![]() |
Resensi Buku Propaganda & Genosida di Indonesia, Sejarah Rekayasa Hantu 1965 oleh Elman Nafiah |
Setiap tulisan tentang Gerakan 30 September (G30S) akan selalu menarik meski dari versi penyimpangan sejarahnya sekalipun. Beberapa versi sejarah yang terlampau banyak klaim kebenarannya tersebut turut menjadi bagian dari seni persuasi, dimana tidak hanya melancarkan kebohongan, tetapi juga menjadikan kebenaran-kebenaran yang ada menjadi teka-teki yang menarik dipecahkan generasi muda. Buku Propaganda & Genosida di Indonesia, Sejarah Rekayasa Hantu 1965, tampil sebagai salah satu upaya pelurusan atas klaim-klaim kebenaran tersebut.
Penamaan
G30S sengaja diubah menjadi Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) oleh Jenderal Sugandhi (seorang jurnalis
pro-Soeharto). Ia
menunjuk PKI dan organisasi afiliasinya sebagai dalang kekejaman pembantaian. Penamaan Gestapu bertujuan
agar kekejaman PKI yang dinarasikan
lebih mudah dilanggengkan dalam ingatan
publik. Tindakan tersebut menimbulkan rasa benci dan panik atas
ingatan pembantaian para jenderal yang selalu menjadi momok, sehingga
mengesampingkan tragedi pembunuhan massal.
Persaingan dominasi terus terjadi diantara kedua kubu, baik PKI maupun tentara. Seperti Nasakomisasi tentara
oleh PKI, yang kemudian ditolak dengan upaya doktrin Tri Ubaya Sakti oleh
tentara sehingga melahirkan dwifungsi. Intrik politik yang saling dilakukan
sebelumnya oleh kedua kubu tersebut berakhir pada jebakan tentara melalui
Kolonel Untung, yang kemudian menjadi titik puncak kekalahan PKI.
Soeharto
dengan cepat dan efisien memanfaatkan situasi yang ada untuk menyalahkan PKI, serta
mengorganisir para antikomunis sipil, dan merancang kampanye propaganda. Tindakannya
tersebut jelas bahwa mustahil dilakukan tanpa rencana (Kasenda 2015). Hal
tersebut menjadi bukti bahwa skenario telah diciptakan untuk melancarkan
strategi yang dimilikinya.
Tragedi G30S kemudian menjadi puncak kulminasi atas konfrontasi antara PKI dengan
kelompok antikomunis yang telah ada sebelumnya. Menjadi
kampanye yang semakin kompleks
sehingga saling terhubung dalam tindakan pemusnahan massal. Kompleksitas
tersebut muncul dari muatan berupa
propaganda mengenai ateisme, antinasionalisme, penyimpangan
seksual, dll (h.
22).
Setelah tudingan pembantaian tersebut, menghadirkan
pemaknaan pancasila ala Soeharto dan tentara sehingga menyingkirkan siapapun
yang dianggap antinasionalis. Dalam hal ini, komplotan yang dianggap terindikasi
berafiliasi dengan PKI dibantai dan dihilangkan tanpa diadili. Dalam
buku ini dijelaskan bahwa jumlah korban meninggal diperkirakan sekitar satu
juta jiwa.
Propaganda yang ingin Saskia dan Nursyahbani sampaikan di sini
lebih menitikberatkan kepada kuasa Orde Baru untuk melegitimasi
penahanan, penganiayaan dan pembunuhan serta penggunaan kekerasan seksual
terhadap perempuan. Namun dalam melancarkan propaganda tersebut orde baru
menggunakan kuasa hegemoni ideologis yang ditanamkan melalui media, pendidikan
dan lembaga serta organisasi-organisasi yang ada sehingga bisa tertanam dalam
pikiran masyarakat. Hegemoni ideologis tersebut ditegakkan sehingga menjadi
wujud kuasa lunak dari rezim pembunuhan massal Orde Baru (Althusser 1970;
Gramsci 1992).
Media menjadi awal perantara yang digunakan
setelah pembantaian para jenderal dan sekaligus menjadi informasi pertama yang
diterima oleh masyarakat atas kejadian 1 oktober. Lahan pers dan radio yang
dikuasai oleh sekelompok tentara pada masa itu otomatis memberikan pembenaran mengingat
tidak adanya cover both side dalam praktik jurnalistik waktu itu.
Satu-satunya informasi langsung menunjuk PKI
sebagai dalang dengan menelanjangi gambaran penyiksaan jenderal-jenderal. Penyampaian informasi tersebut tidak
diikuti dengan verifikasi data dan fakta atas
perbuatan yang dituduhkan kepada
PKI maupun Gerwani. Sementara melalui media Orde Baru menjadikan informasi yang ia produksi sebagai
bagian dari propaganda yang terus
dilancarkan ke tengah kesadaran publik.
