Belajar Filsafat dari Akarnya


Judul         : Sejarah Filsafat Yunani
Penulis      : Prof. Dr. K. Bertens
Penerbit    : Kanisius
Cetakan     : Cetakan ke 25, Tahun 2011
Tebal         : 232 Halaman
ISBN         : 979-413-351-5
Peresensi   : Zaim Ahya

Jika anda bertanya perihal apa buku pengantar filsafat yang tepat, tentu akan saya jawab, buku Sejarah Filsafat Yunani karya Kees Bartens. Kenapa karya Kees Bartens saya rekomendasika? Bukan buku yang lain, padahal judulnya juga bukan pengantar filsafat, namun sejarah fisafat, lebih khusus, Yunani lagi.

Selain alasan pribadi lantaran karya Kees Bertens merupakan buku filsafat pertama yang saya baca, buku ini dengan apik dan mudah menjelaskan sejarah lahirnya filsafat dan perkembangan pemikiran para filsuf Yunani, sejak era sebelum Sokrates sampai Aristoteles.
Sebagaimana kita tahu, dan ini dijelaskan oleh Kees Bertens, filsafat lahir dari Yunani, bahkan, walaupun berlebihan, kata seorang filsuf modern, Alfred Whitehead, seluruh fisafat barat tidak lain adalah catatan kaki dari pemikiran Plato. Maka tak berlebihan, walaupun judulnya sejarah filsafat, namun lantaran digandengakan dengan kata Yunani yang menjadi tempat lahirnya filsafat, buku ini pantas dijadikan sebagai pengantar memahami filsafat. Bukankah saat kita ingin memahami sesuatu, akan terbantu jika mengetahui asal-usulnya?

Kees Bertens membagi bukunya itu menjadi lima bab: (1) Filsafat Sebagai Ciptaan Yunani, (2) Filsafat Pra-Sokratik, (3) Kaum Sofis dan Sokrates, (4) Plato dan (5) Aristoteles.

Pada bab pertama Bertens membahas banyak hal, mulai dari asal usul dan kapan istilah filsafat atau filsuf lumrah digunakan di Yunani sampai tentang keadaan Yunani saat itu. Dari sekian banyak hal yang dibahas Bertens, yang terpenting saya kira adalah hal-hal yang turut membidani lahirnya filsafat di Yunani. 

Lahirnya filsafat pada abad ke 6 SM di Yunani disebut sebagai greek miracle, atau peristiwa ajaib. Penyebutan ini karena tak ada penjelasan yang tuntas perihal alasan lahirnya fisafat di Yunani pada abad itu. Namun, setidaknya ada tiga faktor yang bisa dikatakan punya pengaruh dalam membidani lahirnya filsafat. 

Faktor yang pertama adalah mitologi. Sebagaimana bangsa-bangsa lain, Yunani juga kaya dengan mitologi. Menurut Bertens, mitologi bisa dikatakan sebagai salah satu faktor yang membidani lahirnya filsafat, karena mitologi merupakan sebuah percobaan manusia untuk mengerti. Dengan mitologi, manusia mencoba menjawab pertanyaan seperti asal usul dunia ini. Selain itu, orang-orang Yunani memperlakukan mitologi dengan cara melakukan sistematisasi secara keseluruhan, sehingga ketika ada suatu mitologi yang tak cocok dengan yang lain, maka akan disingkirkan. Perlakuan atas mitologi yang demikian, menurut Bertens adalah penampakan dari sifat rasional orang-orang Yunani. 
Selain mitologi, faktor yang berpengaruh dalam munculnya filsafat di Yunani adalah tradisi kesusastraan. Kata Bertens, yang dimaksud kesusastraan di sini bukanlah dalam artinya yang sempit, tetapi kesusastraan yang juga mencakup seperti perumpamaan-perumpamaan, teka-teki dan dongeng-dongeng. 

