Dunia Ketiga yang Terbelakang dalam Kacamata Arief Budiman

 

Buku ini adalah perasan teori-teori raksasa pembangunan yang disajikan secara “dialogis”. Tidak seperti pada umumnya jika melakukan generalisir akan berujung pada banyaknya subtansi yang tersingkirkan, Arief Budiman punya kemampuan menghindari hal tersebut. Bukunya tipis, penjelasannya langsung ke jantung setiap teori. Membaca buku ini seperti membeli es jeruk yang diperas saat terik siang hari, menyegarkan, apalagi bulir asli jeruknya begitu terasa. 

Buku Cetakan kedua tahun 1995 ini memang sudah beberapa dekaade yang lalu. Pada zamannya tentu bisa menjadi senjata utama saat di medan perdebatan menentukan arak kebijakan ekonomi nasional. Tetapi, membacanya di waktu sekarang adalah meneruskan pelacakan dan pemetaan yang dilakukan Arief Budiman, barangkali akan memunculkan sistem ekonomi alternatif yang mampu mendatangkan kesejahteraan umum bagi rakyat Indonesia.

Arief membuka bukunya dengan konsep dasar menenai ekonomi dan pembangunan itu sendiri. Ia mengawali dengan beberapa patokan yang digunakan untuk mengukur kualitas pembangunan, mulai kekayaan rata-rata (PDB/Kapita), pemerataan pertumbuhan ekonomi, kualitas kehidupan, kerusakan lingkungan dan keadilan sosial yang berkesinambungan. Marjin Kiri juga menerjemahkan buku bagus dari Lorenzo Fioramonti, Problem Produk Domestik Bruto. Fioramonti fokus pada kritik PDB yang dijadikan satu-satunya tolak ukur kesuksesan pembangunan (pertumbuhan ekonomi) di hampir seluruh negara, Arief Budiman secara tidak langsung menurut saya juga mewanti-wanti masalah ini, maka pertumbuhan ekonomi ia kaitkan dengan lingkungan dan keadilan sosial.

Buku ini secara garis besar membelah permasalahan kenapa ada keterbelakangan di dunia ketiga. Ada dua argument utama, pertama keterbelakangan teercipta karena masalah internal negara itu sendiri. Kedua, ada factor eksterna yang determinan. Argument pertama diisi penejelasan dari teori modernisasi yang membentang dari Harrod-Domar mengenai tabungan dan investasi, Marx Weber dengan etika protestanm McClelland dengan dorongan berprestasi, Rostow dengan lima tahap pembangunan sampapi pada manusia modern dari Alex Inkeles dan David Smith. Sementara argument kedua adalah mengenai munculnya teori ketergantungan dan perdebetan setelahnya.

Teori Ketergantungan

"Marx menyatakan bahwa kondisi material manusia merupakan sumber dari kesadaran dan tingkah laku manusia. Kondisi material yang ada dalam masyarakat nyata antara lain adalah sistem produksi dan distribusi sumber daya alam yang ada. Kondisi material ini menentukan kondisi sosial, sistem politik, sistem budaya manusia" (h.43).

Meski punya pengaruh besar, teori struktural ini nyatanya tidak hanya menjadi anak tunggal dari marxisme dengan tokohnya Paul Baran, tetapi ekonom liberal seperti Rul Prebisch juga Arief kategorikan dalam teori struktural. Raul Prebisch berhasil menemukan alasan kenapa negara pinggiran yang melakukan spesialisasi pertanian semakin tertinggal dengan dengan negara maju yang melakukan spesialisasi industri. Dikotomi negara pinggiran dan negara maju yang ia kemukakan menjadikannya sebagai tokoh awal dalam teori ketergantungan. Prebisch juga yang menyarankan agar negara pinggiran segera memulai industrialisasi.

Sementara Baran, melalui analisis kelasnya mengkritisi argumen Karl Marx, bahwa sentuhan Kapitalisme Eropa ke negara prakapitalis akan berdampak baik, ternyata salah. Melalui The Political Economy of Growth (1957) ia menemukan alasan kenapa India tidak menjadi negara maju meski mendapat intervensi kapitalisme dari Inggris. Ia menilai bahwa kapitalisme yang ada tidak mengakumulasi modal, malah menyusutkan. Hal ini juga sering dituduhkan kepada indonesia yang dinilai terjebak dalam pssudo kapitalisme. Alasan Baran juga bisa ditemukan dalam karya Bernstein, Class Dynamic of Agrarian Change (2010), dimana pendatang (imperealisme) selalu menjalin hubungan kerjasama mutualisme dengan pemerintah atau tuan tanah lokal.

Dos Santos juga menemukan proses modal asing yang lebih banyak dibawa kembali ke negara pendonor dibanding yang kembali diinvestasikan. Sebagai pemikir teori ketergantungan ia menyebut bahwa majunya negara pusat akan berdampak pada negara pinggiran. Begitu sebaliknya, krisis di negara pusat akan berdampak pula pada negara pinggiran. Sementara jika negara pinggiran mengalami krisis, maka negara pusat tidak terpengaruh. Dos Santos menebut ini sebagai hubungan ketergantungan yang tidaak setara.

Selanjutnya perkembangan teori ketergantungan diteruskan Dos santos yang argumennya masih menyelipkan harapan negara berkembang bisa mengejar pencapaian negara maju, meski ia sendiri mengakui ada hubungan tidak setara diantara mereka.