Tidak hanya membuat sejarah sesuai
versinya, Orde Baru bahkan memaksakan sejarah versinya harus dipelajarai dan
dipercayai di sekolah-sekolah (h. 18). Sebagai konsekuensi
hegemoni di sektor pendidikan, beberapa
menyebut telah terjadi Genosida Intelektual yang menyaring, membungkam serta
meneror jalan pendidikan yang tidak sejalan dengan versi sejarah buatan
Orde Baru. Seperti dokumen ‘bersih’ yang dimiliki oleh orang-orang yang lolos
dari indikasi PKI sebagai syarat dalam bersekolah, sampai pada penghilangan
guru-guru dan mahasiswa progresif.
Adapun melalui lembaga, dominasi kuasa yang
meletakkan tentara seolah sebagai pawang dalam penjagaan pancasila telah
membuat tentara mempunyai impunitas hukum.
Kepanikan yang tertanam dalam setiap masyarakat atas momok komunisme juga
secara tidak langsung mendukung pelanggengan impunitas tersebut.
Impunitas tersebut menyadarkan bahwa kasta
militer yang dibangun sejak Jenderal Soeharto memiliki pengaruh besar. Kuasa tentara dan milisi
dapat digunakan untuk kepentingan Soeharto
sendiri, termasuk hak memaksakan kematian sosial atau sipil dan bentuk-bentuk
kesewenangan lainnya (h.
21).
Organisasi masyarakat sendiri termasuk
menjadi tangan panjang tentara yang ingin menumpas siapapun yang terindikasi
PKI. Bahkan memanfaatkan polemik permasalahan reforma agraria
yang melibatkan PKI, Barisan Tani Indonesia (BTI) , Gerwani dengan Nahdlatul Ulama (NU), membuat Orde Baru mampu
mendorong keterlibatan organisasi yang terafiliasi dengan NU dalam upaya
pembantaian massal.
Melihat permainan narasi yang masih bertahan
pada hari ini, persuasi tidak serta merta dibentuk oleh satu dua kepentingan
golongan. Namun tentu, baik naluri rasional maupun irasional telah dimobilisasi
untuk kemapanan propaganda buatan Orde Baru,
bahwa pelaku penyimpangan seksual, antinasionalis, dan ateis harus disingkirkan, meskipun kadang tanpa harus dibuktikan terlebih
dahulu.
Artikel-artikel yang dikumpulkan oleh para
korban ini merupakan pilihan untuk bahan Indonesian People’s Tribunal (IPT)
2015. Buku ini saya nilai obyektif
karena menguatkan suara para korban atas kenyataan yang terjadi dengan menampilkan berbagai sumber
bukti untuk menguatkan argumennya. Adapun hasil Advokasi
IPT 1965 untuk meretribusi dan merestorasi
korban sebagai wujud pemulihan
serta merekonsiliasi tindakan kejahatan kemanusiaan pasca 30 September 1965.
Sangat disayangkan sekali bahwa kenyataan
genosida terkubur begitu saja dan
tidak mampu mmengungkap
kesalahan-kesalahan para pelaku. Sehingga
perasaan pembenaran atas pembantaian tersebut masih digunakan. Kenyataan ini sejalan
dengan tertutupnya celah negara untuk menghukum para pelaku genosida, bahkan
sangat tidak memungkinkan untuk hanya sekedar mengakui bahwa pernah ada
pembantaian massal.
Buku ini menyampaikan
kenyataan bahwa propaganda yang berlangsung sampai hari ini adalah
berkat keberhasilan hegemoni ideologis
Orde Baru.
Penjelasan wujud-wujud propaganda dalam buku ini, mampu menerangkan bagaimana secara sistematis propaganda tersebut menormalisasi
persuasi sebagai sebuah tindakan yang bisa dibenarkan.
Normalisasi (pemakluman) tersebut digunakan
untuk mempertahankan pembenaran propaganda. Seni persuasi yang dimainkan oleh
Orde Baru benar-benar mampu melegitimasi
tindakan berbagai pihak yang menjadi
bagian dari genosida.
Selain itu juga melanggengkan fobia komunisme maupun penyimpangan seksual. Konfrontasi dewasa ini masih berkutat antara
pancasila dan (yang dituduh) anti pancasila, alergi intelektual apabila
ajaran-ajaran kiri masuk ke dalam
lingkaran ruang akademis.
Judul
Buku : Propaganda & Genosida di Indonesia, Sejarah Rekayasa Hantu 1965
Judul
Asli : Propaganda and Genocide in Indonesia: Imagined Evil
Penulis
: Saskia E. Wieringa & Nursyahbani Katjasungkana
Penerjemah
: Giani Amorita Prastiwi
Penerbit
: Komunitas Bambu, Depok
Tahun
terbit/Cetakan : 2020/ cetakan pertama
Halaman
: xiv+ 238 halaman
Peresensi
: Elman Nafiah