Berapa banyak orang yang berpikir bahwa perempuan itu lemah dan menjadi nomor dua setelah laki-laki? Sepertinya banyak sekali. Bahkan mungkin kita sendiri berpikir demikian. Sayangnya, pemahaman tersebut sangatlah fatal karena berakibat pada peminggiran dan diskriminasi terhadap perempuan. Karena itulah Evelyn Reed mencoba menggugatnya melalui bukunya yang berjudul Mitos Inferioritas Perempuan.
Mengapa kita terutama perempuan seolah tunduk pada mitos
bahwa perempuan itu inferior? Kata Reed ini disebabkan oleh kurangnya informasi
faktual tentang latar belakang historis perempuan dan keluarga. Dari sinilah
Reed mulai membedah keberadaan perempuan dalam keluarga secara historis. Dalam
hal ini Reed sangat terpengaruh oleh gagasan-gagasan Engels dan Marx. Ia
menggunakan buku Engels yang berjudul Origin of the Family, Private
Property, and the State untuk menguraikan tentang asal-usul sosial teori
kerja yang sangat penting dalam menjawab “pertanyaan perempuan”.
Marx dan Engels sendiri diilhami oleh Darwin dan Morgan yang
menjelaskan mengenai asal-usul manusia dan peradaban dalam ilmu antropologi. Morgan
menggambarkan tiga tahan kemajuan umat
manusia: dari masyarakat primitif, barbarisme, dan peradaban. Ia dan
antropolog lainnya menemukan bahwa institusi kelas yang paling dasar dari
masyarakat kita tidak hadir dalam tahapan masyarakat primitif. Ada tiga alasan
yang melatarbelakangi pemikiran tersebut, dan ini juga ditekankan oleh Reed.
Pertama, alat-alat produksi dimiliki secara bersama dan setiap
anggota masyarakat menggunakannya secara setara. Morgan menyebut masyarakat
primitif sebagai sistem “komunisme primitif”. Kedua, pemerintahan dijalankan
bersama, semua anggota masyarakat memiliki hak yang setara termasuk perempuan.
Ketiga, masyarakat primitif adalah masyarakat yang matriarkal dan unitnya
adalah gen atau klan dari ibu, sedangkan masyarakat berkelas yang berlangsung
saat ini bersifat patriarkal, dimana keluarga dari ayah sebagai unitnya (h.
11).
Melalui buku ini kita dapat memahami bahwasanya anggapan bahwa perempuan itu inferior bukan merupakan kodrat, karena ternyata pada masa primitif dulu tidak ditemukan diskriminasi gender atau perbedaan kelas. Yang ada justru matriarki, di mana perempuan dipandang memiliki status yang tinggi karena memiliki “hak ibu”. Uraian tentang ini dapat ditemukan pada halaman 17.
Selesai dengan pemecahan paham patriarki yang menganggap
perempuan selalu tertindas sejak mulanya, Reed melanjutkan pembahasan kedua
yang juga menjadi judul buku ini: Mitos Inferioritas Perempuan. Di bagian ini
Reed menggarisbawahi bahwa ketidakadilan seksual terjadi ketika masyarakat
telah terbagi ke dalam kelas-kelas sosial. Dominasi laki-laki atas perempuan
ditegakkan dan diabadikan oleh sistem kepemilikan pribadi, negara, gereja, dan
bentuk keluarga yang melayani kepentingan laki-laki (h. 38).
Di bagian dua ini selanjutnya kamu akan ditunjukkan
bukti-bukti di mana zaman matriarkal itu pernah ada dan berkontribusi penting
bagi peradaban manusia. Perlu dipahami bahwa matriarkal di sini bukanlah
pembalikan dari sistem patriarkal (di mana kepemimpinan laki-laki diperoleh
dengan cara merampas hak perempuan). Matriarkal yang dimaksud Reed adalah untuk
memberi pengertian bahwa perempuan pada masyarakat primitif memiliki peran
sebagai pemimpin dan organisator.
Beberapa hal yang menjadi penanda bahwa perempuan adalah
pemimpin dalam masyarakat primitif dimulai dari adanya pembagian secara seksual
yang menugaskan laki-laki sebagai pemburu dan perempuan sebagai
pengumpul makanan. Dari sini perempuan justru menjadi penghasil makanan yang lebih
pasti daripada laki-laki yang tidak selalu mendapat hewan buruan. Bahkan
laki-laki cenderung bersandar pada hasil nabati yang dikumpulkan dan diramu
perempuan sebagai sumber makanannya.
Tidak hanya berhenti sebagai penjaga makanan, perempuan juga
berperan signifikan dalam hal penemuan obat-obatan dan alat-alat produksi. Dari
sini lah kemudian tekhnik pertanian berkembang. Perempuan menggunakan tongkat
yang diasapi untuk menggali dan menemukan makanan di tanah. Selain dalam bidang
pertanian, domestikasi hewan yang mengarah pada sistem peternakan juga
dilakukan oleh perempuan. Begitupun dengan penemuan tekstil yang dikembangkan
dari tali tambang, perempuan menjadi aktor yang mempelopori penemuan tersebut.