Beda dengan Andre Gunder Frank, melalui  Capitalism and Underdevelopment in Latin America (1967), ia menjelaskan 3 komponen utama kenapa keterbelakangan muncul. 1) modal asing, 2) pemerintah di negara pinggiran (dia menyebutnya sebagai negara satelit) dan 3) kaum borjuis negara satelit (Peter Evans menyebut 3 hal ini sebagai Aliansi Tripel).

Pembangunan hanya berputar dan menguntungkan 3 komponen ini, sehingga akumulasi yang ada dibawa keluar (modal asing kembali ke negara asal), sementara korban yang dirugikan dari proses pembangunannya adalah rakyat banyak. Ia secara tegas menyatakan harus memutus hubungan dengan negara maju dan menciptakan revolusi yang melahirkan sistem sosialisme (h. 67-68).

Teori ketergantungan pada periode 1967 - 1974 sangat santer pembahasannya di Amerika. Saat Packenham mengkritik banyak hal mengenai teori tersebut, muncul Chase-Dunn dengan mencoba mengkuantitatifkan teori ini. Upayanya adalah buntut dari tuduhan Packenham yang menilai konsep ketergantungan kurang jelas dan tidak punya definisi operasional yang ketat.  Chase-Dunn menyampaikan bahwa hasil olahan datanya menujukkan adanya hubungan antara modal dan bantuan asing terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Modal asing merupakan alat yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pendapatan (h.88).

Tentu saja usaha kuantitatif itu  segera diserang balik Cardoso. Menurutnya dengan begitu ada upaya ahistoris mengenai kenapa keterbelakangan terjadi, karena sejarah berkembang dan realitas sebenarnya begitu kompleks. Arief selanjutnya menggarisbawahi bahwa kelompok pertama menuduh pengusung teori ketergantungan hanya berteriak karena tidak mampu mengilmiahkan (mengukur secara empiris) narasi yang mereka bangun. Kelompok lainya menganggap upaya kuantitatif tersebut hanya sebagai perkembangan metodologi, bukannya mampu lebih dekat menggambarkan realitas yang terjadi sebenarnya.

Nafas teori ketergantungan adalah pelacakan sejarah tentang sistem pembagian kerja internasional (comparative advantage). Sistem ini yang memunculkan negara pusat dan negara pinggiran, yang melancarkan pengalihan surplus dari pinggiran ke pusat (h.96).

Paska Ketergantungan

Claude Meillassoux dan Philippe Rey adalah tokoh paska ketergantungan. Mereka penggagas teori artikulasi. Pada teori ini banyak membahas mode produksi, dimana menurutnya setiap negara dinilai pasti punya campuran cara produksi. Campuran moda produkai inilah yang membuat kapitalisme di negara tertentu tidak berjalan efisien. Menurut teori ini, seandainya kapitalisme dibiarkan tumbuh secara murni, maka kapitalisme di negara pinggiran bisa berkembang persis seperti di negara maju, argumen yang berlainan dengan teori ketergantungan Frank (h. 107).

Selanjutnya walerstein muncul dengan sistem dunia. Yang ia maksud sistem dunia adalah kapitalisme global. Interaksi ekonomi antar negara membuatnya percaya bahwa menganalisis negara secara sendiri-sendiri tanpa mengaitkannya pada sistem dunia adalah kesalahan.

Walerstein tidak jauh dari teori ketergantungan karena ia membagi negara yang ada menjadi negara pusat, setengah pinggiran dan pinggiran. Jika Frank melihat relasi negara kuat dengan negara pinggiran selalu menguntungkan negara maju, walerstein melihat dinamika kapitalisme global malah membuka peluang negara untuk naik atau turun kelas. Bisa jadi negara merebut kesempatan produksi tertentu, diundang untuk memfasilitasi ekspansi produksi perusahaan multinasional atau memang kebijakan nasional yang kuat untuk mandiri (h. 112).

Jika melihat paparan dari dua argumen utama buku ini mengenai hambatan internal dan eksterna dunia ketiga, saya menyimpulkan Indonesia dililit keduanya. Sebagai masyarkat agamis, etika protestan Weber dan dorongan motivasi McClelland tentu tidak bisa dinaifkan untuk menjawab pertanyaan kenapa kondisi perekonomian Indonesia masih begini-begini saja. Sementara dari teori ketergantungan, warisan David Ricardo mengenai Comparative advantage (pembagian sistem kerja internasional) membuat Indonesia sebagai negara agraris semakin terbelakang dan tergantung pada impor dan modal asing.

Satu-satunya harapan dari Arief mengenai munculnya konsep sistem ekonomi alternative di Indonesia adalah wacana ekonomi Pancasila. Konsep ini tentu sangat debatable. Wacana tersebut juga muncul-tenggelam. Perjudian besar lain yang mungkin  bisa diajukan menjadi pertanyaan berdasarkan argumen teori artikulasi adalah, bagaimana jika pemerintah menjaga kapitalisme tumbuh semurni mungkin agar industrialisasi yang berjalan tidak hanya menguntungkan—yang dalam Bahasa Peter Evans—Aliansi Tripel. Jika pembaca punya pandangan lain atau refrensi serupa buku ini, mungkin kita bisa berbagi.




Judul Buku : Teori Pembangunan Dunia Ketiga
Penulis : Arief Budiman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun/Cetakan : 1995/Kedua
Halaman/Dimensi : ix+133
Peresensi : Ahmad Muqsith

Tulisan lain Ahmad Muqsith