah lingkungan.  Alih-alih sungguhan menyelamatkan lingkungan, hal ini justru bertujuan mengeruk keuntungan.

Dan buku ini mengingatkan kepada kita untuk tidak boleh lupa bahwa reformasi dalam kapitalisme diizinkan sejauh tidak menekan pertumbuhan ekonominya. Tidak ada yang boleh menghalangi akumulasi laba. Bisa saja perusahan-perusahaan raksasa menandatangani perjanjian untuk berkomitmen mengatasi pemanasan global dengan mengurangi pembuangan karbon. Namun, dalam buku ini bisa ditemukan data-data perusahaan yang tetap mengalirkan emisi karbon melebihi batas. Banyak contoh serupa lainnya.

Biang masalah kedua, kapitalisme adalah sistem relasi sosial yang memisahkan manusia dengan alam, sekaligus meringkus hubungan sosial menjadi terbatas hubungan produsen-konsumen. Akibatnya alam dianggap sebagai objek eksploitasi, dan lebih jauh, semua kerusakan alam dianggap eksternal dari kapitalisme, sesuatu yang tidak berkaitan dengan aktivitas produksi sistem ini.

Hal ini menyimpang dari fakta bahwa segala aktivitas manusia berikut kebudayaannya tidak terpisah secara istimewa dari alamnya. Bosman Batubara (2017) mengemukakan istilah socionatural atau sosioalamiah untuk hal tersebut. Bahwa “perubahan sosial dan perubahan alam tidak berlangsung sendiri-sendiri, namun saling berkaitan dan mempengaruhi, di mana perubahan alam berlangsung bersamaan dengan perubahan sosial” (lih. Bosman Batubara 2017).  Sebagaimana disebutkan olehnya, manusia merupakan bagian dari ekosistem metabolisme sosioalamiah. Artinya tidaklah berlaku dikotomi natural (alam) dan kultural (manusia).

Masyarakat Berkelanjutan


Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan krisis lingkungan hidup? Buku ini mengatakan: revolusi ekologi. Krisis lingkungan hidup tidak bisa diatasi tanpa mengubah relasi sosial kapitalisme. Seperti kata Paul Sweezy, yang dikutip buku ini, kapitalisme wajib diganti dengan tatanan sosial-ekonomi yang mengedepankan kebutuhan riil dan hakbumi kita di atas maksimalisasi keuntungan privat dan akumulasi kapital.

Tentu ini merupakan perjuangan multifaset, dan tidak sekejap. Kita harus “melawan sistem kapital, dan harus dimulai dengan melawan logika kapital, yakni dengan mengupayakan penciptaan di dalam pori-pori sistem ini sebuah sistem metabolisme baru yang berakar pada kesetaraan subtantif, komunitas dan hubungan berkelanjutan dengan bumi.” (Hal—160).

Singkatnya buku ini mengatakan bahwa kita: wajib memutus mata rantai kapitalisme jika ingin menyelamatkan bumi dan masa depan kita sendiri. Di sinilah kelebihannya. Selain memberi analisis tajam tentang keterkaitan kapitalisme dengan krisis lingkungan, buku ini mengajukan solusi untuk mengatasinya seperti disinggung di atas.

Tetapi, solusi tersebut barangkali dianggap muskil. Di bawah hegemoni kapitalisme memang lebih mudah membayangkan dunia ini berakhir ketimbang kapitalisme berakhir. Akan tetapi, buku ini menunjukkan bahwa tidak ada yang tidak mungkin.  Berlajar dari gerakan ekososialisme negara-negara Amerika Latin, gerakan revolusi ekologi sangat bisa diwujudkan. Lihatlah pada bagian akhir buku ini. Di bagian tersebut dipaparkan langkah-langkah yang bisa ditempuh sebagai agenda bersamauntuk menghentikan krisis lingkungan hidup.

Mengingat bahwa sekarang intensitas krisis terlampau sangat parah, sudah sangat mendesak untuk merencanakan tatanan baru yang berkeadilan sosial dan lingkungan demi kelangsungan hidup kita serta generasi mendatang. Dan buku ini adalah salah satu rujukan dan pengantar untuk langkah-langkah yang bisa ditempuh. Kalau kita semua tidak bergerak, maka mengutip lirik Lagu Bebal Sisir Tanah, “Jika bumi adalah ibu, kitamanusia memperkosa ibunya. Setiap hari. Setiap jam. Setiap menit. Setiap detik.”



Pustaka
Batubara, B. 2017. “Ekologi Politis Air: Akses, Eksklusi, dan Resistensi.” Wacana 35: 3–23.