Judul Buku : Perang Asimetris & Skema Penjajahan Gaya Baru
Penulis : M. Arief Pranoto & Hendrajit
Penerbit : Global Future Institute
Tahun terbit : Desember 2016
Jumlah hlm. : 221
ISBN : 978-602-97209-8-3
Peresensi : Umi Ma'rufah
Setiap tahun kita merayakan hari kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus. Adanya momentum itu mengingatkan kita pada masa Kolonialisme Klasik Belanda yang menjajah Indonesia pada awal abad ke 16 dan berakhir pada 1942, ketika pemerintahan fasisme Jepang merebut kekuasaan Belanda di Indonesia yang kala itu bernama Hindia Belanda. Sampai kemudian Jepang kalah dari Sekutu pada 1945 dan Indonesia berhasil memanfaatkan momentum itu untuk meraih kemerdekaannya sendiri.
Tapi benarkah Indonesia benar-benar sudah merdeka? Lepas dari penjajahan?
Pranoto dan Hendrajit dalam buku berjudul Perang Asimetris & Penjajahan Gaya Baru memberi penjelasan memadai bahwa ketiadaan penjajahan secara langsung oleh negara asing bukan berarti bahwa Indonesia tidak lagi mengalami penjajahan. Justru pasca itulah babak baru kolonialisme dimulai.
Jika kita ingat masa lalu Indonesia yang pernah dijajah oleh Portugis, Belanda, dan Jepang, maka kita tidak boleh lupa apa agenda utamanya: penguasaan sumber daya alam. Indonesia dipahami oleh negara penjajah memiliki geo-ekonomi yang bagus. Ditambah letak strategisnya yang unik di kawasan Asia Tenggara (secara geo-strategi) membuat Indonesia selalu menjadi ajang perebutan berbagai kepentingan kapitalisme global.
Pada bagian pendahuluan, buku yang ditulis oleh dua orang pengamat geopolitik ini menerangkan mengenai bagaimana Indonesia sebagai negara dengan kandungan sumber daya alam melimpah berada di posisi yang menguntungkan secara geografis. Namun, hal itu percuma apabila tidak diikuti dengan pemahaman orang Indonesia terutama para pemangku kebijakan tentang takdir geopolitik Indonesia.
Kepulauan Indonesia terletak di jalur laut utama antara Asia bagian Timur dan Selatan. Posisinya sebagai negara di kawasan Asia Tenggara menjadikan Indonesia sebagai suatu kawasan di mana berbagai bangsa sedunia dapat berhenti sejenak dalam perjalanannya melalui jalan besarnya lalu-lintas dari semua Asia ke Australia. Dari Samudera Indonesia ke Samudera Pasifik, dan dari Tiongkok ke India Vice Versa. Fungsi strategisnya yang vital, kedudukan politisnya yang penting, dan fungsi ekonomisnya yang besar sekali, itulah nilai strategis dan keunggulan geopolitik Indonesia (hlm. 7).
Berdasarkan pada skema baru kaum kapitalisme global yang bersumbukan pada persekutuan strategis Amerika Serikat dan Inggris yang dirajut oleh dinasti Rotschild dari Inggris dan Dinasti Rockefeller dari Amerika Serikat, maka Indonesia yang punya nilai strategis secara geopolitik maupun sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, barang tentu menjadi sasaran utama untuk ditaklukkan melalui arahan Skema Penjajahan Gaya Baru dan melalui penerapan metode Neo-Kolonialisme (hlm. 30).
Tentang Perang Asimetris
Perang Asimetris barangkali bukan istilah yang populer di telinga kita. Istilah ini memang baru muncul pada 2010. Perang Asimetris disebut juga perang modern atau perang Nir-Militer. GFI (Global Future Institute), organisasi penulis yang juga menjadi penerbit buku ini, merumuskan perang asimetris (asymmetric warfare) sebagai berikut:“Perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara Nir-militer (non militer) namun daya hancurnya tidak kalah bahkan dampaknya lebih dahsyat daripada perang militer. Ia memiliki medan atau lapangan tempur luas meliputi segala aspek kehidupan (astagatra)” (hlm. 74).
Astagatra adalah perpaduan antara trigatra (geografi, demografi, dan sumber daya alam) dan pancagatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam). Mengutip pendapat Ryamizard, tujuan Perang Modern adalah untuk mengeliminir kemampuan negara sasaran agar tidak menjadi suatu potensi ancaman; Melemahkan kemampuan negara sasaran sehingga semakin tergantung dan lebih mudah ditekan; Penguasaan secara total negara sasaran. (hlm. 69).
Melalui buku ini, pembaca akan mengerti mengenai cara-cara yang ditempuh negara adidaya dalam melancarkan perang asimetris. Arif dan Hendrajit memaparkan itu secara historis dimulai dari bagaimana bangsa-bangsa Eropa melakukan penjajahan atas wilayah-wilayah di belahan dunia lain hingga bagaimana sistem kenegaraan yang kini dibangun masih merupakan kelanjutan dari skema penjajahan tersebut, dengan gaya yang baru.
