Judul
|
:
|
Penulis
|
:
|
Penerbit
|
:
|
Cetakan
|
:
|
Tebal
|
:
|
ISBN
|
:
|
Peresensi
|
:
|
Melawat ke tempat yang jauh, berdagang,
atau menyebarkan suatu kepercayaan sebenarnya sudah dilakukan para leluhur umat
manusia. Namun sejak kapan ‘perjalanan’ tersebut menjadi sebuah industri yang
memiliki nilai ekonomi?
Revolusi industri menghasilkan
banyak teknologi transportasi yang mendukung adanya pariwisata seperti kereta
api, kapal bertenaga mesin serta kendaraan bermotor. Perusahaan Thomas Cook
& Son yang berdiri tahun 1841 di Inggris mempelopori lahirnya pariwisata
sebagai industri dan berpengaruh pada industri pariwisata di belahan dunia
serta menjadikan Barat menjadi kiblatnya.
Di
negeri Timur jauh, Hindia-Belanda, mendirikan perhimpunan pariwisata karena
terinspirasi dari Kihin-Kai (Welcome Society) di Jepang pada Maret
1893 yang bertujuan: “memperlihatkan kepada orang Barat yang berkunjung bahwa
Jepang sama beradab dengan Barat” (h.94). Maka pada
13 April 1908 di Batavia secara resmi didirikan perhimpunan kerjasama
antara swasta-pemerintah bernama Verenigning
Toeristenverkeer (VTV). Bertujuan mengembangkan pariwisata di
Hindia-Belanda yang apabila dilihat secara ekonomis bisa menjadi salah satu
sarana pemasukan kas negara.
Catatan Perjalanan Wisata di
Hindia-Belanda
Catatan dan pendokumentasian
sebuah perjalanan merupakan hal penting. Berbagai peristiwa dan sudut pandang dapat
menjadi hal menarik untuk diulas dan dijadikan sumber referensi. Nusantara di
masa-masa kerajaan tercatat dalam berbagai catatan perjalanan para tokoh
seperti Tomas Pires, Marcopolo, Ibnu Batuttah, dll. Pelancong dari negeri jauh
mengungkapkan berbagai hal seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, sejarah,
bahasa, dll.
Anna Forbes seorang isteri dari ilmuwan
naturalis, Henry O. Forbes mencatat kesannya saat mengunjungi pulau Banda, Ambon.
Dalam bukunya Insulinde: Experience of a
Naturalist’s Wife in the Eastern Archipelago (1887) seperti yang dikutip
Sunjayadi (2009:55), Anna berkisah:
“Banda
adalah tempat terindah yang pernah kami kunjungi. Seolah untuk menyeimbangi
kemewahan dan kesuburan itu, menjulang gnung berapi yang mengerikan, gunung api,
yang selamanya mengepulkan asap dari kerucutnya yang elok, bagaikan penjaga
galak taman-taman surge itu”.
Seorang
pribumi bernama Poerwalelana juga mengisahkan lawatannya di negeri sendiri
dengan bahasa Jawa, Tentu pada waktu itu jarang sekali pribumi golongan bawah
melakukan kegiatan wisata. Poerwalelana kagum:
“Sayektos
gebyaring toya wau kados salaka inates ing sesotya…, biru ijem warnaning kang
redi prawata cemeng yen tiningalan jurang cerug, daredeg pethak kados kapuk
tinumpuk, kukus kang medal saking redi Marapi”. (Air
berkilauan bak perak bertahtakan batu mulia…, biru kehijauan warna gunung
Prawata; hiam jurang yang dalam; asap putih mengepul dari Merapi laksana kapuk
yang berkumpul) (h. 54).
Beberapa
nama tokoh tercatat pernah melawat ke Hindia-Belanda selain untuk wisata, juga
untuk melaukan perdagangan, penelitian, diplomasi, dll. Nama-nama tersebut
adalah Claude-Joseph Desire Charnay (seorang arkelog Prancis), Modest M.
Bakunin (diplomat Rusia), Raja Chulalogkorn dari Siam, J.F. van Bemmelen
(ilmuwan biologi Belanda), Eliza Sidmore (wartawan National Geographic),
Jagat-Sit Singh, (Raja Kapurthala dari India) (h.41).
Di Hindia-Belanda, para turis
akan menginap di hotel yang tersebar di seluruh wilayah Hindia-Belanda. Sunjayadi
menuturkan: Hindia, terutama di Jawa
memiliki hotel berkualitas baik. Hotel-hotel tersebut ada di kota-kota di Jawa
seperti Batavia, Buitenzorg, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya. Ada
pula di kota-kota di daerah pegunungan, seperti Sukabumi, Garut, Bandung,
Magelang, Tosari, dan Malang. Di Sumatera, hotel terdapat di Padang, Fort de
Kock, Medan. Hotel di Sulawesi ada di Makasar, Tondano, Menado… Hotel yang
dimaksud adalah hotel yang dimiliki oleh orang Eropa” (h. 32-33).
Yang Menjadikan Pariwisata di
Hindia-Belanda Berbeda
Umumnya sebagai seorang
wisatawan pasti akan melihat apa saja yang bisa diberikan oleh tempat yang akan
dikunjungi sehingga bisa memuaskan mata dan batinnya. Objek yang dijadikan
ajang promosi untuk kegiatan pariwisata di Hindia-Belanda tidak sebatas pemandangan
alam (gunung, pantai, danau, dan lainnya) dan obyek sejarah seperti candi dan
museum. Namun kebiasaan-kebiasaan masyarakat pribumi pun juga menjadi sebuah
ciri khas yang membedakan lawatan di Hindia-Belanda menjadi makin berkesan
dibanding negara lain.
