![]() |
Resensi Buku Bagaimana Demokrasi Mati dari Hasan Ainul Yaqin |
Tiga Strategi untuk Membunuh Demokrasi
Negara manapun yang mempraktikkan
Demokrasi sebagai sistem bernegara, terkadang perlu melihat jauh ke dalam
dirinya sendiri untuk emastikan apakah demokrasi tersebut berjalan dengan baik.
Buku Bagaimana Demokrasi Mati ini, karya Guru besar Harvard, Steven
Levitsky dan Danil Ziblatt membeberkan pola yang menunjukkan bagaimana demokrasi
berada di ambang batas kematiannya.
Ada tiga pola yang dilakukan seorang
pemimpin yang mengakibatkan demokrasi tumbang. Pola tersebut seperti permainan
sepak bola yaitu; menangkap wasit, menyingkirkan pemain bintang dan mengubah
aturan main. Klub yang tidak setuju dengan aturan main sesuai rencana, harus
siap menanggung resiko kekalahan. Ketiga pola ini menjadi alat deteksi dini
untuk mengetahui watak pemimmpin otoriter yang akan membunuh demokrasi.
Buku ini adalah hasil riset
bertahun-tahun dengan pendekatan historis dalam penggalian data. Lokus
penelitiannya dilakukan di Amerika Serikat, negara yang paling lama mempraktikkan
sistem demokrasi. Penelitian dalam buku ini dimulai pada masa sebelum Donald
Trump jadi pemimpin negeri super power
tersebut.
Keberhasilan Trump menjadi kandidat
calon Presiden AS pada 2016 sama sekali tidak terfikirkan dalam proses
perpolitikan AS. Bagaimana tidak, Trump tidak punya rekam jejak politik sama
sekali dan berhasil mengalahkan kandidat lain yang justru lebih berpengalaman.
Trump bukan hanya tidak
berpengalaman dalam politik, tetapi ia dikenal publik karena sifat ekstremnya
terhadap imigran dan muslim, serta kesediannya melanggar norma kesantunan yang
telah menjadi kesepakatan warga Amerika serikat (H. 44).
Pertanyaannya kemudian mengapa Trump
yang punya kriteria anti demokrasi tetap saja diusung dalam bursa calon
presiden 2016? Di sinilah pembahasan mengenai Partai Politik dimulai. Partai
politik telah gagal menjaga gerbang demokrasi. Mencalonkan kandidat yang sangat
anti demokrasi adalah awal kebobrokan dalam sistem partai itu sendiri.
Mestinya partai punya dua peran penting
yang tak boleh ditinggalkan. Pertama,
peran demokratis, artinya memilih calon terbaik dari kader partai. Kedua,
peran penyaring, dalam hal penyaringan ini seharusnya partai menyisihkan mereka
yang mengancam masa depan partai dan masa depan negara (H. 27).
Demokrasi dan Aturan tak Tertulis
Merawat demokrasi bukan hanya
menyandarkan pada aturan tertulis seperti hukum dan konstitusi, melainkan pada
aturan tak tertulis yang dipercayai dan telah menjadi kesepakatan bersama warga
negara. di Amerika serikat misalnya, terdapat dua norma yang harus dijadikan
pedoman dalam politik.
Kedua norma tersebut yaitu, toleransi
dan menahan diri secara kelembagaan. Saling toleransi menuju pada gagasan bahwa
selama pesaing kita bermain sesuai aturan konstitusional, kita menerima bahwa
mereka punya hak hidup, bersaing, berebut kekuasaan dan memerintah secara
setara (H. 83).
Jika norma saling toleransi terhadap
lawan melemah, demokrasi sulit dipelihara, dan memandang lawan sebagai ancaman
yang sangat berbahaya. Dengan begitu seseorang akan memutuskan menggunakan
segala cara untuk mengalahkan siapapun yang dianggap lawan sekalipun dengan
cara kotor yang tidak demokratis.
Norma kedua yaitu, sikap menahan
diri, baik dilakukan oleh individu (pemimpin, politikus) maupun partai politik.
