Sengkarut Pembangunan Jalan Tol di Indonesia


Judul Buku : Menaja Jalan: Ekonomi-Politik Pembangunan Infrastruktur Indonesia
Penulis : Jamie S. Davidson
Penerjemah : Achmad Choirudin
Penerbit : Insist Press
Tahun Terbit : 2019
Jumlah Halaman : xxviii + 475 halaman
ISBN : 978-602-0857-81-7
Peresensi : Bagas Yusuf Kausan

1/
Dalam dua perhelatan mudik terakhir, Jalan Tol Trans Jawa selalu ramai jadi bahan pembicaraan. Pada tahun 2018 misalnya, media sosial ramai menyoroti spanduk bertuliskan “Selamat Hari Raya Idul Fitri 1439 H. “Pendukung #2019GantiPresiden, Anda sedang melewati jalan tol Pak Jokowi”. Sementara pada tahun 2019, jagad dunia maya dihebohkan dengan serangan komentar kocak di kolom komentar Instagram presiden Indonesia, Joko Widodo. Seperti akun @nadyanovita_m.e misalnya, yang berkomentar bahwa “Macet kok dihilangkan pak, itu kan tradisi”. Singkatnya, dari dua fenomena tersebut, Jalan Tol Trans Jawa diidentikan dengan prestasi rezim pemerintahan saat ini.

Pada akhir tahun 2018 (20/12), Presiden Joko Widodo memang meresmikan tujuh ruas tol yang menjadi bagian dari Jalan Tol Trans-Jawa. Tujuh ruas tol tersebut adalah Tol Pemalang-Batang, Batang-Semarang, Semarang-Solo, Ngawi-Kertosono, Kertosono-Mojokerto, Porong-Gempol, dan Gempol-Pasuruan. Peresmian tujuh ruas tol ini menandai tersambungnya jalan tol dari Merak (Provinsi Banten) hingga ke Surabaya (Jawa Timur) dengan panjang 870 kilometer. Perkembangan terakhir, ruas jalan tol tersebut bahkan terus bertambah.

Bagi sebagian orang, terkoneksinya jalan tol yang membentang dari Barat ke Timur Pulau Jawa tersebut, merupakan sejarah baru transportasi di Indonesia. Hal semacam ini dilontarkan pula oleh Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi. Lebih spesifik, Menteri Perhubungan itu menyatakan bahwa terkoneksinya jaringan jalan tol di Jawa menjadi tonggak berkurangnya kemacetan pada saat arus mudik tahun 2019 (detiknews, 04/06/2019). Komentar yang terlampau optimis memang. Namun dalam kenyataannya, pada saat arus balik kemarin, media ramai memberitakan antrian panjang kendaraan di ruas Jalan Tol Trans Jawa. Singkatnya, meski sudah memberlakukan one way dan contra flow di beberapa ruas jalan tol, kemacetan panjang masih terjadi.

Ketidakmampuan Jalan Tol Trans Jawa untuk mencegah kemacetan pada saat musim lebaran, semakin menunjukkan bahwa Jalan Tol Trans Jawa, selain bukan merupakan solusi jangka panjang persoalan transportasi, tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan temporer seperti kemacetan pada saat mudik lebaran. Lalu, pertanyaanya, bersangkut-paut dengan apakah sebenarnya jalan tol secara umum, dan lebih khusus, Jalan Tol Trans Jawa tersebut? Persis di sini, menurut saya, buku Menaja Jalan: Ekonomi-Politik Pembangunan Infrastruktur karya Jamie S. Davidson menemukan relevansinya.

2/
Sebagai kritik terhadap pendekatan New Institutional Economic (NIE), Jamie S. Davidson menyodorkan pendekatan baru dalam melihat persoalan pembangunan infrastruktur yaitu: Sosiologi Politik Pembangunan Infrastruktur. Asumsi dasar yang coba dibangun oleh Jamie dalam buku Menaja Jalan: Ekonomi-Politik Pembangunan Infratruktur ialah bahwa pembangunan infrastruktur, alih-alih lebih bersifat ekonomis, finansial, dan administratif, merupakan satu persoalan yang lebih bersifat politis. Asumsi ini pula yang membingkai keseluruhan cerita mengenai pembangunan jalan tol di Indonesia dari masa ke masa.