Iklim di Hindia-Belanda yang
berbeda dengan Eropa menyebabkan berbagai kebiasaan yang dilakukan masyarakat
pribumi menjadi daya tarik bagi promosi wisata mereka. Kebiasaan “mandi” adalah
salah satu yang menarik bagi para turis. Orang-orang londo tidak memiliki kebiasaan mandi 2 kali sehari, bahkan mereka
cukup mandi beberapa kali saja dalam seminggu.
Selanjutnya kegiatan menyantap rijsttafel dan sambal sebelum melakukan siesta (istirahat tidur siang). Sunjayadi berkisah: “Usai menikmati rijsttafel para tamu disarankan untuk siesta, beristirahat selama beberapa jam dikamar
masing-masing atau duduk di kursi malas di serambi hotel. Para pengunjung tidak
disarankan tidak keluar hotel dan menghindari sinar matahari. Pada pukul empat
sore setelah beristirahat mereka menikmati teh yang telah disiapkan oleh para
jongos. Setelah itu mereka diminta untuk menyegarkan diri dengan mandi” (h.
71).
Negeri Timur jauh ini memiliki
kekayaan kuliner. Tentu hal itupun dimanfaatkan oleh para pengusaha industri
pariwisata dan hotel. Hidangan rijsttafel
dan sambal pedas menjadi menu andalan. Nasi yang dicampur dengan berbagai
lauk, mulai dari ayam, perkedel, masakan sayur, dll. Kuliner semacam ini jadi
menu andalan berbagai hotel.
Sebagai usaha untuk menarik
banyak turis datang ke Hindia-Belanda, VTV berusaha dengan berbagai macam jalur
promosi. Tidak hanya dengan buku panduan wisata, VTV juga membuat poster,
majalah berbahasa Inggris, film dokumenter, hingga mengikuti pameran di World Fair New York dan Golden Gate International Exposition San
Francisco pada tahun 1939-1940. Data VTV menunjukan, jumlah turis yang datang
di Hindia-Belanda pada tahun 1908-1918 sebanyak 23.727 orang . Kemudian pada
tahun 1919-1929 jumlah turis sebanyak 60.471 orang (h. 242). Berbagai industri
pariwisata seperti Lissone & Zoon (Belanda), Thomas Cook & Son
(Inggris), Hartman (Jerman), Schenker & Co. (Austria), Excursions Cassier
(Belgia) pada tahun 1908 mengajukan kerjasama dengan Staatsspoorwegen Hindia-Belanda agar bisa turut mengkoordinir turis
Eropa ke Jawa.
Masa
Kemunduran VTV
Kemunduran VTV dan pariwisata di
Hindia-Belanda adalah sejak kedatangan tentara Jepang di Indonesia pada tahun 8
Maret 1942. Sunjayadi mengisahkan: “Namun,
bukan berarti kegiatan pariwisata di Hindia-Belanda tidak ada sama sekali.
Kegiatan pariwisata hamper terhenti karena hamper semua fasilitas yang
mendukung kegiatan pariwisata dalam kondisi rusak. Sebelum pemerintah
Hindia-Belanda menyerah kepada Jepang, mereka memerintahkan untuk merusak
fasilitas-fasilitas umum, seperti jembatan, jalan kereta yang merupakan sarana
infrastruktur penunjang kegiatan pariwisata (h. 278). Kemudian industri
pariwisata dalam negeri baru muncul pasca Indonesia merdeka.
Disertasi yang dibukukan ini menjadi bukti penting bahwa industri pariwisata di Nusantara sudah ada sejak lama. Sunjayadi menuturkan: Dari tiga destinasi prioritas pada 2017 (Bali, Jakarta, Kepri), dua destinasi (Bali, Batavia/Jakarta) pada masa kolonial sudah menjadi tujuan wisata unggulan. Demikian halnya dengan “10 Bali Baru” (Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Candi Borobudir, Bromo, Mandalika, Labuan Bajo, Wakatobi, dan Morotai). Tiga diantaranya (Danau Toba, Candi Borobudur, Bromo) juga sudah menjadi tujuan wisata pada masa Hindia-Belanda). Hal ini memperlihatkan ada kontinuitas objek wisata di Indonesia” (h. 303).
Disertasi yang dibukukan ini menjadi bukti penting bahwa industri pariwisata di Nusantara sudah ada sejak lama. Sunjayadi menuturkan: Dari tiga destinasi prioritas pada 2017 (Bali, Jakarta, Kepri), dua destinasi (Bali, Batavia/Jakarta) pada masa kolonial sudah menjadi tujuan wisata unggulan. Demikian halnya dengan “10 Bali Baru” (Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Candi Borobudir, Bromo, Mandalika, Labuan Bajo, Wakatobi, dan Morotai). Tiga diantaranya (Danau Toba, Candi Borobudur, Bromo) juga sudah menjadi tujuan wisata pada masa Hindia-Belanda). Hal ini memperlihatkan ada kontinuitas objek wisata di Indonesia” (h. 303).