Kompleksitas Permasalahan Bahasa Kita


Judul         : Problem Bahasa Kita
Penulis      : Fariz Alniezar
Penerbit     : KAKTUS
Cetakan     : Pertama, Tahun 2017
Tebal         : 186 Halaman
ISBN         : 978-602-5044-1-7
Peresensi   : Ahmad Sajidin

Di negara kita permasalahan bahasa tidak begitu diperhatikan apalagi di era digital dan teknologi seperti sekarang. Bahasa yang setiap hari digunakan mengalami perubahan yang sangat cepat, baik dalam pelafalan maupun makna yang dimaksudkan. Fenoma ini tentu akan menimbulkan kerancuan di berbagai lini kehidupan, mulai dari ilmu pengetahuan, teknologi, agama, seni, pendidikan, lingkungan hidup, ekonomi, kesadaran diri, kesehatan dan lain sebagainya. Hal ini juga bisa kita kaitkan dengan persoalan Pandemi covid 19. Sejak awal kemunculannya, wabah ini masih disebut sebagai endemi, artinya hanya menjalar disekitar wilayah wabah itu berasal. Tetapi lama kelamaan wabah ini begitu cepat persebaranya hingga pada bulan maret lalu sampailah ke Indonesia.  Pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa ada dua warga Indonesia yang positif covid 19 atau yang sering disebut corona.

World Health Organization (WHO) lalu mengumumkan wabah ini sebagai pandemi, sehingga seluruh warga dunia harus waspada untuk mengantisipasi wabah ini. WHO meminta semua negara bersiap ketika nanti wabah tersebut telah menyebar ke seluruh dunia, bebarengan dengan itu WHO kemudian memunculkan beberapa istilah yang kemudian langsung viral diseluruh dunia. Beberapa istilah tersebut bertujuan sebagai himbauan untuk pencegahan penyebaran virus corona, diantaranya; social distancing (Pembatasan Sosial) kemudian diubah menjadi physical distancing (pembatasan fisik). Kemudian di negara-negara yang wabahnya sudah menjalar luas dan banyak menelan korban menerapkan kebijakan lock down (Terkunci). 
Sejak Maret bulan lalu angka pasien positif di Indonesia terus naik signifikan diikuti dengan jumlah kematian yang signifikan pula. Sejak Maret lalu sampai hari ini tanggal 11 April 2020, total kasus mencapai angka 3.844 kasus positif dengan angka kematian 327 dan angka kesembuhan 286, lalu angka penemuan kasus baru sebanyak 330 kasus dengan total yang sudah dites sebanyak 19.452 (sumber; coronaworldmeter) dari total 270 juta penduduk Indonesia. Itu angka yang terdeteksi dan disampaikan oleh pemerintah, meski ada kemungkinan masih banyak kasus positif  yang belum terdeteksi mengingat masih terlalu sedikit jumlah penduduk yang sudah dites dibanding jumlah total penduduk Indonesia.

Dengan jumlah angka kasus yang terus meningkat sedangkan penanganan belum maksimal, masyarakat di berbagai daerah berinisiatif untuk melakukan swadaya pencegahan covid 19. Sebagian dari mereka menerapkan lock down seperti dibeberapa negara-negara lain, terlihat di berbagai kota dan kabupaten seperti Tegal, dan sampai pada tingkat desa seperti yang dilakukan di Pati, menariknya adapula yang menuliskan 
 "lock don’t bukannya lock down".
Dalam kaitanya dengan kasus semacam ini, buku yang ditulis Fariz Alniezar menjelaskan lema pemilu dan bahasa kuminggris. Dalam buku ini ia mengkritik istilah-istilah seperti: parliamentary threshold, electoral threshold, quick count, real count, one man one vote, vote getter dan lain sebagainya.
Menurutnya motif ini tidak ada kaitanya dengan motif pendidikan politik akan tetapi hanya motif gagah-gagahan. Hal seperti itu tidak berdampak signifikan dan cenderung mengindikasikan bahwa mental kita inlander, tidak bangga dengan bahasa sendiri. Ia menyampaikan kenapa bahasa yang digunakan tidak menggunakan bahasa yang mudah dipahami? Dalam lema pemilu misal, seperti kata ambang batas parlemen untuk parliamentary threshold, hitung cepat untuk quick count dan hitung resmi untuk real count (h.93).

Jika kita menilik fenoma corona di Indonesia, kita juga akan menjumpai fenoma yang sama. Mengapa yang di sebarkan itu kata lockdown bukan karantina wilayah (meskipun akkhir-akhir ini baru terdengar disampaiakan lewat berbagai berita), mengapa memakai diksi physical distancing bukan jaga jarak?Apakah bahasa yang disampaiakan sudah benar-benar memberikan efek mendidik pada masyarakat di semua kalangan. 
Di dalam buku ini terdapat banyak lema bahasa yang rancu secara pelafalan dan makna yang disebabkan oleh kemalasan membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), malah ada "juga" kesalahan dari KBBI itu sendiri. Fariz menjelaskan secara detail berbagai permasalahan tersebut dalam empat bagian, tentu disertai argumen yang logis dan filosofis berdasarkan pada ilmu kebahasaan yang teliti. 

