Buku bersampul warna coklat dengan ilustrasi seorang anak kecil yang sedang menggambar sebuah permainan tradisional ini mengguggah kemauan saya untuk menulis. Sampul itu bertuliskan “Kumpulan Cerita Sangat Pendek Amerika Latin; Matinya Burung-Burung”.
Karya ini disusun dan diterjemahan oleh Ronny Agustinus. Namanya mencuat pada fase awal “booming buku kiri”, membuat ledakan melalui karyanya pasca reformasi. Ia menyunting dan menulis epilog atas Madilog karya dari Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia. Tak lain, Ronny Agustinus adalah pendiri penerbit Marjin Kiri sekaligus pemerhati sastra dan politik Amerika Latin.
Buku kumpulan cerpen sangat pendek ini berbeda dari buku kumpulan cerita pendek yang lain. Apabila konvensi umum menyepakati cerpen (cuento) membutuhkan 2.000 hingga 10.000 karakter, akan tetapi genre ini terkesan bebas, tidak terikat. Jumlah halamannya sangat sedikit. Dikatakan dalam buku milik Zavala yang berjudul “Cartografias del Cuento y la Minificcion”, fiksi mini adalah narasi yang muat dalam satu halaman. Ia juga memiliki perbedaan fisik, el cuento corto (1.000s/d 2.000 kata), el cuento muy corto (200 s/d 1.000 kata), el cuento ultracorto (kurang dari 200 kata).
Menurut Ronny, genre cerita sangat pendek tampaknya makin popular juga di Indonesia. Hal itu ia sampaikan dalam pengantar yang tak seberapa pendek. Hal tersebut bisa dilihat dengan lahirnya komunitas Fiksimini, sebagian anggotanya telah menerbitkan kumpulan cerita Cemburu itu Peluru (2011) dan Dunia di Dalam Mata (2013), 100 Kata: Kumpulan Cerita 100 Kata (2009), serta fiksimini yang khusus menulis cerita sangat pendek dalam bahasa Sunda. Oleh karenanya, ia mempunyai keinginan untuk menerjemahkan karya cerita sangat pendek yang berfokus pada penulis Amerika Latin.
Kumpulan cerita sangat pendek ini memiliki 129 judul dari 33 penulis yang berbeda. Jujur pikiran saya terheran- heran setelah membaca buku terjemahan ini. Akan tetapi, keheranan itu dibarengi dengan rasa salut saya kepada penulis dari Amerika Latin, dan tentu penerjemahnya. Mereka menulis dengan sangat sederhana, tidak menggambarkan konflik yang sedemikian rumit. Namun justru dalam kesederhanaan alur dan penokohannya tersebut, banyak hal-hal tidak terduga, sampai saya harus membaca berkali-kali untuk satu judul cerita.
Namanya juga cerita sangat pendek, ceritanya ya memang ada yang pendek, ada juga yang teramat sangat pendek!. Misalnya saja cerita yang berjudul “Fabel” karya Jairo Anibal Nino (Kolombia).
“Dan tikus-tikus pun bersekutu memakaikan ular derik sebagai kelonengan kucing.”
Bayangkan saja, cerita itu hanya terdiri dari satu kalimat, namun di dalamnya terdapat banyak makna dan pertanyaan. Sebenarnya siapa tikus yang dimaksudkan oleh penulis? Apakah sekelompok orang jahat yang menjebak orang lain untuk memalsukan tindakannya? Tentu sebagai pembaca, saya tidak memiliki batasan untuk berpikir kemana arah tujuan si penulis.
Atau, cerita yang berjudul “Minimus 3” karya Jose Lira Sosa (Venezuela).
“Segalanya bergerak. Tak ada yang diam karena itu bertentangan dengan hakikat alam semesta, kata sang filsuf sambil meringkuk nyaman di sofa favoritnya.”
Benar- benar cerita yang bangke. Cukup dengan satu atau dua kalimat saja, namun langsung menohok sampai ke ulu hati. Dalam cerita itu, menurut saya penulis mengkritik kebanyakan manusia yang sibuk bercuap- cuap, mengomentari segala hal dengan idealismenya. Penulis ingin menunjukkan bahwasanya dengan berbicarapun, manusia sudah bisa dikatakan bergerak. Butuh neuron dan saraf- saraf penghubung untuk bergerak sampai ke otak dan akhirnya memaksakan manusia untuk berpikir dan bertindak melalui pancaindra yang ada.
Selain cerita yang amat sangat pendek, Ronny juga memilah judul cerita dengan sangat apik. Ia selalu tidak melupakan essensi dari karyanya. Ada sebuah upaya untuk mengkritisi segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi, sosial dan politik.
Seperti halnya dalam cerita yang berjudul “Sepatu Seumur Hidup” karya Guadalupe Duenas (Meksiko). Cerita sangat pendek ini terdiri dari 11 paragraf. Mengisahkan roda ekonomi kehidupan yang berputar, kebangkrutan sebuah pabrik sepatu karena kesalahan seorang karyawan. Dalam cerita ini, karyawan berperan sebagai seorang Ayah. Kesalahan itu berimbas pada kondisi ekonomi keluarga. Sang ayah hanya mampu memberikan satu pasang sepatu kepada anaknya, bahkan sampai sepatu itu rusak, aus karena melewati beribu-ribu hujan dan lumpur.
“Aku iri pada orang-orang Indian dan anak-anak yang bertelanjang kaki, dan berharap terlindas truk suatu hari nanti agar ayahku menyesali dosa-dosanya. Tapi untunglah kakiku tidak kunjung tumbuh dan aku pun berjalan dengan hati-hati agar mokasin merahku awet”
Ada juga judul cerita yang berlatar sama, yakni “Simulakra” ditulis oleh Edmundo Paz Soldan (Bolivia). Dalam cerita ini mengisahkan perbuatan seorang anak yang gemar membohongi orang tuanya. Kebohongan itu ia mulai semenjak di bangku sekolah dasar hingga lulus kuliah, ia mendapatkan gelar sebagai dokter spesialisasi "palsu" di bidang bedah syaraf. Akhirnya dikisahkan dalam cerita ini, ibunya meninggal di tangan anaknya sendiri karena tidak bisa menangani dengan cepat.
Dari 129 judul itu, Ronny memilih judul sampul cerita sangat pendek “Matinya Burung- Burung” yang ditulis oleh Virgilio Pinera (Kuba). Rasa-rasanya perasaan kami sebagai pembaca, penulis, masyarakat sudah terwakili di dalam satu judul cerita itu. Pekikan kalimat dalam paragraf terakhirnya juga mengisyaratkan kesedihan yang tak berlalu.
“Fiksi karangan penulis, yang menghapus peristiwa, telah menghidupkan kembali mereka. Dan hanya dengan kematian sastralah mereka akan sekali lagi berguguran ke muka bumi.”
Cerita yang sangat sederhana, namun mampu membuat pembaca berpikir. Bahkan apabila pembaca malas untuk berpikirpun ia masih bisa dinikmati sambil lalu. Karena cerita itu berangkat dari kondisi sosial, ekonomi yang menyentuh masyarakat, jadi tidak akan sulit untuk dipahami oleh pembaca. Karena pembaca merasa terhubung oleh tulisan tersebut.
Tidak ada salahnya kawan-kawan untuk mencoba membaca buku yang satu ini. Karena hidup sangat pendek, buku cerita sangat pendek ini kiranya bisa jadi suguhan yang pas.
Penerjemah: Ronny Agustinus
Penerbit: Kawahmedia
ISBN: 978-979-795-983-8
Terbit: 2015
Peresensi: Fatimatur Rohmah