Melawat ke Negeri Timur nan Eksotis: Sajian Berbeda dari Pariwisata di Hindia-Belanda



Judul
Pariwisata di Hindia-Belanda (1891-1942)
Penulis
Ahmad Sunjayadi
Penerbit
KPG bekerjasama dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient 
Cetakan
Cetakan pertama, 2019
Tebal
356 halaman
ISBN
978-602-481-282-9
Peresensi
Maulana Malik Ibrahim (Santri Ponpes RKSS)

Melawat ke tempat yang jauh, berdagang, atau menyebarkan suatu kepercayaan sebenarnya sudah dilakukan para leluhur umat manusia. Namun sejak kapan ‘perjalanan’ tersebut menjadi sebuah industri yang memiliki nilai ekonomi?

Revolusi industri menghasilkan banyak teknologi transportasi yang mendukung adanya pariwisata seperti kereta api, kapal bertenaga mesin serta kendaraan bermotor. Perusahaan Thomas Cook & Son yang berdiri tahun 1841 di Inggris mempelopori lahirnya pariwisata sebagai industri dan berpengaruh pada industri pariwisata di belahan dunia serta menjadikan Barat menjadi kiblatnya.

Di negeri Timur jauh, Hindia-Belanda, mendirikan perhimpunan pariwisata karena terinspirasi dari Kihin-Kai (Welcome Society) di Jepang pada Maret 1893 yang bertujuan: “memperlihatkan kepada orang Barat yang berkunjung bahwa Jepang sama beradab dengan Barat” (h.94).  Maka pada 13 April 1908 di Batavia secara resmi didirikan perhimpunan kerjasama antara swasta-pemerintah bernama Verenigning Toeristenverkeer (VTV). Bertujuan mengembangkan pariwisata di Hindia-Belanda yang apabila dilihat secara ekonomis bisa menjadi salah satu sarana pemasukan kas negara.
Catatan Perjalanan Wisata di Hindia-Belanda

Catatan dan pendokumentasian sebuah perjalanan merupakan hal penting. Berbagai peristiwa dan sudut pandang dapat menjadi hal menarik untuk diulas dan dijadikan sumber referensi. Nusantara di masa-masa kerajaan tercatat dalam berbagai catatan perjalanan para tokoh seperti Tomas Pires, Marcopolo, Ibnu Batuttah, dll. Pelancong dari negeri jauh mengungkapkan berbagai hal seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, sejarah, bahasa, dll.

Anna Forbes seorang isteri dari ilmuwan naturalis, Henry O. Forbes mencatat kesannya saat mengunjungi pulau Banda, Ambon. Dalam bukunya Insulinde: Experience of a Naturalist’s Wife in the Eastern Archipelago (1887) seperti yang dikutip Sunjayadi (2009:55), Anna berkisah:

“Banda adalah tempat terindah yang pernah kami kunjungi. Seolah untuk menyeimbangi kemewahan dan kesuburan itu, menjulang gnung berapi yang mengerikan, gunung api, yang selamanya mengepulkan asap dari kerucutnya yang elok, bagaikan penjaga galak taman-taman surge itu”.

            Seorang pribumi bernama Poerwalelana juga mengisahkan lawatannya di negeri sendiri dengan bahasa Jawa, Tentu pada waktu itu jarang sekali pribumi golongan bawah melakukan kegiatan wisata. Poerwalelana kagum:
“Sayektos gebyaring toya wau kados salaka inates ing sesotya…, biru ijem warnaning kang redi prawata cemeng yen tiningalan jurang cerug, daredeg pethak kados kapuk tinumpuk, kukus kang medal saking redi Marapi”. (Air berkilauan bak perak bertahtakan batu mulia…, biru kehijauan warna gunung Prawata; hiam jurang yang dalam; asap putih mengepul dari Merapi laksana kapuk yang berkumpul) (h. 54).

            Beberapa nama tokoh tercatat pernah melawat ke Hindia-Belanda selain untuk wisata, juga untuk melaukan perdagangan, penelitian, diplomasi, dll. Nama-nama tersebut adalah Claude-Joseph Desire Charnay (seorang arkelog Prancis), Modest M. Bakunin (diplomat Rusia), Raja Chulalogkorn dari Siam, J.F. van Bemmelen (ilmuwan biologi Belanda), Eliza Sidmore (wartawan National Geographic), Jagat-Sit Singh, (Raja Kapurthala dari India) (h.41).

Di Hindia-Belanda, para turis akan menginap di hotel yang tersebar di seluruh wilayah Hindia-Belanda. Sunjayadi menuturkan: Hindia, terutama di Jawa memiliki hotel berkualitas baik. Hotel-hotel tersebut ada di kota-kota di Jawa seperti Batavia, Buitenzorg, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya. Ada pula di kota-kota di daerah pegunungan, seperti Sukabumi, Garut, Bandung, Magelang, Tosari, dan Malang. Di Sumatera, hotel terdapat di Padang, Fort de Kock, Medan. Hotel di Sulawesi ada di Makasar, Tondano, Menado… Hotel yang dimaksud adalah hotel yang dimiliki oleh orang Eropa” (h. 32-33).

