Isinga: Dinamika Manusia dan Ruang di Papua


Sejak kecil saya diajarkan bahwa Indonesia adalah dari Sabang sampai Merauke, dari Aceh di ujung barat sampai Papua di ujung timur. Saya suka menyanyikan lagu nasional berjudul Dari Sabang Sampai Merauke setiap kali berjalan pulang dari sekolah SD. Kekayaan budaya dan alam Indonesia selalu membuatku bangga telah menjadi bagian darinya. Sampai kemudian saya tahu, ada yang salah dari cara Indonesia mengakui kekayaan tersebut.

Papua menjadi contoh paripurna tentang bagaimana suatu komunitas masyarakat dipaksa untuk masuk menjadi bagian dari suatu negara bernama Indonesia. Dipaksa, karena aneksasi tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang seharusnya satu orang satu suara, ternyata hanya diwakili oleh sejumlah orang yang kemungkinan besar memilih di bawah tekanan militer. Kekerasan itu pun tidak hanya terjadi sewaktu hendak dianeksasi, melainkan juga pasca itu, Papua selalu mengalami kekerasan dan diskriminasi.

Hal-hal mengenai pemaksaan dan kekerasan itu tentu tidak pernah kita dengar dari guru-guru kita di sekolah. Bahkan di kampus perguruan tinggi juga masih jarang yang terbuka dengan diskursus mengenai HAM di Papua. Media pun sedikit sekali yang memberitakan masalah di Papua. Jelas negara tidak mungkin membukanya karena itu adalah aib baginya. Maka dari buku-buku dan catatan orang Papua, para peneliti, dan aktivis yang mengenal Papua lah kita memperoleh fakta mengerikan itu.

Isinga yang berarti ibu merupakan sebuah karya sastra yang cukup penting untuk melihat gambaran Papua yang dulu kental dengan budaya adat tradisional, kemudian berubah seiring datangnya gelombang transmigran dan militerisasi dari Indonesia. Melalui aplikasi Perpustakaan Nasional saya mencari buku itu dan menemukannya. Tidak lebih dari tiga hari, buku setebal 209 halaman tersebut tuntas saya baca.

Awalnya saya berusaha secepatnya menyelesaikan novel tersebut sebab kata seorang teman buku di ipusnas hanya bisa dipinjam selama tiga hari, setelah itu harus diperpanjang kalau masih ingin membaca. Tetapi, ternyata bukan itu alasan yang membuat saya cepat menyelesaikannya. Ini lebih karena kehebatan si penulis dalam meramu cerita yang penuh tragedi yang membuatku terus penasaran akan kelanjutannya, terlebih akhir kisahnya.

Roman ini bercerita tentang sebuah komunitas masyarakat adat yang dibedakan menurut klen, dusun, dan perkampungan di pedalaman Papua, di mana hukum adat masih kental dan kepercayaan atas roh-roh alam masih mengakar kuat. Di awal cerita saya merasa kehidupan masyarakat adat Papua sangatlah indah. Tidak seperti daerah lain yang pada era sebelum ada kapitalisme kebanyakan bersifat feodalisme, di lembah Pegunungan Megafu tidak ada feodalisme. Yang ada hanya berburu, berkebun, upacara adat, dan perang antar suku atau perkampungan. Sampai kemudian saya menemukan letak konfliknya, yaitu pada sistem patriarki, sistem yang menindas kaum perempuan di mana saja, lalu disusul dengan kekerasan militer oleh pemerintah Indonesia.

Gambaran patriarki ada pada kehidupan Irewa (dan juga perempuan Hobone pada umumnya) ketika ia telah menikah. Ia yang seharusnya menjadi istri Meage terpaksa menikah dengan Malom karena ia dijadikan Yonime, yaitu alat perdamaian antara dua perkampungan. Ia yang tidak mencintai Malom berusaha untuk menjadi perempuan yang baik sebagaimana nasehat dari orang-orang tua di sana.

Perempuan yang baik itu mesti pendiam. Tidak pernah mengeluh. Tidak pernah protes. Tidak pernah membantah. Tidak pernah bersedih. Tidak pernah berbicara kasar. Tidak pernah menyakiti hati orang lain. Tidak suka bertengkar. Tidak pernah marah. Tidak pernah mendendam. Penurut. Tidak berbicara kasar. Bersuara lembut. Sabar. Tabah. Selalu menyiapkan makanan untuk keluarga? (hlm. 65-66).