Skema penjajahan gaya baru itu terjadi tepatnya pada pasca perang dunia II. Kemenangan dari persekutuan Amerika Serikat dan Inggris lah yang kemudian mengubah metode Kolonialisme Klasik menjadi Neo-Kolonialisme.
Gagasan dasarnya adalah ketika pada masa Kolonialisme Klasik upaya imperialisme dilakukan melalui penyerbuan secara militer terhadap negara-negara sasaran yang hendak ditaklukkan, maka di era Pasca Perang Dunia II upaya melestarikan imperialisme dilakukan melalui infiltrasi dan penetrasi modal asing dan penguasaan aset-aset industri terhadap negara-negara yang hendak ditaklukkan. Negara sasarannya sama seperti di era Kolonialisme Klasik, yaitu kawasan Asia, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin (hlm. 29).
Skema penjajahan gaya baru kemudian disusun secara strategis melalui pertemuan Bretton Woods pada 1944. Pertemuan bidang ekonomi membentuk World Bank dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), sebuah lembaga keuangan internasional yang menawarkan pinjaman kepada negara-negara berkembang untuk membiayai pembangunan negaranya.
Dari pertemuan ini lahirlah apa yang disebut paket kebijakan Konsensus Washington. Di mana inti paket yang melandasi program penyesuaian struktural IMF ini adalah: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk kebijakan penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; (4) pelaksanaan privatisasi BUMN (hlm 33).
Tak cukup menjelaskan secara teoritis, penulis juga memberikan contoh bagaimana skema penjajahan gaya baru ini bekerja. Misalnya dalam kasus ISIS. ISIS hanyalah false flag operation, sebagaimana dulu Paman Sam membidani serta memelihara al Qaeda dan Taliban, kemudian setelah besar dijadikan “tumbal hegemoninya”-nya, justru diperangi sendiri oleh AS dan sekutunya dengan berbagai dalih. Anda dapat membaca skema perang ini pada bab III: Perang Asimetris dan Perang Hibrida di Lintasan Jalur Sutra.
Bagian menarik yang mungkin membuat pembaca penasaran adalah bagaimana Cina muncul sebagai kekuatan baru dunia. Bab IV membahas khusus Cina dalam Bingkai Perang Asimetris. Rencana Cina untuk membangun dua kanal (terusan) sekaligus di dua benua berbeda, terusan Brito dan Terusan Isthmus akan sangat berpengaruh pada takdir geopolitik dunia termasuk Indonesia.
Di proyek itu, Cina sekaligus akan menerapkan Turnkey Project Management, sebuah model investasi asing yang disyaratkan oleh Cina kepada negara peminta dengan sistem paket. Artinya mulai dari top manajemen, pendanaan, materiil dan mesin, tenaga ahli, bahkan metode dan tenaga (kuli) kasarnya didropping dari Cina. (hlm 186).
Geostrategi Cina merupakan upaya pergeseran geopolitik dari Atlantik (terusan Panama dan Suez) ke Asia Pasifik. Cina memandang penting menguasai pelabuhan-pelabuhan di Asia Pasifik, karena Laut
Cina Selatan merupakan jalur strategis di dunia khususnya untuk tanker minyak dan bulk carrier khusus yang membawa sumberdaya energi dan bahan baku lainnya ke Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Cina sadar bahwa sepertiga minyak mentah yang diperdagangkan di dunia melewati perairan Laut Cina Selatan.
Pada saat buku ini diterbitkan, tepatnya pada Desember 2016, penulis memprediksi apabila tawaran Cina melalui skema OBOR (One Belt One Road) disetujui mentah-mentah oleh Presiden Jokowi, maka pembangunan dan pengembangan infrastruktur maritim tersebut justru kontra produktif dari tujuan strategis Indonesia untuk meningkatkan pertahanan dan keamanan maritim. Prediksi itu mungkin mendapat afirmasi, ketika ya, presiden kita telah menyetujui skema OBOR.
Membuat Galau
Bagi saya yang menyukai kajian mengenai isu neoliberalisme, buku ini membuat saya mampu memahami lebih jelas ada apa di balik suatu peristiwa booming yang terjadi, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain. Misalnya, isu flu burung tahun 2005, Arab Spring, dan terjadinya reformasi 98 yang cukup eksplisit ada di buku ini. Catatan kritis yang disajikan dalam buku ini dapat menjadi pisau analisa dalam memahami fenomena geopolitik yang terjadi.Tetapi, bagi saya yang juga mendukung gerakan rakyat dan pembelaan pada hak asasi manusia akan dibuat agak kecewa karena memang buku ini tidak menawarkan perspektif bagi orang gerakan. Justru buku ini cenderung menampakkan bahwa isu HAM, demokrasi, bahkan kemanusiaan hanyalah strategi AS untuk melemahkan pemerintahan.
Dan bagi Anda yang mengharapkan solusi dari permasalahan yang dibahas juga akan kecewa, sebab Anda tidak akan menemukan cara yang tepat bagaimana menghadapi Perang Asimetris yang tengah berlangsung ini. Namun setidaknya, Anda akan dibuat sadar, bahwa saat ini, Indonesia belum sepenuhnya merdeka.