Buku tipis memang terkesan hanya
remah-remah Rengginang lebaran. Ia adalah bentuk pelipur lara ketika tidak
dapat kita telan Rengginang yang besar, yang telah ludes disuguhkan. Tapi
apakah remah-remah tak memiliki cita rasa yang sama dengan induk semangnya?
Pertanyaan inilah yang saya kulum perlahan saat membaca The Sea Close By, yakni
tiga tulisan remah-remah dari Albert Camus yang dikumpulkan dan diterjemahkan
oleh Dias P. Samsoerizal dan Doni Ahmadi.
Tiga tulisan ini tidak memiliki tema yang sama, sebab itu saya menyebutnya remah-remah. Selain itu ketiga tulisan Camus ini tak cukup besar seperti dalam karya lainnya, buku Orang Asing (L ‘Etranger), sebuah naskah drama terkenalnya Sampar (la paste) atau esai terkenalnya tentang legenda Sisipus (Le Mythe de Sisyphe).
Pada tulisan pertama yang berjudul sama dengan buku ini, adalah perjalanan Albert Camus di atas laut. Bayangkan saja kau sedang melancong bersama penulis kelahiran Aljazair tersebut. Sembari kau mendengar ceritanya yang sublim tentang hidup yang pasang-surut, tukar-menukar warna, seolah kegidupan itu sendiri adalah laut.
Lalu dengan sinisme ia berkata
padamu “Aku tumbuh besar dan karib bersama laut serta kemelaratan yang
menyelubinginya, sampai suatu ketika. Aku kehilangan laut, lalu menemukan semua
kemewahan abu-abu dan kemelaratan itu tak terlihat lagi. Sejak itu, aku
menunggu.” Kemudia dirimu mencoba memahami kata demi kata yang ia ucapkan
sambil melamun di dek atau mungkin kabin kapal. Dan juga pada saat bersamaan
kau merasakan angin, melihat pantai dan ombak. Semua terasa dekat denganmu,
kesedihan juga kebahagiaan kau rasakan di waktu yang sama.
Ketika itu pula Camus telah
mengoceh begitu jauh tentang permenungannya akan dunia. Bagaimana beberapa
orang mengaguminya bahkan setiap inci langkah kaki yang telah ia buat, yang
pada akhirnya membuat Camus habis-habisan berpikir di sebuah pemakaman. Lalu
mendapati ia seorang diri, terasing dan kemewahan telah menjadi jubah yang
sulit ia singkap. Mengatakan kota New York tak lebih dari sekadar sumur
berbatu. Terjebak di lorong kota kosong sampai pada akhinya ia mendengar
kembali ombak dan laut kampung halaman.
Lalu ia mengajakmu mendengarkan
kisahnya yang lain, pada tulisan kedua yang berjudul Musim Panas di
Aljazair. Di sini, kamu melihat Camus menjadi seorang melankolik saat
mengenang kampung halaman. Seperti Marno si tokoh utama dalam cerpen Kunang-kunang
di Manhattan milik Umar Kayam itu. Jika Marno melihat lampu-lampu gedung
seperti kunang-kunang di sawah untuk memulai kerinduannya, maka Camus bermuka
murung dan mengatakan Aljazair terlihat lebih membuka diri. Katanya “…orang-orang
Aljazair terbuka ke arah langit seperti sebuah muara atau luka yang menganga” dari
pada kota tua semacam Praha, Paris maupun Florence yang sibuk dengan dirinya
sendiri.
Barangkali itu sebabnya kamu
merasa begitu karib dengan Camus. Karena kamu sama-sama dari dunia ke tiga. Namun
ia terus melanjutkannya, sama sinisnya seperti pada tulisan pertama. “Musim
Panas mengkhianati awal dan akhir pada kami di Aljazair.” Gambaran itu
untuk menunjukan bagaimana negara itu tumbuh dengan terik matahari. Negara dan
kemiskinan yang telah lama membelengu akibat kolonialisme, serta mengatakan padamu
tentang humor aneh perihal kematian: “Lelucon favorit para pengurus
pemakaman orang-orang Aljazair saat mengendarai mobil jenazah kosong, adalah
berteriak: “Butuh tumpangan?” untuk setiap gadis yang mereka lewati. Itulah
kekayaan satu-satunya di sana.
Namun pada akhirnya, dalam tulisan
ketiga kamu dan Camus berhenti di City Hall, Stockholm, untuk mendengar
pidatonya saat menerima Nobel Sastra pada tahun 1957. Di podium inilah ia
menyampaikan bahwa ia berdiri di depan generasinya. Sebuah generasi yang harus
bangkit dari pengaruh nihilisme yang diakibatkan frustasi peperangan dan pada
akhirnya menyimpan Nietzshe yang hebat ke dalam lemari kaca. Bagi Camus cara
padang itu telah usang, bahwa ketidakpedulian yang dibawa Nietzshe harus enyah.
Akibatnya ia memberi bekal dalam pidatonya bahwa seni sebagai medium untuk
meyakinkan kita untuk berkomitmen pada dua hal: menolak untuk berbohong
tentang apa yang diketahui dan perlawanan akan penindasan.
Pada akhirnya, Camus bukanlah
orang pesimis seperti Satre yang kaya namun kesepian. Ia tidak lebih dari pada
orang optimis yang menyusun perlahan kebahagiaan ditumpukan kemelaratan dan
masih menyimpan harapan di akhir: tentang musim hujan sebagai akhir tulisan
kedua, membangkitkan mentalitas Eropa dengan membagikan kebahagian melalui
sastra pada tulisan ketiga dan menghardik “apakah hidup seperti ini, dalam
kesedihan yang nikmat, dalam kedekatan yang sangat dekat dengan bahaya yang
namanya tidak diketahui ini, adalah sama dengan bergegas menuju kehancuran?
Sekali lagi, tanpa istirahat, mari kita pergi.” Pada tulisan pertama. Begitulah perjalanan
telah usai.
Namun tetap saja, buku ini hanya
remahan, tapi mengapa buku ini membuat kita menjadi terasa begitu dahaga?
Identitas buku:
Judul: The Sea Close By
Pengarang: Albert Camus
Penerbit: Pelangi Sastra
Penerjemah: Dias P. Samsoerizal
dan Doni Ahmadi
Tahun Terbit: Mei, 2019
Peresensi : Aziz Afifi (Pegiat di bacabukumu.id)