Dan masih banyak lagi aturan untuk perempuan. Namun sebaik apapun Irewa mencoba, ia selalu diperlakukan dengan buruk oleh Malom. Dipukul, ditendang, ditampar, bahkan diancam dibunuh. Apalagi Malom yang selalu ingin menambah anak terutama anak laki-laki tidak bosan menyetubuhi Irewa. Kepercayaan di sana makin banyak anak laki-laki makin berharga dan bermartabat. Sayangnya pada delapan kali kehamilannya, Irewa kehilangan lima anak.

Kehidupan yang sangat berat dan kurangnya pengetahuan seputar kehamilanlah yang membuat ia sering mengalami keguguran. Setiap hari ia harus ke kebun untuk menanam atau memanen, ke danau mencari ikan, ke hutan untuk mencari sagu, memberi makan ternak babinya, dan memasak untuk keluarga. Kehadiran anak membuat pekerjaannya semakin berat. Setiap kali ke kebun atau ke danau ia mesti membawa anaknya yang masih kecil di dalam noken, dan dipanggul untuk yang sudah bisa duduk.  

Selain memahami dinamika keluarga Irewa, saya juga mendapatkan gambaran dinamika kehidupan masyarakat adat Papua di tahun 1970-an hingga 1998, di mana kekerasan oleh militer terjadi karena tiga masalah: koteka, tanah, dan pemilu. Koteka, karena masyarakat enggan memakai celana pemberian pemerintah. Tanah, karena masyarakat enggan memberikan tanahnya untuk kepentingan pemerintah. Dan pemilu, karena ada anggota masyarakat yang tidak memilih calon dari pohon bringin. Banyak pembunuhan dan pembantaian terjadi karena hal-hal itu.

Kehidupan di perkampungan Hobone tempat Irewa dan keluarganya tinggal juga mengalami perubahan seiring datangnya gelombang transmigrasi, baik karena mencari pohon Gaharu yang bernilai mahal, maupun karena kepentingan ekonomi lainnya. Awalnya ada pasar. Irewa turut memperdagangkan hasil kebun maupun tangkapan ikannya di pasar. Kemudian ada juga tempat hiburan. Suaminya sering menghabiskan waktu di sana. Ia menjual tanah-tanahnya untuk membeli para pelacur itu. Lalu muncul penyakit kelamin, HIV/AIDS, dll. Irewa sendiri pernah mengidap sifilis karena perilaku seks bebas suaminya.

Tidak hanya perubahan kebudayaan, kepercayaan adat yang selama ini diwariskan turun-menurun juga mulai luntur dan dilupakan. Sejak mengenal uang, tanah yang sebelumnya hanya boleh diwariskan, kemudian banyak yang dijual untuk memenuhi kebutuhan atau hasrat pribadi untuk mendapatkan kesenangan semu lainnya.

Lalu bagaimana akhir dari semua itu? Seperti perang yang belum usai, akhir kisah ini pun menggantung. Irewa tetap menjadi istri yang tidak bahagia, tetapi ia yang kemudian membangun komunitas perempuan untuk belajar dan bergerak tentu memiliki kesempatan untuk mengubah nasibnya. Imajinasi saya juga dapat membayangkan kisah asmara antara Jingi (saudara kembar Irewa) dan Meage akan berakhir indah. Namun, bagaimana akhir dari penderitaan masyarakat adat Papua? Di sini imajinasi saya belum dapat membayangkan akhir yang indah. Sebab belum lama ini kita sama-sama mendengar kabar, seorang petani bernama Marius Betera terbunuh karena memprotes lahannya yang digusur oleh perusahaan sawit PT. Tunas Sawa Erma, anak perusahaan Korindo Grup.

Buku karya Dorothea Rosa Herliany ini sangat kaya akan informasi mengenai masyarakat adat Papua yang mungkin tidak kita temukan di buku lain. Berbagai mitos yang berkembang, upacara adat dan tata cara hidup mereka nampak tergambar jelas di dalam novel ini. Di samping itu buku ini juga mengungkap aspek historis Papua, yang cukup mudah untuk kita pahami lalu merefleksikan, apakah benar Papua adalah bagian yang sah dari Indonesia?


Judul Buku : Isinga
Penulis : Dorothea Rosa Herliany
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Indonesia
Tahun Terbit : Januari 2015
Jumlah Halaman :209 halaman
ISBN : 9786020312620
Peresensi: Umi Ma'rufah