Di bagian awal ia menulis kritik soal lema amar ma’ruf nahi munkar dan dakwah. Kritik yang disampaikan Fariz dalam hal ini mengkritik sebagian kelompok yang menggunakan legitimasi fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) sebagai perintah untuk merazia orang Islam yang menggunakan atribut natal. Bagi penulis orang yang memiliki faham demikian sangatlah dangkal dalam memahami bahasa dan ia tidak dengan jernih mengidentifikasi siapa yang mengungkapkan dan bagaimana menyikapinya. 

Penulis berpendapat bahwa Indonesia sebagai negara hukum, membuat yang berhak meberikan perintah hanyalah pemerintah yang sah. Lembaga selain pemerintah tidak bisa memberikan perintah semaunya sendiri. Selain lembaga pemerintah, ia punya hak untuk berdakwah yang dalam bahasa Indonesia mempunyai makna ajakan, misalnya dalam konteks ini adalah MUI.
Kemudian dalam Al-Quran kalau dicek kata amar dan dakwah maka akan muncul pasangan kolokatif yaitu amar (perintah) untuk bertujuan ma’ruf (kebaikan) dakwah juga memiliki tujuan untuk berbuat khair (kebaikan). Sehingga dalam laku keseharian akan muncul kesepahaman bahwa yang berhak memiliki kuasa memerintah adalah pemerintah sedangkan wilayah ulama adalah dakwah (ajakan) dan keduanya seharusnya memiliki tujuan yang sama yaitu kebaikan. (H 16-19)

Di halaman lain Fariz juga mengkritik tentang kemalasan kita yang jarang membuka kamus. Akibatnya hal itu memberikan pemahaman yang jauh dari apa maksud suatu kata itu ada dan mempunyai makna apa asal kata itu diciptakan. Misalnya dalam penggunaan istilah mudik, apakah kita semua tahu apa maknanya dalam KBBI? Mudik diartikan sebagai, 1) (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman) 2) Pulang ke kampung halaman (H. 62).
Dari risetnya dengan metode sementic habit (perilaku semantik) muncul kesimpulan bahwa makna mudik menurut responden adalah: jalan pantura, macet dan kampung halaman. Dari sini kemudian penulis merujuk pada pendapat Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya Arus Balik yang curiga bahwa bangsa ini telah berbalik peradaban, yang aslinya maritim menjadi daratan. (H. 62)

Tidak hanya mengritik kemalasan warga Indonesia yang malas membaca KBBI, Fariz juga mengkritik KBBI yang banyak kesalahan dalam mengartikan bahasa. Misal dalam lema kurban dan korban, yang cenderung disamakan artinya, padahal secara praktik penggunaan bahasa jauh berbeda. Dalam KBBI kurban diartikan 1) persembahan kepada Allah 2) pujaan atau persembahan kepada dewa-dewa. Sementara korban diartikan 1) pemberian untuk menyatakan kebaktian 2) orang, binatang dsb yang menjadi menderita (mati dsb) akibat suatu kejadian, pebuatan jahat.
Jika kita cermati keduanya hampir memiliki arti yang sama, padahal dalam realitas keseharian sangat jauh berbeda. Kurban berarti perilaku kebaktian kepada Tuhan sedangkan korban adalah seseorang ataupun makhluk yang sedang mengalami penderitaan.  KBBI dengan demikian harus terus diberikan masukan. Hal ini penting supaya makna kata yang dihasilkan, bisa sesuai dengan laku yang ada dalam keseharian masyarakat pengguna bahasa. Tentu saja maksudnya pakar bahasa yang menyarankan, bukan setiap orang yang awam ilmu bahasa.

Dari beberapa uraian diatas jelaslah betapa pentingnya kita untuk lebih jeli dalam menggunakan bahasa. Dampak yang ditimbulkan kesalahan penggunaan bahasa bisa sangat kompleks bagi kehidupan, apalagi kalau kita merujuk pendapat Anton M Moeliono (2010) bahwa bahasa adalah hakikat dari pikiran itu sendiri. Bahasa yang sistematis dan baik secara langsung menunjukkan ketertiban pola pikIr sang penutur, namun sebaliknya bahasa yang tidak sistematis adalah dalil kuat akan keruwetan pikiran sang penutur.
Proses penggunaan bahasa akan mengiringi proses kebudayaan yang ada di suatu tempat, sebagaimana mendiang Ayatrohaedi (2009) mengungkapkan, kebudayaan yang baik secara tidak langsung terbangun dari pondasi kebiasaan yang baik, kebiasaan yang baik sudah barang tentu lahir dari pola pikir yang baik, dan pola pikir yang baik tidak lain bisa tumbuh subur dari bahasa yang baik. Terakhir, buku ini sangat saya rekomendasikan bagi semua kalangan mengingat bahasa yang digunakan mudah dan juga tidak tebal, hanya 186 halaman, jadi bisa dibaca santai sambil diam di rumah menunggu wabah corona musnah.