![]() |
Resensi Buku State Ibuism: The Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia oleh Miftahul Huda |
Ibuisme Negara dan Cara Suharto Menempatkan Prempuan di Dapur
Perayaan hari ibu di Indonesia mengacu pada Kongres Wanita Indonesia (Kowani)
tahun 1928. Kongres tersebut dijadikan sebagai cermin bagi setiap perempuan
Indonesia. Namun, hari yang diperingati setiap tanggal 22 Desember tersebut berbeda jauh dari konsep awal, apalagi dengan International
Mother’s Day. Hal ini
tidak bisa dilepaskan dari peran besar Suharto, yang berhasil menciptakan kontruksi
budaya bias gender bagi perempuan Indonesia. Hal ini sekaligus membuktikan ungkapan para
sejarawan, kita tidak sedang mengamalkan budaya warisan Indonesia tetapi
warisan Orde Baru (Orba).
Julia Suryakusuma (JS), adalah orang yang menemukan konsep ideologi Ibuisme
Negara pada 1987 melalui penelitiannya yang berjudul State Ibuism: The
Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia. Penemuannya
sekaligus membantah anggapan terburu-buru Danys Lombard (2005) soal perempuan yang memimpin organisasi.
Lombard meyakini bahwa munculnya Dharma Wanita, Persatuan Isteri Tentara dan
organisasi isteri lainnya adalah bentuk meruduksi “machisme” zaman. Namun bagi
JS, itu adalah usaha Orba untuk mendomestifikasikan perempuan (h.9).
Ibuisme Negara, adalah ideologi yang mengonstruksi perempuan untuk memiliki
sifat “ibu”. Konsep ini berbeda dengan apa yang diajukan Maria Mies dalam Patriarchy
and Accumulation on A World Scale (1986) tentang pengiburumahtanggan (housewifization),
dimana perempuan dibatasi ruang sosialnya dan hanya beraktifitas di rumah.
Ibuisme sepenuhnya menganggap setiap perempuan, baik yang tidak punya anak, pejabat, guru, menteri,
petani adalah ibu yang selalu mengutamakan “tugas” domestik (h.4). Dengan
demikian, ibuisme bertendensi pada bentuk biologis, bukan ruang.
Ibuisme berdampak pada pelanggengan stereotip peran gender, yang menganggap
pekerjaan domestik (masak, mencuci pakaian) adalah kodrat perempuan. Namun Orba juga
mendorong perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan pada saat yang
bersamaan. Konstruksi tersebut dimunculkan Orba dengan narasi: “berpartisipasi
dalam proses pembangunan, tapi jangan melupakan kodrat sebagai isteri dan ibu”
(h.10). Maka dibentuklah organisasi yang terhubung dari pusat hingga ke desa khusus
untuk perempuan, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Jangan mengira bahwa Orba melatih kepemimpinan perempuan melalui PKK
yang ia bentuk. Sebaliknya,
perempuan dibina untuk patuh pada suami, memasak, mengasuh anak; yang mengakibatkan
anggapan tugas domestik bukan sebagai
pekerjaan lainnya sehingga
tidak layak diberi upah. Dus, PKK adalah saluran Orba menyampaikan ideologi
gender hierarkis yang meletakkan perempuan di bawah suami; mereka harus
mengikuti sekaligus merawat suami dan “negara para bapak”. Alhasil, seirama
pendapat Mies (2014), perempuan adalah koloni internal dalam sistem kapitalis.
Kewajiban mengikuti PKK yang ditetapkan Orba merupakan kebijakan yang
elitis, jawa-sentris, dan mengabaikan wilayah pedesaan. Jelas beban ganda akan
dipanggul perempuan pedesaan, pasalnya sebagian besar dari mereka adalah petani
yang tidak mengenal hari libur; sedangkan PKK mewajibkan adanya perkumpulan
bagi para isteri setiap hari minggu. Maka, dalam temuan JS, PKK di pedesaan
tidak memiliki prospek cerah, para isteri terkadang hanya titip uang iuran
tanpa menghadiri perkumpulan (h.77).