Selain itu, Jamie S. Davidson juga menyodorkan fakta bahwa pembangunan jalan tol di Indonesia, tidak lain merupakan pesta perburuan rentan para pengusaha yang memiliki koneksi terhadap kekuasaan dan memiliki modal berlimpah. Para aktor tersebut adalah orang-orang yang duduk, dekat, dan berhubungan langsung dengan kekuasaan, termasuk dengan rezim pemerintahan saat ini. Dan semakin nahas lagi, keseluruhan cerita tersebut merupakan bentuk taklid buta pemerintah Indonesia terhadap skema ‘praktik terbaik’ yang disodorkan oleh lembaga-lembaga predatoris penghamba pasar bebas seperti Bank Dunia, IMF, dan lain-lain.         

Menilik sejarah, jalan tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) menjadi jalan tol pertama di Indonesia. Meskipun rencana pembangunan ini telah muncul sejak pemerintahan Soekarno, jalan tol tersebut baru mulai beroperasi pada tahun 1978. Tidak lama setelah Jagorawi beroperasi, rancangan pembangunan jalan tol di daerah lain pun mulai mencuat ke permukaan.

Oleh karena Indonesia tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan teknis untuk membangun jalan tol, pemerintah pun mencari ahli dari negara-negara sekutu Orde Baru. Konsultan dan firma teknik sipil dari Amerika Serikat dan negara-negara ‘Barat’ lain itulah yang membuat rancangan pembangunan jalan tol baru di beberapa tempat.  Namun oleh karena anjloknya harga minyak dunia pada tahun 1980an, rencana pembangunan jalan tol yang terrealisasi hanya beberapa saja.

Bersamaan dengan beroperasinya Jagorawi, Jasa Marga sebagai perusahaan jalan tol milik negara pun lahir. Pembahasan mengenai Jasa Marga dalam buku Jamie S. Davidson ini penting, sebab, mencerminkan bagaimana dinamika dan proses berlangsungnya liberalisasi di Indonesia. Selain itu, silang-sengkarut Jasa Marga dengan oligarki jalan tol pada masa itu, Kroni Soeharto, juga menarik karena menunjukan watak privatisasi parsial di tubuh Jasa Marga.  Seperti yang sudah banyak di bahas dalam kajian mengenai ekonomi Orde Baru, kroni Soeharto memang menjadi penguasa ekonomi Indonesia pada saat itu. Di sektor jalan tol pun demikian. Kroni Soeharto, tetap menjadi penguasa utama.

Anak pertama Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut Soeharto misalnya, melalui PT. Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP), menjadi pemegang konsesi di banyak proyek tol. Begitu pula dengan anak Soeharto lainnya, Hutomo Mandala Putra, yang menjadi pemegang konsesi tol Jakarta-Tanggerang-Merak. Selain kedua anak Soeharto, kroni lain yang turut mendapatkan untung dari jalan tol di Indonesia adalah Syamsul Nursalim, Liem Sioe Liong, Sultan Hamengkubuwono X, Mooryati Soedibyo (pemilik perusahaan kosmetik Mustika Ratu), Siswono Judo Husodo, dan beberapa nama lainnya.

