Awal Mula Pemuda Dilarang Berambut Gondrong

Resensi Buku Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an oleh M.A.D Restu Putra

Awal Mula Pemuda Dilarang Berambut Gondrong

Buku ini mengajak kita menengok ke masa lalu untuk belajar bahwa standar norma baik atau buruk dalam masyarakat adalah hasil kontruksi sosial. Kontruksi tersebut bisa juga datang dari pemerintah yang super power. Apakakh sampai sekarang masyarakat, atau malah orang tua kita sendiri, melihat pemuda berambut gondrong sebagai lambang norma yang buruk? Buku ini menjawab pertanyaan tersebut secara lengkap.

Michael Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan dapat diartikan sebagai alat untuk menormalisasi individu-individu di dalam masyarakat melalui disiplin dan norma. Dalam praktiknya, kekuasaan diperlihatkan lewat kemampuannya yang dahsyat: mengkonstruksi pengetahuan yang dimanifestasikan ke dalam sebuah sistem bahasa yang disebut wacana.

Wacana sendiri bisa berupa ide, hukum, opini, moralitas dsb, yang dinyatakan pada satu rentang waktu dengan sedemikian rupa. Karena itu, wacana dapat mempengaruhi pikiran dan tindakan orang lain supaya sesuai dengan yang diinginkan oleh pembikin wacana.

Wacana mempunyai sifat mengisolasi, mendefinisikan dan menghasilkan obyek pengetahuan, sehingga penggetahuan dapat ditetapkan untuk mendemonstrasikan kebenaran yang benar dan siapa yang sesungguhnya berkuasa. Oleh karenanya, kekuasaan seakan-akan dipandang berada di mana-mana.

Dalam konteks anak muda, Orde Baru menjadikan kekuasaaan sebagai alat untuk mendisiplinkan tata perilaku anak muda. Relasi yang dibangun antara Orde Baru dan anak muda tak ubahnya relasi antara orang tua dengan anak. Sebagaimana dicatat oleh Aria dengan meminjam argumen Shiraishi:

Saya Shiraishi dalam studinya tentang jalinan kekuasaan di Indonesia pada masa Orde Baru mengatakan bahwa Indonesia dibangun layaknya keluaraga besar. Di sana ada “Bapak”, “Ibu”, “Anak”, dan Soeharto menempatkan dirinya sebagai “Bapak tertingi” (Supreme Father) di Indonesia (h. 10).

Secara spesifik, keluarga yang ingin dibangun oleh Orde Baru adalah keluarga jawa. Dalam keluarga ini, segala perintah dan larangan orang tua harus dilaksanakan oleh anak tanpa adanya bantahan. Setiap berbicara dengan orang tua, anak harus memakai bahasa jawa kromo alus. Jika kemudian mereka mbalelo, tentu saja orang tua langsung bertindak.

Inilah lelucon penguasa yang tidak lucu. Membawa-bawa urusan domestik ke urusan publik. Masalah rambut gondrong sebenarnya menjadi hak setiap orang, tetapi tidak begitu pandangan Orde Baru.

Mereka terus-terusan saja berdalih bahwa rambut gondrong itu merupakan budaya barat yang harus kita jauhi karena tak sesuai dengan kepribadian bangsa. Sehingga model rambut yang seharusnya mnejadi masalah privat menjadi masalah public. Padahal rambut gondrong merupakan produk asli pribumi,

Kaum laki-laki, kecuali dalam acara tertentu, biasanya melingkarkan rambut mereka di sekeliling kepala, dan menjepitnya dengan sisir sirkam di depan. Namun, di kalangan petinggi, merupakan suatu kehormatan untuk membiarkan rambutnya terurai di hadapan atasan mereka (h. xi)

Anak muda pada masa Orde Baru sendiri dibagi menjadi dua: mereka yang apolitis dan mereka yang politis. Mereka yang apolitis ialah mereka yang tak peduli dengan keadaan sosial-politik di sekitarnya. Karena itu, istilah pemuda yang mempunyai konotasi politik yang disematkan pada anak muda kemudian berubah menjadi remaja.

Remaja ialah mereka yang selalu mengikuti segala macam mode dan budaya terbaru yang sedang ngetrend di Barat. Budaya kaum hippies yang saat itu sedang marak di barat memberikan pengaruh yang cukup besar pada gaya anak muda di Indonesia (h. 53).

Sementara itu, mereka yang politis ialah mereka yang peduli dengan keadaaan sosial politik di sekitarnya. Mereka terdiri dari para mahasiswa yang berada di perguruan tinggi. Pada masa Orde Baru, mereka menentang persoalan korupsi yang kian marak dan dana pendidikan yang terus berkurang. Arief Budiman menuturkan bahwa pada masa ini, demonstrasi yang mereka lakukan bersifat moralis. Artinya, menguatarkan apa yang dianggap benar dan salah (h. 62).

Selain masalah itu, mahasiswa juga menyorot masalah Dwi Fungsi ABRI, pembangunan kompleks miniatur Indonesia dan kecurangan Pemilu.

Di tengah-tengah kondisi seperti itu pemerintah masih saja sempat-sempatnya mengeluarkan larangan bagi seluruh rakyat Indonesia berambut gondrong. Banyak mahasiswa yang kemudian sengaja mengondrongkan rambutnya sebagai simbol perlawanan atas bobroknya pemerintah Orde Baru. Tidak tinggal diam, melalui berbagai media Orde Baru terus melakukan stigma buruk bagi siapa saja yang berambut gondrong. Sampai akhirnya membentuk Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong (Bakorperagon).

Perlawanan mahasiswa yang semakin radikal sempat diredam Jenderal Soemitro melalui berbagai pertemuan yang ia inisiasi di berbagai kampus. Meski begitu gejolak perlawanan mahasiswa terus berlangsung. Klimaks perlawanan tersebut melahirkan peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), sebuah demonstrasi besar-besaran mahasiswa untuk menentang modal asing.

Sebagai pemuda tentu kita harus selalu kritis membaca semua norma yang ada di masyarakat. Lebih baik lagi kita memahami setiap makna dibalik setiap norma yang coba sedang dikontruksi. Jika norma tersebut ternyata dikontruksi untuk melemahkan perlawanan terhadap keburukan (korupsi, penindasan, perusakan alam) maka sudah sepastinya norma tersebut harus kita lawan. 

 

Judul                  : Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an

Penulis             : Aria Wiratma Yudhistira

Penerbit           : Marjin Kiri

Cetakan           : Pertama, April 2010

Halaman          : 161

Peresensi         : M.A.D. Restu Putra