Penulis : Jalaluddin Rumi
Penerbit : Forum
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2017
Cetakan : II
Jumlah Halaman : vii + 528 hlm
Peresensi : Ahmad Muqsith
Membaca buku Fihi ma Fihi, bukan perkara mudah. Meski begitu, buku ini sangat jauh dari kata membosankan jika dibaca. Mungkin beberapa orang mengatakan bahwa tidak semua orang akan mampu memahami kedalaman penyelaman pikiran Rumi, tetapi sebagai orang awam tidak berarti tidak ada cahaya yang bisa kita tangkap dari karya ini.
Membaca karya ini kadang tersentak di tengah dan bangkit dari kesadaran bahwa apa yang kita pahami selama ini ternyata mengandung kesalahan. Jika anda orang yang mengidamkan kedalaman dibanding kedangkalan yang jadi belantara di tengah masyarakat dewasa ini, anda harus membaca karya ini. Meski anda bisa membaca loncat-loncat karena penyusunann bentuknya seperti bunga rampai, saya sarankan anda tetap membaca dari awal berurutan dari pasal ke pasal lain.
Seperti yang anda duga, tentu saja muatan tasawuf di buku ini sangat kental. Bisa saja orang terperangkap ke pemahaman yang tidak dimaksudkan Rumi melalui tulisannya. Jika ada kekhawatiran seperti itu, harus dimaklumi mengingat bacaan ini bisa dihitung sebagai alat latihan pemurnian jiwa. Kabar baiknya, Rumi selalu menganalogikan ayat Al-Qur’an ataupun Hadis dengan fenomena sehari-hari yang sebenarnya percikan cahanya tetap bisa ditangkap oleh pembaca yang awam terhadap tasawuf.
Kenapa Manusia Dimuliakan?
Saya sendiri membaca Fihi ma Fihi dalam kacamata Gerakan Mahasiswa. Dalam Permulaan Pasal 4, Rumi mengutip Al-Qur’an Surat Al-Isra Ayat 70, “..Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam..” sebagai dasar perenungannya yang didahului penyampaian Al-Qur;an Surat Al-Ahzab Ayat 72 tentang menolaknya langit, bumi dan gunung-gunung yang menolak amanah karena takut mengingkari dan akhirnya dipikulah amanah tersebut oleh manusia.
Menurut Rumi Allah tidak berfirman: “Sungguh telah Kami muliakan langit dan bumi” karena ada alasan kuat kenapa manusia yang dimuliakan. Semua hal yang tidak bisa dilakukan seorang diri oleh langit, bumi, dan gunung, bisa ditangani oleh manusia. Kalau manusia sudah melakukan hal tersebut, maka hilanglah predikat dzalim dan bodoh dari dirinya. Hal yang dimaksud Rumi memang tidak dijelaskan secara eksplisit dan jelas, tetapi melalui berbagai contohnya tersirat bahwa tugas itu adalah menjaga dan mengelola bumi.
Kamu bisa saja berkata: “Jika aku tidak melakukan hal itu, masih banyak hal lain yang bisa aku lakukan,” padahal manusia menurut Rumi, tidak diciptakan untuk melakukan hal-hal selain itu (menjaga dan mengelola bumi). Kemudian Rumi menampilkan beberapa analogi.
Pertama, misalnya kamu membawa sebilah pedang baja dari India yang tidak ternilai harganya seperti yang ada di lemari para raja, lalu kamu memakainya untuk mencincang daging busuk sembari berkata: “Aku tidak akan membiarkan pedang ini tak berfungsi, aku akan menggunakan untuk berbagai hal.
Kedua, misal kamu menjadikan belati permata sebagai paku untuk menggantung tumpukan kertas lusuh sembari berkata: “Aku akan menjadikan belati permata ini sebagai paku untuk menggantung tumpukan kertas lusuh, tak akan kubiarkan alat ini tak beroperasi. Bukankah yang demikian itu sangat menyedihkan dan menggelikan? Ketika seseorang bisa menggantung tumpukan kertas lusuh dengan paku yang terbuat dari kayu atau besi yang sangat murah, apakah masuk akal kalau dia malah menggunakan belati permata yang berharga seratus dinar.
