
Resensi Buku Animal Farm oleh Maulana Malik Ibrahim

Saat Binatang Mempraktikkan Transisi Pemerintahan Demokrasi ke Otoriter”
George Orwell (1903 – 1950)
adalah salah satu penulis yang hidup di zaman ketika perang dunia masih
berkecamuk. Tentu saja ini mempengaruhi bagaimana pandangan Orwell tentang konflik,
perang, dan politik. Karyanya menandai zamannya yang penuh dengan pertarungan
ideologi. Kita bisa membaca salah satu karya alegorisnya yaitu, “Animal Farm”. Menurut Britania.com, buku yang termasuk kategori fabel ini berlatar belakang
revolusi Bolshevik di Uni Soviet.
Pertarungan ideologi kental
terasa mengaduk-aduk “Peternakan Manor” milik Jones yang berlokasi di Inggris.
Peternakan yang makmur dengan perkebunan yang subur adalah ladang mencari
nafkah bagi Jones. Babi, sapi, keledai, kuda, biri-biri, kambing, kucing,
anjing, sampai ayam dan bebek memenuhi ruang-ruang peternakan itu. Semua hewan
ternaknya secara tertib diberi pakan yang cukup, namun tentunya Jones juga
mengambil hasil dari apa yang sudah dirawatnya; susu sapi, telur ayam dan bulu
domba.
Ketertiban tersebut berubah
ketika babi senior dan “Kamerad” terhormat bernama “Major” mengatakan bahwa
selama ini mereka sengsara. Kerja keras setiap hari tetapi hasil hidup mereka diambil manfaatnya oleh manusia
(Jones) secara serakah. Mereka menganggap pemberian makan oleh Jones sebatas
agar mereka tidak mati dan terus bisa diambil manfaatnya. Malam itu, pidato
Major mengubah alur sejarah Peternakan Manor.
“Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengonsumsi tanpa menghasilkan (Kamerad Major).”
Jones adalah
sosok yang digunakan Orwell untuk
mengkritik sistem kapitalisme yang ia anggap serakah. Revolusi pun dimulai.
Para hewan ternak mulai beringas dan mengamuk kepada pemilik peternakan. Jones
dan keluarganya dipaksa minggat dari tanahnya sendiri. Para hewan merdeka.
Segera mereka membuang plang Peternakan Manor dan mengubahnya dengan nama
“Peternakan Hewan” dan membuat peraturan yang penuh kesetaraan yang dinamai
“Tujuh Perintah” (h. 24).
Kuasa Pengetahuan dan Kediktatoran
Tujuh Perintah itu pun dengan
mudah dipahami dan dilaksanakan oleh semua hewan ternak. Kemudian peternakanpun
membagi strata mereka menjadi para pemikir juga perancang tata negara yang
diisi oleh para “Kamerad” babi bernama; Snowball, Napoleon, Squealer, dan Minimus.
Serta kelas pekerja yang beranggotakan hewan selain babi dan anjing penjaga.
Keadaan belum sepenuhnya tenang hingga agresi militer datang dari para manusia
yang dipimpin Jones.
Ia ingin merebut peternakannya
kembali. Malangnya, pemberontakan Jones gagal. Kemenangan hewan ternak itu
dikhidmati dengan penembakan artileri dan dinamakan sebagai peringatan “Perang
Kandang Sapi”.
Bermusim-musim kemerdekaan dirasakan
oleh ‘negara hewan’. Panen yang surplus, perut-perut mereka yang kenyang, dan tiap
malam mereka tidur dengan nyaman dalam peternakan tanpa harus dirugikan oleh
manusia.
Mereka mendirikan kelas membaca
bagi para ternak serta bekerja dengan hati yang riang gembira. Selanjutnya
kekhawatiran muncul ketika harus menghadapi musim dingin yang sudah ada di
depan mata. Fasilitas di dalam peternakan musti harus segera dipenuhi. Snowball,
si babi yang baik, merancang sebuh kincir angin sebagai solusinya. Awalnya
banyak hewan sepakat dengan solusi beberapa masalah yang telah ia inventarisir.
Ketika hampir semua hewan setuju dengan solusi Snowball, namun tidak bagi
Napoleon.
Napoleon berpendapat bahwa “kebutuhan besar sekarang ini adalah meningkatkan produksi makanan dan jika meraka menghabiskan tenaga untuk gagasan kincir angin itu, mereka akan mati kelaparan” (h.52).
Snowball dan Napoleon sama-sama
memimpin “Peternakan Binatang”. Namun diantara keduanya selalu berselisih
pendapat. Snowball merupakan lambing dari sosok yang penuh nalar ilmiah serta
bermusyawarah dalam tiap gagasannya. Tetapi Napoleon ‘menghancurkan’ usaha
Snowball dengan percobaan pembunuhan melalui sembilan anjing besar yang
Napoleon pelihara. Paska selamat dari percobaan pembunuhan yang dirancang
Napoleon, Snowball pun pergi tanpa diketahui kemana keberadaannya.
Peternakan
Binatang yang awalnya demokratis berubah menjadi diktatoris di bawah Napoleon.