Bagian ketiga Reed mulai menyinggung mengenai gerakan
perempuan, apakah perjuangannya adalah seks melawan seks atau kelas melawan
kelas? Di sini Reed mulai menegaskan bahwa persatuan perempuan dari berbagai
kalangan melawan laki-laki adalah agenda yang merugikan pembebasan perempuan. Pangkalnya
terletak pada analisis yang keliru dalam memandang akar permasalahan penindasan
perempuan.
Menurut Reed, penindasan perempuan berakar pada struktur kelas yang ada di masyarakat, sehingga kelas melawan kelas harus menjadi landasan pokok perjuangan melawan penindasan pada umumnya dan perempuan pada khususnya.
Perjuangan berdasarkan jenis kelamin merupakan agenda reformis yang tidak dapat
menyelesaikan akar penindasan tersebut. Secara historis agenda tersebut
dilakukan oleh perempuan borjuis yang ingin memperoleh kesempatan politik
sebagaimana laki-laki, bukan untuk meruntuhkan sistem kapitalisme. Karena
itulah, Reed menolak untuk berkompromi dengan perempuan borjuis yang enggan
berjuang untuk menghancurkan pertentangan kelas demi status quonya.
Refleksi dan Kritik
Buku ini telah memberikan kontribusi penting dalam memperbaiki
pemahaman orang-orang bahwa inferioritas perempuan bukanlah sesuatu yang alami,
melainkan diciptakan. Buku ini mendorong gerakan feminisme untuk mengatur ulang
tujuan dari agenda perjuangan pembebasan perempuan yang memiliki kesadaran
historis.
Secara kemasan, buku ini juga terkesan sederhana dan ringkas
namun cukup padat untuk membantu kita dalam memahami isinya. Bahasa yang
digunakan pun cukup sederhana sehingga saya yakin membaca sekali saja sudah
mengerti maksud buku tersebut, apalagi bagi kalian yang familiar dengan bacaan
marxis.
Satu hal yang menjadi kritik saya yaitu penolakan Reed
secara tegas terhadap partisipasi perempuan borjuis. Ia menggeneralisir bahwa
semua perempuan kelas borjuis memiliki kepentingan yang sama dengan laki-laki
borjuis untuk mempertahankan sistem kapitalisme, dan karena itu gerakan
perempuan tidak bisa mengharapkan partisipasi perempuan kelas borjuis dalam
pembebasan kelas. Karena kalaupun mereka mengaku feminis, perjuangannya sebatas
pada kepemilikan properti yang sama dengan laki-laki. Di sini saya mengambil
ketidaksepakatan dengan Reed. Reed tidak seharusnya membatasi agenda pembebasan
kelas hanya milik rakyat kelas pekerja.
Bagaimana bisa Reed menggeneralisir seluruh perempuan kelas
atas adalah penindas sementara ia menggunakan karya Engels –yang notabenenya
adalah kelas borjuis- sebagai referensi ideologisnya? Bagi saya, perjuangan
melawan pertentangan kelas atau revolusi sosialis bukan hanya milik kelas
pekerja, tapi siapa saja yang memiliki kesadaran kelas. Mereka yang telah
memiliki kesadaran kelas diharapkan dapat berkontribusi dalam bentuk apapun
untuk membangun kemajuan perjuangan tersebut, dan tentu saja turut menyuarakan
penolakan terhadap penindasan kelas. Oleh karena itu, kesadaran kelas harus
dipahami oleh semua kalangan agar ketidakadilan gender, ras, ekonomi dan
lain-lain yang disebabkan oleh sistem kapitalisme ini dapat dihentikan.
Selain buku ini, Reed juga menulis buku lain berjudul
Apakah Takdir Perempuan Sebagai Manusia Kelas Dua?. Memiliki nada yang hampir
sama, buku tersebut juga menegaskan bahwa pembebasan perempuan harus
dilandaskan pada perjuangan kelas. Melalui buku itu, ia menolak teori biologi
yang menyimpulkan bahwa perempuan merupakan makhluk kelas dua sejak lahir. Karena
itulah, saya tetap akan merekomendasikan untuk membaca tulisan-tulisan Reed di
dua buku ini jika kamu bertanya: apa sebenarnya akar penindasan perempuan?
Judul Buku : Mitos Inferioritas Perempuan
Penulis : Evelyn Reed
Penerjemah : Pramudya Ken Dipta
Penerbit : Penerbit Independen, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2020
Cetakan : III
Jumlah Halaman : 130 Hlm
Peresensi : Umi Ma’rufah