Pasal ini sangat tepat dibaca oleh mahasiswa dengan tugas pemenuhan takdirnya sebagai kaum intelektual. Tujuan-tujuan dunia intelektual harus terpenuhi oleh mahasiswa, jangan sampai tugas tersebut tidak dijalankan dengan mengatakan, “setidaknya aku rajib belajar dan nilaiku bagus” atau “setidaknya aku mengikuti organisasi dan tidak hanya belajar di kelas”. Maka, tidak terpenuhinya tugas intelektual para mahasiswa sama dengan gambaran Rumi tentang Pedang dan Belati yang tidak digunakan sebagaimana mestinya tadi.
Selanjutnya, kita bisa melihat pasal selanjutnya (Pasal 4) yang menjelaskan bagian-bagian penting kehidupan yang bisa saja sering dianggap remeh manusia. Jika dipahami secara organisatoris, maka kita akan mengetahui bahwa setiap bagian dari rangkaian suatu organisasi yang ingin mencapai visi perjuangannya adalah penting dan mulia. Tidak harus kita terobsesi menjadi pemimpinnya. Dengan demikian, dalam konteks tugas mahasiswa sebagai intelektual, seorang mahasiswa masih bisa dinilai terlibat memenuhi tugas utamanya selama masih dalam lingkaran tujuan-tujuan intelektual itu ada.
Dalam Pasal 12 Rumi mengajak kita beralih dari Jihad Aksiden Menuju Jihad Pikiran. Akal itu seperti raja dalam tubuh manusia. Selama anggota tubuh yang lain patuh pada akal, maka semua urusan akan berada pada jalan yang benar. Tapi jika anggota tubuh itu tidak patuh kepadanya, maka semua urusan akan rusak.
Seperti pasal lainnya, Rumi kemudian memberi analogi. Seseorang yang mabuk karena alkohol, berapa banyak kerusakan yang diperbuat oleh tangan, kaki, mulut, dan anggota tubuh lainnya? Kemudian di hari berikutnya, ketika ia sadar, ia berkata, “Ah, apa yang telah kulakukan? Kenapa aku memukul? Kenapa aku mencaci?” Sementara menurut Rumi, wali di tengah masyarakat disamakan seperti akal dan masyarakat seperti tubuh dimana akal tersebut bersemayam.
Maka wajar jika tubuh itu harus mengikuti akal, kepasrahan masyarakat mengikuti pemikiran wali menurut rumi karena masyarakat tidak dimungkinkan bisa memahami pemikiran wali. Perjuangan itu indah, baik, dan bermanfaat, tapi apalah artinya perjuangan itu jika dibanding dengan pertolongan Allah? Sekali lagi, dalam konteks gerakan mahasiswa, tugas intelektual (mahasiswa) seperti wali, dia adalah akal yang menjaga masyarakat.
Masih banyak pasal lain yang sesuai semangat perjuangan mahasiswa memenuhi tugas-tugas kenabian lainnya. Buku ini seolah-olah cahaya yang bisa menembus dan menyentuh banyak hal. Bisa dibaca tidak saja mereka-mereka yang paham tasawuf saja, tetapi juga membuktikan bahwa tasawuf bisa jadi pembebas pemikiran dari pemahaman kegamaan yang kurang mendalam.
Kedalaman lain yang ditawarkan Rumi adalah tentang perdebatan tugas-tugas duniawi dan akhirat, bagaimana pentingnya menjaga niali solat sampai meninjau kembali cara pandang kita terhadap takdir yang bisa membawa kita dari fatalisme. Membaca buku ini saat anda sebagai mahasiswa sedang memperjuangkan keadilan, akan membuat stamina dan keyakinan anda bertambah kuat. Selanjutnya, tentu saja karya ini bisa dibaca melalui kacamata selain gerakan mahasiswa. Kacamata dalam ulasan ini hanyalah salah satu sungai yang menuju luasnya samudera perenungan Rumi.