Gagasan kincir angin yang pernah ditolaknya akhirnya diterimanya. Namun ia
menolak bahwa itu gagasan Snowball. Napoleon membuat narasi bahwa Snowball pada
awalnya mencuri gagasannya.
Snowball yang turut berperang hingga terluka disebut
sebagai penghianat. Snowball disebut sudah berafiliasi dengan Jones.
Squealer, si babi yang bertugas sebagai
juru bicara mengatakan bahwa Snowball mencuri kertas rancangan kincir angin itu
dari Napoleon. Sikap acuhnya Napoleon dijelaskan oleh Squealer sebagai retorika
dan taktik untuk menyingkirkan si pengkhianat Snowball. Narasi sejarah berusaha
dibalik oleh kediktatoran Napoleon dengan kuasa serta distribusi pengetahuannya
via Squealer. Di sini kita mengetahui betapa
bahanya propaganda, dan Orwell sendiri sangat membenci hal tersebut.
Ambisi
membuat kincir angin sudah mantap. Para hewan kini sudah tak bisa
bernyaman-nyaman lagi. Jam istirahat mereka dikurangi, jatah makan makin
sedikit. Mereka diperbudak. Tentu para babi itu hanya bertugas mengawasi dan
membunuh mereka yang melawan perintah Napoleon.
Napoleon kini berkehendak
seenaknya. Ia sudah membunuh. “Tujuh Perintah” yang menjadi tonggak kebangkitan
bangsa hewan telah dilanggar. Napoleon memindahkan ‘istana negaranya’ ke rumah
Jones. Tak sudi dia berkumpul dengan para hewan menyedihkan itu.
Ayam diwajibkan menghasilkan
ribuan telur tiap minggunya. Sapi diperah dan susunya diminum hanya untuk para
kamerad babi. Para hewan itu kerja rodi. Hingga Napoleon mengubah narasi “Tujuh
Perintah” itu sesuai kehendaknya. Pasal ke tujuh tentang kesetaraan semua
binatang diganti dengan:
Semua binatang setara, tetapi beberapa binatang lebih setara daripada yang lainnya (h. 134).
Minimus,
sang babi penyair, melengkapi pujian bagi Napoleon yang berjudul “Kamerad
Napoleon”. Untuk menghapuskan sejarah serta patriotisme lagu “Binatang
Inggris”, ia juga menyusun lagu lain. Kediktatorannya memuncak ketika para
hewan sudah tidak berdaya, kritik dibungkam dan Napoleon berani bernegosiasi
dengan manusia. Yang jadi awal dari semua kehancurannya.
Kita bisa melihat bagaimana model kepemimpinan dan
bagaimana cara mereka menjalankan pemerintahan dari para hewan peternakan Jones
ini. Snowball yang cerdas, ilmiah, dan demokratis sayangnya tidak mampu
berpolitik seperti Napoleon. Dunia politik konon jauh dari kata ‘baik’. Yang
‘baik’ pun bisa disesuaikan dengan selera penguasa, begitu juga dengan
‘kebenaran’, dan Napoleon sukses melakukannya.
Ia berhasil memonopoli pengetahuan rakyatnya dan
memanipulasi sejarah. Tanpa sokongan anjing-anjing penjaganya (bisa disimbolkan
sebagai para tentara/militer, milisi sampai preman bayaran) yang siap grak! mengikuti
apa kata Napoleon, ia bisa membungkam siapa saja yang berniat dan melakukan
perlawanan. Napoleon menjadi contoh bahwa kediktatoran bisa dilahirkan
dari sistem demokrasi, dan kediktatoran juga yang pada akhirnya akan membunuh demokrasi yang melahirkannya.
Animal Farm Bacaan Anak-anak?
Dari alegori dan kesatirannya dan
dari kacamata sejarah, menggambarkan bagaimana sistem pemerintahan sebuah
negara sangatlah dinamis. Darah dan kematian adalah biaya yang harus dibayarkan
untuk beberapa transisi pemerintahan. Novel ini bisa kita jadikan referensi
untuk membaca dinamika semacam itu. Novel tidak wajib happy ending. Bahkan bisa menjadi sebuah tragedi serta penderitaan.
Novel bercerita darah dan keganasan sangat jarang menjadi bacaan anak-anak.
Membincangkan peperangan dan kematian
adalah hal yang mengerikan. Tapi uniknya, The
Guardian memuat sebuah review buku
ini yang ditulis oleh Pirate Bones, menyebut bahwa novel ini dikategorikan
sebagai “Children’s books” dengan
rentang usia 8 – 12 tahun. Meski berbentuk fabel, novel ini bisa menjadi bacaan
wajib anak-anak agar berani mengungkapkan kebenaran sejarah dan menjadi pelaku
sejarah yang bijak.
Informasi
Buku
Judul buku : Animal Farm
Pengarang : George Orwell
Penerjemah : Bakdi Sumanto
Penerbit : Bentang Pustaka
Kota Terbit : Yogyakarta
Cetakan : Edisi II cetakan kesembilan
Tahun Terbit : Februari 2020
Tebal halaman : iv + 144 halaman
ISBN : 978-602-291-282-8
Peresensi : Maulana Malik Ibrahim (Santri Ponpes
RKSS)