Mengukur Tanah yang Kita Butuhkan untuk Hidup di Sebuah Desa

 

 

Resensi Buku Berapa Luas Tanah yang Dibutuhkan Seorang Manusia oleh Maulana Malik Ibrahim

Mengukur Tanah yang Kita Butuhkan untuk Hidup di Sebuah Desa

 

Tertulis dalam kitab suci agama-agama bahwa manusia adalah makhluk yang oleh Tuhan dianugerahi akal, hati nurani dan nafsu. Ketiganya adalah unsur yang membentuk watak serta pandangan hidupnya. Merasa cukup atau rakus, respon manusia terhadap kedua keadaan itulah berbagai fenomena sejarah terjadi. Lev Nikolayevich Tolstoy/Leo Tolstoy (1828 – 1910) menceritakan fenomena itu dengan apik dalam novelnya How Much Land Does a Man Need yang ditulis pada tahun 1886.

Novel ini sudah berusia satu abad lebih. Melewati ngerinya Perang Dunia Pertama (1914 – 1918) dan Kedua (1939 – 1945). Novel itu terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul Berapa Luas Tanah Yang Dibutuhkan Seorang Manusia di tahun 2019. Dari desa Volga yang terpencil di Rusia, kisah seorang petani dan peternak bernama Poham dibaca dalam suasana orang kejar-kejaran berebut mimpi.

Si petani sudah berkeluarga dan memiliki sebidang tanah dan beberapa ternak. Kehidupan petani tenang, harmonis, dan merasa cukup dengan penghasilannya. Ketenangan itu terganggu oleh kakak ipar Poham yang berkunjung ke rumah adiknya (isteri Poham) di desa.

Tentu si kakak dulunya adalah orang desa. Culture shock dan star syndrome tampak dalam narasi bagaimana sang kakak merasa menjadi orang kota adalah lebih ‘baik’. Tolstoy menarasikan: 

“…dia mengatakan betapa nyamannya mereka tinggal di sana, betapa bagusnya mereka berpakaian, tentang pakaian bagus apa yang dikenakan anak-anak mereka, hal-hal baik apa yang mereka makan dan minum, dan bagaimana dia pergi ke teater, jalan-jalan, dan menikmati hiburan” (h.6).

Ucapan itu direspon adiknya: “Meskipun kehidupan seorang petani bukanlah kehidupan yang berlimpah, tapi itu merupakan kehidupan yang panjang. Kami tidak akan pernah menjadi kaya, tetapi kami selalu memiliki cukup makanan” (h.7).

Dialektika kakak beradik itu menciptakan jarak sosial kehidupan desa-kota. Kota menurut si adik adalah tempat di mana keluarga bisa hancur karena godaan Iblis berupa judi, anggur, dan perselingkuhan.

Sedangkan desa menurut sang kakak adalah tempat yang jorok. Di mana manusia hidup berbagi dengan babi dan sapi. Hidup serta mati dalam kubangan kotoran. Menarik! Perlu digarisbawahi bahwa Tolstoy juga menuliskan tokoh iblis yang berada di balik layar. Tolstoy di akhir hidupnya memilih sebagai pertapa, keliling membawa sosok jahat (iblis) di dalam kitab suci pada novelnya.

Poham menguping pembicaraan mereka. Tapi sebagai orang desa, ia mempertahankan identitas serta pencahariannya dan tentu membela isterinya. Poham berkata: “… Kesibukan seperti yang kami kerjakan sejak masa kanak-kanak membajak tanah Ibu Pertiwi, kami para petani tidak punya waktu untuk membiarkan omong kosong ini berputar di kepala kami. Satu-satunya masalah kami adalah kami tidak memiliki cukup lahan. Jika aku memiliki banyak tanah, aku tidak harus takut pada Iblis yang jahat!” (h.8).

Terselip rasa sombong dalam ucapan Poham. Sang Iblis pun tertantang!

Sistem-sistem Pertanahan Rusia

Iblis adalah ciptaan Tuhan yang diberi otoritas untuk menggoda manusia ke jalan keburukan. Poham mengalami nasib sial. Kehidupannya diusik rasa gelisah hewan ternaknya yang selalu makan rumput tetangga. Sehingga ia malas harus membayar denda ke wanita pemilik tanah itu.

Beberapa hari kemudian dia mendapat kabar bahwa tetangganya telah membeli tanah dari wanita yang sering menarik denda padanya. Poham turut membeli. Tanahnya makin luas. Begitupun ambisinya. Tanahnya kini banyak dijamah oleh ternak orang lain. Mulanya Poham biasa-biasa saja dan maklum pada ternak tetangganya yang makan rumput di tanahnya. Namun makin lama kesabarannya makin runtuh. Poham melaporkan tetangganya ke pengadilan.

Tetangganya pun terkena denda. Dendam tersulut. Keharmonisan desa terusik dengan ‘sikap tuan tanah’ baru itu. Para tetangga balas dendam dengan merusak rumput dan hasil bumi milik Poham. Bisikan Iblis memang lembut. Tapi kisah belum berakhir.