Sikap menahan diri artinya tidak menggunakan hak istemewa secara kelembagaan terhadap
siapun yang bersebrangan, baik kepada oposisi, pengkritik dan pemprotes.
Kalaupun harus menyerang, semestinya tetap melewati jalur demokratis yang sudah
tersedia.
Dua norma di atas telah terkikis
setidaknya selama dua puluh lima tahun terakhir. Bahkan persaingan Partai
Republik dan Partai Demokrat telah berujung pada polarisasi identitas, ras,
suku, agama dan cara hidup. Hal ini menjadi bom waktu bagi keselamatan keberagaman
Amerika yang plural.
Strategi Pemimpin Otoriter
Dalam konsolidasi kekuasaan pemimpin
berwatak otoriter, dia memiliki strategi demi melanggengkan kekuasaan dan
membenarkan segala tindakannya. Pertama,
menangkap wasit, maksudnya presiden/pemipin berusaha mengganti penegak hukum,
intelejen dan lembaga lain dengan loyalisnya. Berharap pergantian itu berdampak
pada keputusan lembaga yang tidak melenceng dari isi vspemerintah dan berusaha
melayani apa yang menjadi kepentingan pemerintah.
Strategi kedua, dengan menyingkirkan pemain bintang. Strategi ini pernah dilakukan
Presiden Soeharto di Indonesia terhadap pihak yang bersebrangan. Mereka dituduh
subversif bahkan sampai dipenjarakan. Trump pun pernah melakukan hal demikian, meski
hanya lewat serangan retorika. Ia kerapkali menganggap media di AS yang mengkritik
pemerintah dengan tuduhan golongan manusia tak jujur di muka bumi. Menuduh media
sebagai sumber hoax.
Strategi ketiga, mengubah aturan main. Presiden yang khawatir kehilangan
kekuasaan, ia berupaya mengubah sistem dalam pemilu. Syarat menjadi peserta di
pemilu diperketat. Tujuannya untuk mempersempit peluang lawan berkuasa.
Ketiga strategi ini persis dengan
apa yang dilakukan orde baru selama 32 tahun berkuasa. Mengisi jabatan negara
dengan loyalisnya, menyingkirkan siapapun yang berani melawan pemerintah dan
terakhir menjalankan Pemilu boneka.
Reformasi Partai Politik
Lalu bagaimana menyelematkan
demokrasi yang sedang berada di ambang batas kematiannya itu? Di bab terakhir
penulis mengabarkan bahwa semua itu tergantung pada semua pihak yang tinggal di
dalamnya. Terutama pada elite partai politik.
Berhubung buku ini mengkaji secara
spesifik perpolitikan di AS, penulis menyaranan agar partai (Republik) segera
direformasi sekalian dirombak. Pertama, partai Republik mesti membangun
kembali tatanannya baik soal keuangan, organisasi akar rumput dan penyaringan
calon.
Tidak berhenti di sini, partai Republik
mesti menyasar setiap pemilih yang lebih beragam, dalam arti idak bergantung
pada basis pemilih dari bangsa kulit putih, dan terakhir partai Republik mesti mengeluarkan
ekstremis dari barisannya.
Saya kira mereformasi partai politik
juga patut diberlakukan di Indonesia. Reformasi ini tentu juga menyasar prilaku
elite partai politik yang harus menjadi teldan praktik berdemokrasi. Buku ini
menjadi penohok bagi kita yang sebelumnya merasa aman dan nyaman hidup di
tengah negara dengan sistem demokrasi, sementara tanpa sadar ternyata demokrasi
yang membuat kita merasa aman dan nyaman bisa mati.
Kekurangan dalam buku, menurut saya
penulis terlalu mengagungkan sistem demokrasi dalam konteks apapun. Penulis
tidak menjelaskan dalam konteks apa seharusnya pemimpin boleh menanggalkan
sikap demokratis. Bukankah dalam konteks tertentu, pemimpin boleh mengambil cara
sekalipun tidak demokratis, asal demi kepentingan rakyat dan negara?
Judul buku : Bagaimana Demokrasi Mati
Penulis : Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : April 2019
Tebal halaman : 272 halaman
Peresensi : Hasan Ainul Yaqin