Pada era reformasi, peta oligarki jalan tol pun sedikit bergeser. Hal ini dapat dilihat dari sengkarut pembangunan Jalan Tol Trans Jawa (JTTJ). Studi kelayakan pembangunan jalan tol yang menghubungkan dua pusat industri di Pulau Jawa, Jakarta dan Surabaya, sebenarnya sudah dibuat sejak tahun 1973. Terkait rencana ambisius ini, Jamie S. Davidson mencatat bahwa:

“Pembangunan jalan tol didukung oleh hubungan Indonesia yang baru terbuka dengan negara-negara Barat (…) dalam sektor transportasi (…) agen-agen pemberi utang lebih menyukai proyek-proyek besar yang meniru pendekatan negara-negara Barat seperti pembangunan jalan tol di Amerika Serikat. Proyek-proyek ini menghasilkan infrastruktur lokal guna menyokong kebijakan-kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk memperluas ruang gerak rantai perdagangan global” (hlm. 87).

Dalam bukunya, Jamie S. Davidson membahas pembangunan Jalan Tol Trans Jawa secara berurutan. Dari ruas paling barat, Sadang-Subang (37 kilometer), hingga ruas tol paling Timur, Pasuruan-Probolinggo (40 Kilometer). Dari rentangan ruas jalan tol tersebut, merentang pula pembagian konsesi kepada para pemburu renten pembangunan Jalan Tol Trans Jawa.

Meski tidak menguntungkan secara ekonomi, pembagian ruas JTTJ menjadi beberapa konsesi cenderung menguntungkan secara politik. Singkatnya, Soeharto tua mencoba membagikan kue kepada lebih banyak pemain. Tidak heran nama-nama penguasa baru jalan tol pun muncul seperti Aburizal Bakrie, Johannes Kotjo, K. Gowindasamy, Michael Lie, Dasuki Angkosubroto, Setiawan Djody, dan Jusuf Kalla. Dalam perkembangannya, nama-nama baru seperti Edwin Soeryadjaya dan Hary Tanoe juga masuk ke dalam daftar.

Reformasi tahun 1998 memang membuahkan beberapa hal yang positif. Namun dalam konteks infrastruktur jalan tol, tonggak sejarah tersebut tidak membawa perubahan berarti. Sektor jalan tol tetap menjadi arena perburuan renten. Bahkan pascareformasi, perburuan tersebut semakin kencang dan melibatkan lebih banyak lagi aktor.

Pada era Pemerintahan Megawati, beberapa lisensi perusahaan swasta yang bergerak di sektor jalan tol, memang sempat dicabut dan dialihkan ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Jasa Marga. Kebijakan ini membuat kucuran investasi tersendat. Rencana pembangunan jalan tol baru, termasuk merealisasikan JTTJ pun terhenti. Namun meski demikian, khusus pada kasus pembangunan tol Cipularang, Megawati mengangkangi hukum dengan mempercepat pengerjaannya. 

Pada tahun 2004, Presiden Megawati menerbitkan Undang-Undang baru tentang jalan tol. Menurut catatan Jamie S. Davidson, UU baru tersebut sangat sesuai dengan semangat liberalisasi pasar. Sebab, berbeda dengan era Soeharto, penentuan tarif tol tidak lagi menjadi wewenang pemerintah.

Di samping itu, terbitnya UU tersebut menandai kemunculan Badan Pengatur Jalan Tol (BPTJ). Badan ini merupakan bentuk deregulasi kewenangan Jasa Marga dalam tata pengaturan jalan tol di Indonesia. Namun demikian, meski sudah sesuai dengan resep ‘praktik terbaik’ buah saran lembaga-lembaga Internasional, pembangunan JTTJ tetap sulit terrealisasi.

Satu persoalan yang mengemuka dalam kepelikan pembangunan JTTJ ialah soal tanah. Persoalan pengadaan tanah untuk pembangunan JTTJ mengemuka pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Oleh karena skema sebelumnya dinilai lebih merugikan investor. Pada tahun 2007, pemerintahan SBY akhirnya menyediakan skema pengadaan tanah menggunakan dana negara (BLU). Namun lagi-lagi, skema ini pun gagal membuat pembangunan JTTJ lebih cepat terealisasi.

