![]() |
Resensi Buku Indonesia For Sale oleh Ahmad Muqsith |
Masya ada yang menjual Indonesia?
Buku Indonesia
for Sale adalah cerminan Indonesia sebagai negara “dunia ketiga” yang
terjerembab ke jebakan neoliberalisme. Dandhy sendiri, menulis buku ini dengan
perspektif dirinya sebagai jurnalis (bukan ahli ekonomi), maka jangan heran
jika anda tidak menemukan teori matang dan dalam mengenai neoliberalisme.
Lebih dari itu, bagi saya hal tersebut didorong oleh mimpi Dandhy untuk menghadirkan isu strategis seputar neoliberalisme ke ruang diskursus publik,
dimana orang awam bisa terlibat untuk memperbincangkannya, bukan hanya obrolan milik pakar.
Buku Indonesia for Sale adalah sumbangan energi Dandhy untuk mendorong kekuatan media massa menginformasikan bahaya neoliberalisme pada masyarakat awam. Usaha ini menggunakan ciri khasnya, satire dan bikin merah telinga orang yang dikritik. Dalam buku ini kita bisa temukan semangat kritiknya pada media yang menggunakan frekuensi publik tetapi bobot informasi publiknya kalah banyak dibanding informasi privasi artis.
Maka tidak heran sekarang anda bisa
melihat tayangan Whatchdoc Documentary
dengan berbagai film viralnya seperti Samin
vs Semen, Kinipan, Sexy Killer, The End Game dll. Hal itu tentu sebagai panggilan penggunaan frekuensi publik untuk kepentingan informasi publik, bukan sekedar memanfaatkan frekuensi publik demi rating siaran hasil siaran langsung dari acara nikahan artis.
Jangankan kebijakan utang luar negeri, urusan toilet
umum dan parkiran ia soal. Tentu saja, semua dipotret dengan insting
investigatif yang ia dapat selama menjadi jurnalis bertahun-tahun. Anda mungkin
kaget membaca buku ini, karena semua permasalahan yang dibahas sebenarnya ada
di depan mata kita sendiri, di keseharian kita, bedanya mungkin kita tidak
menyadari bahwa semua itu bisa disebut sebagai “neoliberalisme”.
Dandhy terlihat begitu menguasai permasalahan di lapangan,
karena banyak tulisannya memang dimulai dari aktivitas kesehariannya menjadi
jurnalis. Beberapa tulisannya dibuka dengan dialog imajinernya bersama supir
taksi, tukang jamu, tukang jaga toilet dan tukang parkir. Hal ini karena Dandhy ingin membawa tema
perdebatan berat menjadi membumi dan bisa didiskusikan orang awam,
Perjumpaan Dandhy saat liputan di lapangan dengan
banyak pihak membuat data yang disampaikan dalam bebebrapa bab buku ini semakin
padat dan kaya. Tentu saja saat dibaca sekarang, angka-angka dalam buku ini
memang sudah usang, tapi semangat value
dan pola dari setiap permasalahan masih relatif sama.
Mengenal Neoliberalisme Secara Singkat
Kengototan Dandhy membahas tetek bengek yang berbau neoliberal ternyata punya tautan dengan
Farid Gaban, jurnalis senior yang perkataannya sering dimunculkannya dalam
beberapa bab di buku ini, "ekonomi
terlalu penting untuk diserahkan hanya kepada ekonom".
"Pokoknya
yang ciptaan-ciptaan manusia silakan saja kalau mau dikomersialkan. Tapi yang
langsung dari Tuhan, bisa kualat" (h . 114).
Salah satu yang dikutip Dandhy untuk menjelaskan
bagaimana karakter Neoliberalisme, adalah tulisan Herry Priyono (Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara) di harian Kompas. Menurut Hery, neoliberalisme lebih
condong mengarah ke masalah politik, bukan semata-mata masalah ekonomi. Ia
mencontohkan Augusto Pinochet (1973-1990) di Chile sebagai tokoh politik yang
menjalankan neoliberalisme. Dua ciri khas umum pemerintahan
neoliberalisme adalah, berwatak otoriter dalam kebijakan politiknya dan
menyerahkan pada mekanisme pasar untuk urusan ekonominya (h. 132).
Dua ciri khas watak pemerintahan neoliberal ini
kemudian bisa digunakan untuk mendiagnosa pemerintahan lainnya. Tetapi tentu
saja dengan berhati-hati dalam mendefenisikan apa yang dimaksud “otoriter”
dalam kebijakan politiknya.
Sementara untuk gaya penulisan, Dandhy berusaha
menghadirkan gaya ngobrol di tempat tukang parkir dan tukang tunggu toilet yang
sedang beradu pintar main catur. Tak heran kadang tulisannya keluar dari tema
utama, meski akhirnya mampu ia kembalikan lagi pada tema besarnya
(neoliberalisme) yang sedang ia gugat.
Meski bukan ekonom,
argumentasi dan analisa ekonomi Dandhy tidak bisa dibilang keliru. Hal
ini tidak bisa dijauhkan dari pengalaman jurnalisnya di majalah Warta
Ekonomi. Analogi Dandhy dalam setiap fenomena neoliberalisme yang ia gugat,
membuat tema ini mudah dipahami masyarakat awam. Misal bagaimana Mr. Smith dihadirkan dalam pola perubahan harga
minyak mentah dunia.
Melalui Bab resep-resep
Neolib, Dandhy baru agak jelas
menunjuk hidung Boediono dan Sri Mulyani sebagai sosok neoliberalisme
Indonesia. Terutama saat Menko Ekuin zaman Gus Dur, Kwik Kian Gie, yang
mengkritik orang-orang tersebut. Ketika keduanya masih di Dewan Ekonomi
Nasional (DEN), Kwik Kian Gie dihimbau untuk patuh pada ketentuan IMF. DEN
sendiri waktu itu diketuai Emil Salim (h. 178).
Penting Dibaca Mahasiswa
Jika belakangan mahasiswa mendapat tuduhan yang
memojokkan mereka karena semangat membela isu publik-strategis menurun, anda
juga bisa menghubungkan fenomena tersebut melalui neoliberalisme yang sudah
masuk ke dalam pendidikan dalam Bab khusus buku ini. Buku ini dengan begitu
menjadi penting untuk bacaan mahasiswa di semester awal, sebelum nantinya
memperdalam bacaan melalui buku lainnya seperti buku Kapital karya Thomas Piketty, buku Democracy for Sale karya Edward Aspinall dan W. Berenschot buku Oligarki karya J. Winters dll.
Buku Indonesia for Sale bisa dijadikan pondasi mahasiswa untuk bangunan pengetahuan seputar praktik sekaligus ide besar dari neoliberalisme. Dengan membaca buku ini bisa merangsang mahasiswa untuk memikirkan peran dan posisinya dalam sejarah manusia yang telah dikepung neoliberalisme.
Terakhir, film The End Game adalah bukti muktahir seberapa besar energi Dandhy untuk melawan narasi neoliberalisme yang semakin menggurita di Indonesia. Sekaligus, menjadi bukti bahwa ia bukan pemain baru dalam diskursus publik dengan tema neoliberalisme . Sampai tulisan ini selesai saya buat, parkir di toko ritel yang digugat Dandhy sebagai praktek neoliberalisme, masih berbayar.