Kabar dari seorang petani yang singgah ke rumahnya membawa dia dan keluarganya boyong dari desa Volga ke daerah Samara. Rumah dan tanahnya dijual untuk mencari tanah yang makin luas dan makin subur. Sistem pertanahan di sana amat menyenangkan hati Poham. Pasalnya, sebagai pendatang baru dia mendapatkan 125 hektar bagi keluarganya secara cuma-cuma dari tanah milik kelompok (adat).

Hasil panen di tanah baru itu bagus. Poham bahagia, tapi dia tidak puas dan belum merasa cukup. Ia memutuskan membeli tanak hak milik (bukan tanah kelompok) seluas 1300 hektar dengan harga 1500 rubel.

Kemudian ia berjumpa seorang pedagang yang menceritakan bahwa ia telah membeli tiga belas ribu hektar tanah seharga 1000 rubel. Hampir 12 kali lipat lebih murah daripada tanah yang ada di Samara. Pedagang itu menjelaskan:

“Yang perlu dilakukan hanyalah berteman dengan para kepala suku…” (h.33).

Tanah itu milik keluarga Bashkir. Informasi itu menggiurkan Poham. Segera ia berangkat pagi-pagi sekali bersama pembantunya menuju tanah para Bashkir. Perjalanannya tidak sebentar. Butuh tujuh hari menuju ke sana.

Setelah bertemu dengan masyarakat Bashkir, Poham segera menyerahkan hadiah baginya. Dibantu oleh penerjemah lokal, Poham merasa senang karena ditawarkan apapun karena dia telah menyenangkan hati masyarakat Bashkir dengan hadiah bawaannya. Poham berucap: “Yang paling menyenangkan aku di sini … adalah tanah anda. Tanah kami sudah penuh sesak…” (h.40).

Kepala suku memutuskan harga tanah di sana sesuai tradisi mereka, ia mengatakan: “Harga kami selalu sama: seribu rubel sehari” (h.47).

Poham tak mengerti mengapa ukuran tanahnya adalah ‘sehari’ bukan ‘hektar’. Lanjut kepala suku menjelaskan 

… Seberapa banyak yang mampu anda kelilingi dengan kaki dalam sehari, adalah milik anda dan harganya seribu rubel per hari” (h.47). Itu sudah bersertifikat hak milik! Tapi ada syarat dari kepala suku: “Jika kamu tidak kembali pada hari yang sama ke tempat kamu memulai, maka uangmu hilang” (h.48).

Poham, Kematian dan Keabadiannya

Karena ia harus berkeliling dengan kakinya sendiri, tidak dibantu kuda, maka ia sudah bersiap sangat pagi. Namun naas, luas serta medan yang naik turun bukit yang sudah ia perhitungkan sebelumnya meleset karena dia ingkar terhadap jarak perhitungannya sendiri.

Setiap melihat sisi tanah yang lebih subur, kakinya dilangkahkan mengitari bidang itu. Hingga sampai matahari tenggelam, dengan amat mengenaskan, ia terbirit-birit menuju titik awal ia memulai. Kaki sudah melepuh, nafas terengah, dan mulut mengeluarkan darah. Poham mati.

“Pelayannya mengambil sekop dan menggali kuburan cukup lama untuk membaringkan Poham dan menguburkannya di dalam tanah. Hanya tanah berukuran enam kaki yang dibutuhkannya, dari kepala hingga tumitnya” (h.71). 
Tulis Tolstoy mengakhiri tragisnya hidup Poham dan luas tanah yang ia butuhkan.  

            Saya percaya kematian Poham hanyalah ilusi. Tapi ‘sebenarnya’ dia sudah hidup sebelum pengarang Tolstoy lahir dan Poham belum mati sampai saat ini. Poham menembus dimensi waktu, ke mana dan pada siapa saja dia ada. Tak lagi batas desa-kota. Poham sebagai sebuah fenomena watak rakus dan rasa ketidakcukupan manusia adalah bukti kuat bahayanya perasaan tidak mau puas.

Gambaran Poham menghiasi realitas di sekitar kita; masyarakat adat yang dicabut hak oleh penggusuran tanah untuk industri. Hutan-hutan yang dijamah tajamnya mata gergaji. Emm, sebelum jauh membahas ke sana ternyata Poham adalah diri kita sendiri. Tapi ia bisa muncul pada momen tertentu. Awas ada Poham di dalam diri kita.


 

Informasi Buku

Judul buku       : Berapa Luas Tanah Yang Dibutuhkan Seorang Manusia

Pengarang        : Leo Tolstoy

Penerbit           : Global Indo Kreatif

Kota Terbit      : Manado

Tahun Terbit   : Oktober 2020

Tebal halaman : 55 halaman

ISBN               : 978-602-53696-8-1                      

Peresensi         Maulana Malik Ibrahim (Santri Ponpes RKSS)