Benturan antara pemerintah pusat dan lokal pun menjadi satu persoalan pelik yang lain.
Hingga akhirnya, pada tahun 2012, rezim pemerintahan SBY pun menerbitkan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. UU ini menandai pengalihan kembali wewenang pengadaan tanah ke pemerintah pusat. Dalam proses penyelesaian pembangunan JTTJ, di beberapa tempat, UU tersebut banyak digunakan untuk pembebasan lahan. Dalam hal ini, termasuk dengan menggunakan mekanisme konsinyasi.

3/
Buku Menaja Jalan: Ekonomi-Politik Pembangunan Infrastruktur memang hadir di tengah minimnya literatur tentang pembangunan infrastruktur Indonesia. Bahkan hadir di tengah maraknya pembicaraan tentang jalan tol. Dalam hal ini, termasuk pembicaraan jalan tol dalam dua perhelatan mudik terakhir. Dengan mengutip karya Jamie S. Davidson misalnya, klaim bahwa Jalan Tol Trans Jawa merupakan prestasi rezim pemerintah Jokowi pun bisa dengan mudah gugur. Sebab, seperti paparan di atas, rancangan JTTJ sudah ada sejak tahun 1970-an. Proses pengerjaannya pun berlangsung sejak era Presiden Soeharto.

Maka dari itu, pembangunan Jalan Tol Trans Jawa memang tidak bersangkut-paut dengan solusi transportasi jangka panjang bagi Indonesia. Pun tidak terkait dengan kebaikan hati pemerintah untuk membuat rakyat lebih nyaman ketika melaksanakan tradisi mudik. Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa, murni soal bisnis, soal perburuan renten.   

Karena pembangunan Jalan Tol Trans Jawa murni soal bisnis, menjadi menarik untuk mengulik peran atau fungsi apa yang sebenarnya diemban oleh suatu pembangunan infrastruktur (jalan tol misalnya) dalam rantai bisnis yang lebih luas. Atau dengan meminjam paparan David Harvey[1], apakah jalan tol (Trans Jawa) juga termasuk bagian dari built environment of capital, sebagai upaya membangun lingkungan yang kondusif dan baik untuk akumulasi kapital? Sayangnya, sependek pembacaan saya, buku Jamie S. Davidson memang tidak menyediakan jawaban untuk pertanyaan tersebut.

Selain itu, seperti yang telah disinggung di atas, salah satu penyebab lambannya pengerjaan pembangunan Jalan Tol Trans Jawa adalah mengenai persoalan tanah. Hal itu menyangkut warga negara Indonesia, yang lahannya tergusur oleh pembangunan jalan tol. Sebagain besar warga yang tergusur menggantungkan hidup di sektor pertanian. Dengan demikian, tergusurnya lahan berarti pula tergusurnya sumber pendapatan ekonomi. Namun sayangnya, Jamie S. Davidson tidak secara terang membeberkan persoalan ekonomi-politik ini. Padahal hal tersebut merupakan persoalan mendasar dan penting. Sebab, dugaan Anton Novanto bisa saja benar bahwa pembangunan infrastruktur transportasi, dalam hal ini Jalan Tol Trans Jawa, alih-alih merangsang pertumbuhan ekonomi secara merata, justru semakin melebarkan kesenjangan antara pusat dan pinggiran.[2]

Meski demikian, dua soal yang tidak hadir dalam buku Jamie S. Davidson di atas, tidak menghilangkan arti penting buku tersebut. Apalagi jika mengingat bahwa pembangunan infrastruktur, termasuk di sektor jalan tol, masih akan menjadi prioritas pembangunan rezim pemerintahan saat ini. 



[1] Muhammad Ridha, “Ekonomi Politik Pembangunan Infrastruktur dan Kepentingan Kapital”, dalam Jurnal Politik Profetik Vol. 4, No. 1 Tahun 2016.
[2] Anton Novenanto, “Transjawa, Pertumbuhan Ekonomi, dan Urbanisasi” dalam Bhumi:Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 4 No. 2, November 2018.