Yang Menjadikan Pariwisata di Hindia-Belanda Berbeda

Umumnya sebagai seorang wisatawan pasti akan melihat apa saja yang bisa diberikan oleh tempat yang akan dikunjungi sehingga bisa memuaskan mata dan batinnya. Objek yang dijadikan ajang promosi untuk kegiatan pariwisata di Hindia-Belanda tidak sebatas pemandangan alam (gunung, pantai, danau, dan lainnya) dan obyek sejarah seperti candi dan museum. Namun kebiasaan-kebiasaan masyarakat pribumi pun juga menjadi sebuah ciri khas yang membedakan lawatan di Hindia-Belanda menjadi makin berkesan dibanding negara lain.
Iklim di Hindia-Belanda yang berbeda dengan Eropa menyebabkan berbagai kebiasaan yang dilakukan masyarakat pribumi menjadi daya tarik bagi promosi wisata mereka. Kebiasaan “mandi” adalah salah satu yang menarik bagi para turis. Orang-orang londo tidak memiliki kebiasaan mandi 2 kali sehari, bahkan mereka cukup mandi beberapa kali saja dalam seminggu.

Selanjutnya kegiatan menyantap rijsttafel dan sambal sebelum melakukan siesta (istirahat tidur siang). Sunjayadi berkisah: “Usai menikmati rijsttafel para tamu disarankan untuk siesta, beristirahat selama beberapa jam dikamar masing-masing atau duduk di kursi malas di serambi hotel. Para pengunjung tidak disarankan tidak keluar hotel dan menghindari sinar matahari. Pada pukul empat sore setelah beristirahat mereka menikmati teh yang telah disiapkan oleh para jongos. Setelah itu mereka diminta untuk menyegarkan diri dengan mandi” (h. 71).

Negeri Timur jauh ini memiliki kekayaan kuliner. Tentu hal itupun dimanfaatkan oleh para pengusaha industri pariwisata dan hotel. Hidangan rijsttafel dan sambal pedas menjadi menu andalan. Nasi yang dicampur dengan berbagai lauk, mulai dari ayam, perkedel, masakan sayur, dll. Kuliner semacam ini jadi menu andalan berbagai hotel.

Sebagai usaha untuk menarik banyak turis datang ke Hindia-Belanda, VTV berusaha dengan berbagai macam jalur promosi. Tidak hanya dengan buku panduan wisata, VTV juga membuat poster, majalah berbahasa Inggris, film dokumenter, hingga mengikuti pameran di World Fair New York dan Golden Gate International Exposition San Francisco pada tahun 1939-1940. Data VTV menunjukan, jumlah turis yang datang di Hindia-Belanda pada tahun 1908-1918 sebanyak 23.727 orang . Kemudian pada tahun 1919-1929 jumlah turis sebanyak 60.471 orang (h. 242). Berbagai industri pariwisata seperti Lissone & Zoon (Belanda), Thomas Cook & Son (Inggris), Hartman (Jerman), Schenker & Co. (Austria), Excursions Cassier (Belgia) pada tahun 1908 mengajukan kerjasama dengan Staatsspoorwegen Hindia-Belanda agar bisa turut mengkoordinir turis Eropa ke Jawa.

Masa Kemunduran VTV
Kemunduran VTV dan pariwisata di Hindia-Belanda adalah sejak kedatangan tentara Jepang di Indonesia pada tahun 8 Maret 1942. Sunjayadi mengisahkan: “Namun, bukan berarti kegiatan pariwisata di Hindia-Belanda tidak ada sama sekali. Kegiatan pariwisata hamper terhenti karena hamper semua fasilitas yang mendukung kegiatan pariwisata dalam kondisi rusak. Sebelum pemerintah Hindia-Belanda menyerah kepada Jepang, mereka memerintahkan untuk merusak fasilitas-fasilitas umum, seperti jembatan, jalan kereta yang merupakan sarana infrastruktur penunjang kegiatan pariwisata (h. 278). Kemudian industri pariwisata dalam negeri baru muncul pasca Indonesia merdeka.

Disertasi yang dibukukan ini menjadi bukti penting bahwa industri pariwisata di Nusantara sudah ada sejak lama. Sunjayadi menuturkan: Dari tiga destinasi prioritas pada 2017 (Bali, Jakarta, Kepri), dua destinasi (Bali, Batavia/Jakarta) pada masa kolonial sudah menjadi tujuan wisata unggulan. Demikian halnya dengan “10 Bali Baru” (Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Candi Borobudir, Bromo, Mandalika, Labuan Bajo, Wakatobi, dan Morotai). Tiga diantaranya (Danau Toba, Candi Borobudur, Bromo) juga sudah menjadi tujuan wisata pada masa Hindia-Belanda). Hal ini memperlihatkan ada kontinuitas objek wisata di Indonesia” (h. 303).