Ada hal menarik jika melihat temuan JS yaitu, perempuan pedesaan mengidam-idamkan idealisasi
keluarga yang terkandung dalam PKK. Apa yang ada di PKK dan yang terjadi di
masyarakat pedesaan memang identik—tentang konsep keluarga—namun ada perbedaan
cukup signifikan, dimana keluarga yang diidealkan PKK hanya bisa dijangkau
perempuan kelas elit dan memiliki sarana ekonomi. Sedangkan bagi perempuan
desa, keluarga ideal tersebut hampir menjadi utopis, dan Orba secara masif
menggulirkan utopia tersebut (h.113).
Secara garis besar, JS menawarkan konsep ideologi gender yang dibangun Orba
untuk menyiapkan diri hidup dalam negara industri kapitalis. Maka buku ini
perlu dimasukkan dalam list bacaan bagi pegiat isu gender dan pembangunan. Ini
bisa merangsang pembuat kebijakan untuk lebih sensitif gender, menganalisa
lebih tajam siapa penerima manfaat dan yang paling dirugikan dalam sistem
negara industri. Bagi aktivis, buku ini bisa menjadi rujukan dalam
mengintervensi arah pembangunan negara dewasa ini.
Sebegitu pentingnya buku ini, bukan berarti tidak ada kritik sama sekali. Perlu
membaca hasil penelitian JS dengan meletakkan konteks 33 tahun lalu, dan perlu
juga melihat perkembangan hari ini untuk menguji sejauh mana temuan JS masih
berfungsi.
Pertama, JS mengakui bahwa apa yang ditemukannya tidak bisa digeneralisir mewakili
kondisi nasional. Penelitiannya yang berlangsung di Jawa bagian barat (Sunda)
dan mayoritas masyarakat bekerja di hutan, barangkali yang membuat sedikit membenarkan
soal tesisnya: perempuan sebagai pencari nafkah utama (h.77). Namun
dimasukkannya aspek agama Islam dalam analisanya, muncul keragu-raguan saya
terhadap tesisnya.
Pendapat Risa Permanadeli (2015) perlu diajukan, ia menyadari ada perbedaan
tentang tingkat ke-Jawa-an antara Jawa bagian barat dengan Jawa bagian tengah
dan timur. Dalam masyarakat jawa dan kuat agama Islamnya, perempuan yang
bekerja tetap tidak bisa memperoleh status sebagai pencari nafkah utama, ia
tetap sebagai pencari nafkah tambahan. Ini bisa menjadi perbandingan untuk
persoalan kecil hasil analisa JS tentang “masyarakat panutan”.
Kedua, secara tersirat JS mengakui keragu-raguannya soal penelitian yang ia
lakukan tahun 1987 tetapi akan diterbitkan tahun 2011. Keraguan
tersebut bermuara pada pertanyaan,
apakah masih relevan? Barangkali JS akan mengerenyitkan dahi ketika masih ada
yang membacanya di tahun 2020.
Ini soal perjalanan waktu, bagaimana ideologi pembangunan dan konstruksi
perempuan ala Orba begitu mengakar dan terlihat berhasil di rezim
terkini. Tidak sedikit yang mengamini bahwa kodrat perempuan adalah di “dapur”
dan laki-laki adalah pencari nafkah (utama). Maka ketika perempuan (isteri)
menjadi buruh (pabrik/karyawan), mereka tidak begitu peduli dengan keseimbangan
antara upah dan beban kerja; karena tugas perempuan adalah di dapur, kalau ia
bekerja itu hanya sebagai nafkah tambahan—nafkah utama dicari oleh suami.
Dengan demikian temuan JS masih relevan di akhir tahun 2020, karena
anggapan perempuan buruh pekerja industri tidak sedikit yang masih mengalami
beban ganda. Bahkan kontruksi gender yang ditanamkan Orba puluhan tahun lalu
berdampak pada keharmonisan beberapa keluarga para perempuan buruh pabrik.
Judul : State Ibuism: The Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia
Penulis : Julia Suryakusuma
Penerbit : Komunitas Bambu, 2011
Tebal : xxx+154 hlm; 14x21 cm
ISBN : 979-3731-65-6
Peresensi : Miftahul Huda