Faktor ketiga, ilmu-ilmu pengetahuan dari Timur Kuno yang telah ada pada saat itu. Namun, kata Bertens, walaupun ilmu pengetahuan Timur Kuno ini berjasa dalam membidani lahirnya filsafat di Yunani, tetapi tidak boleh dilebih-lebihkan. Menurut Bertens, pengetahuan dari Timur Kuno yang bersifat praktis, oleh orang-orang Yunani diolah sedemikian rupa sehingga mendapat corak yang benar-benar ilmiah. 

Di samping tiga faktor ini, dan ini menjadi alasan ilmu dari Timur Kuno memperoleh corak ilmiahnya di tangan orang-orang Yunani, ada faktor lain, yakni karena orang-orang Yunani hidup dalam polis sebagai orang merdeka. 

Polis sendiri bisa didefinisikan sebagai negara kota, yang menurut Bertens memiliki tiga ciri. Ciri pertama adalah otonomi – dalam arti memiliki hukum sendiri. Adalah kebanggaan orang Yunani ketika diperintah sesuai hukum dan mereka membenci kesewenang-wenangan. Sedangkan ciri ke dua adalah swasembada ekonomi, sehingga tak bergantung dengan negara lain, kendati hal ini tidak selalu bisa direalisasikan, kata Bertens. Adapun ciri yang ke tiga, kemerdekaan politik. Semua warga negara dalam sidang umum mengambil bagian mereka masing-masing, dalam kalimat yang lebih singkat, urusan negara merupakan urusan umum, dan tidak hanya ditentukan oleh segelintir orang, namun semua warga negara terlibat di dalamnya. 

Kondisi polis dengan gambaran seperti yang telah dijelaskan menuntut terciptanya iklim ilmiah di Yunani. Dengan situasi yang demikian, logos menempati kedudukan istimewa. Logos dalam konteks ini oleh Bertens dimaknai sebagai rasio, juga bahasa. Dalam polis Yunani, fungsi tertinggi bahasa bukan sebagai keramat dalam ritus keagamaan. Bahasa justru memainkan peranan penting sebagai alat politik. Keputusan sidang misalnya, ini ditentukan dari kecanggihan beragumentasi. Keadaan yang demikian ini menuntut sebuah refleksi yang melahirkan aliran Sofistik dan ilmu retorika, dan juga mendorong Aristoteles nantinya merumuskan aturan ilmu logika yang sistematis. 
Setelah menjelaskan tentang hal-hal yang membidani kelahiran filsafat, pada bab ke dua Bertens mulai mengajak kita menulusuri riwayat dan pikiran tokoh-tokoh filsafat pra Sokrates seperti Miletos, Thales dan sebagainya. Sedangkan pada bab ke tiga, Bertens, alih-alih menjelaskan Sokrates secara mandiri, justru menggabungkannya dengan kaum Sofis. Penggabungan ini bukan tanpa alasan. Kata Bertens, selain mereka hidup pada satu masa, mereka juga memperbarui filsafat dengan cara yang sama. 

Mengutip Cicero, filsuf dan sastrawan Roma, Bertens menulis, “Sokrates telah memindahkan filsafat dari langit ke atas bumi”. Maksud dari ungkapan ini, Sokrates – juga kaum Sofis – menjadikan manusia sebagai objek penelitiannya. Berbeda dengan para filsuf sebelumnya yang lebih fokus kepada alam semesta. Selain alasan ini, penggabungan pembahasan Sokrates dan kaum Sofis, adalah lantaran filsafat Sokrates adalah refleksi kritis dari pikiran-pikiran kaum Sofis. 

Dalam bab ini, dan di bab selanjutnya, yakni penjelasan tentang Plato (bab ke empat) dan Aristoteles (di bab ke lima atau terakhir), Bertens secara sitematis dan sederhana menjelaskan prihal para filsfuf-filsfuf itu, mulai dari riwayat, metode berfisilsafat, dan pikiran-pikiran mereka yang lebih khusus seperti pandangan tentang etika dan negara. 

Dari pembacaan penulis atas buku ini, ada beberapa tema yang paling berkesan, dalam arti masih diingat walaupun samar, seperti tentang metode berfilsafat yang digunakan oleh Sokrates. Filsuf yang tidak menuliskan pikirannya ini, menggunakan dialektika sebagai metode berfilsafat. Sokrates menanyakan kepada banyak orang-orang tentang apakah itu salah atau tidak, apakah itu adil atau tidak adil dan apakah itu pemberani atu pengecut misalnya. Oleh Soktrates, jawaban orang-orang atas pertanyannya itu kemudian dijadikan sebagai hipotesis, yang kemudian dievaluasi dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutan. 

Sokrates sendiri memilih nama metodenya ini dengan seni kebidanan. Bukan seperti profesi bidan yang membantu proses kelahiran bayi, Sokrates, tulis Bertens, membidani jiwa-jiwa manusia. Maksudnya, Sokrates tidak membawa sebuah pengetahuan, namun dengan metodenya itu ia membidani lahirnya pengetahuan-pengetahuan yang tersimpan dalam jiwa manusia. 
Metode Sokrates ini tampaknya yang menyebabkan ia dihukum mati oleh negara. Ia dituduh tidak percaya pada dewa-dewa yang diakui polis dan punya pengaruh buruk terhadap anak-anak muda. Tuduhan ini secara politis sangat masuk akal, mengingat metode berfilsafat Sokrates ini berpotensi mengguncang kedudukan mereka yang berkuasa. Dalam konteks ini, relasinya dan negara, Sokrates dalam tulisan Goenawan Mohamad di buku Catatan Pinggir 2, menyebut dirinya sebagai semacam lalat pengganggu. “Negara”, tulis Goenawan mengutip Sokrates, “adalah ibarat seekor sapi raksasa yang lamban geraknya karena ukurannya yang besar itu. Karena itu sang ternak memerlukan pengganngu agar digelitiki jadi hidup”. 

Selain berkenalan dengan Sokrates melalui buku ini, Bertens berhasil membawa penulis menelusuri pikiran-pikiran Plato. Seperti tentang konsep dunia ide, yang sama mengenal yang sama, pengingatan kembali, mitos tentang goa dan negara dengan apik dijelaskannya. Bertens, selain dengan sederhana menjelaskan pikiran-pikiran Plato, juga memperlihatkan perkembangan pemikiran guru Aristoteles ini. Misalnya dalam persoalan negara, Plato dalam karya awalnya (Politea) berpendapat para pemimpin (Plato menyebut mereka dengan para penjaga) terdiri dari kalangan filsuf dan melarang kepemilikan pribadi bagi mereka. 

Berbeda dengan karyanya yang pertama, dalam Politikos, Plato mulai meninggalkan cita-citanya perihal filsuf sebagai pemimpin negara lantaran dianggap tidak praktis, dan mengusulkan undang-undang sebagai institusi tertinggi. Kata Bertens, dalam karya ke dua Plato tentang negara itu, masih menyisakan pertanyaan, “undang-undang mana yang dianggap cocok untuk suatu negara?”. Jawaban atas pertanyaan itu disediakan oleh Plato dalam karya terakhinya, Nomoi yang berarti undang-undang. Dalam karya ini, Plato juga mengusulkan bentuk negara; semacam bentuk perpaduan antara demokrasi dan monarki, lantaran, bagi Plato, banyaknya kelaliman yang berpotensi pada monarki, begitu juga banyaknya kebebasan yang melekat pada demokrasi. 

Setalah membahas Plato, menutup bukunya dengan menyajikan riawayat dan pemikiran Aristoteles. Pada murid Plato ini, kita akan menemui banyak hal. Tidak hanya pemikiran tentang logika dan negara, namun juga ilmu yang sekarang telah memisahkan diri dari filsafat dan menjadi ilmu mandiri seperti fisika dan psikologi. Tentang pikiran-pikiran Aristoteles ini, penulis tak bermaksud menjelaskannya di tulisan ini. 

Sebagimana niat awal, tulisan ini hanya sekedar ulasan sederhana. Oleh karena itu kita cukupkan di sini. Terakhir, penulis hanya berpesan, jika pembaca tak merasa puas dengan ulasan ini, silahkan baca sendiri buku karya Kees Bertens! Atau anda mau menyarankan ulasan pengantar filsafat selain ini? Saya menantikannya.