Sastra Sebagai Pelurusan Sejarah yang Bengkok

 

Resensi Buku Dari Dalam Kubur Oleh Nur Hafiz Zulkarnain


Awalnya novel “Dari dalam Kubur” oleh penulisnya akan diterbitkan melalui penerbit Gramedia. Karena pihak Gramedia berniat menyensor beberapa bagian tulisan, membuat sang penulis, Soe Tjen Marching menarik draft bukunya. Soe Tjen Marching kemudian menghubungi Marjin Kiri, yang ternyata bersedia menerbitkan novel ini tanpa sensor. Ketika potongan kalimat beredar di medsos, saya langsung paham kenapa pihak penerbit terdahulu ingin melakukan sensor.

Setelah semalam dia mengunyahi tubuh-tubuh kami dengan buas dan bernafsu, esoknya dia meminta kami duduk, mendengar petuahnya tentang Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan. Tentang bagaimana bejatnya diri ini, bagaimana kami harus menjadi manusia yang bermoral dan beradab. Suaranya menggelegar: Ulang kata-kata saya, Pancasila…” (H. 288-289).

 

Bagian kutipan cerita tersebut kemudian menjadi favorit saya, hal tersebut menjungkir balikkan citra seorang apparat yang selama ini terbangun. Aparat dengan perilaku bejat, memaki-maki para korban, lalu menceramahi korbannya tentang Pancasila. Menurut saya hal tersebut sungguh pelecahan terhadap Pancasila yang sebenarnya.

Tidak sedikit pula tulisan Soe Tjen Marching dalam novel ini yang mengkritik agama dengan tajam, salah satu yang ingin diubah atau bahkan yang ingin dihilangkan oleh penerbit Gramedia.

“Yang rajin berdoa dan ke gereja, bakal dapat kesembuhan dari penyakit. Yang kawin dengan sesama Katolik bakal diberi imbalan berpuluh bahkan beratus kali di surga. Bukankah ini yang ingin didengar mereka? Bahwa ke Gereja itu berhadiah – seperti kesempatan dapat lotre atau SDSB” (H. 405).

“Aku percaya, setan membisiki kita, terkadang tanpa disadari oleh kita semua tidakkah mungkin bahwa yang kita anggap sebagai suara Tuhan sebetulnya adalah setan yang menyamar?” (H.. 444).

Penulis perempuan satu ini memang dikenal tegas dalam menyampaikan kritiknya, sama seperti karyanya yang lain Seks, Tuhan dan Negara. Novel ini juga menyampaikan kritiknya ke berbagai hal, terutama pada institusi negara dan agama.

Bagian awal novel ini mengisahkan Karla dari sudut pandang dirinya sendiri. Dia merasa diperlakukan dengan tidak adil oleh keluarganya karena memiliki bentuk fisik yang berbeda dari keluarga besarnya yang Tionghoa. Keluarga Karla yang memiliki mata sipit dan kulit putih berkebalikan dengan Karla yang memiliki mata belo dan kulit yang cenderung hitam.

Merasa diperlakukan tidak adil, bukan saja oleh keluarganya, melainkan juga lingkungan sekitar membuat Karla tumbuh dewasa dengan membawa dendam. Terutama kepada mamanya yang ingin ia bunuh, tetapi urung dia lakukan ketika tinggal selangkah lagi.

Tionghoa dan Identitas

Novel “Dari dalam Kubur” juga menyuguhkan karakter Tionghoa Muslim. Soe Tjen Marching menyelipkan karakter tersebut dalam diri Mamah, ibu dari tokoh Lydia Maria.

“Mamah jarang sembahyang, tapi dia percaya akan Allah seperti yang diimani neneknya” (H. 238-239).

Di Indonesia identitas sebagai Tionghoa muslim merupakan identitas minoritas (kalau tidak mau dikatakan aneh). Jean Gelman Taylor (2005), sebagaimana dikutip Samsul Huda dalam Orang Indonesia Tionghoa dan Persoalan Identitas (2010), migrasi penduduk dari dataran China membawa banyak perubahan, termasuk islamisasi.

Bahkan Sumanto Al-Qurtuby  dengan tegas mengatakan bahwa teori kedatangan islam dibawa oleh orang Tionghoa lebih kuat disbanding teori Arab dan India. Namun, Taylor mengingatkan “Menghubungkan Tionghoa dan keaslian Islam di dunia Melayu-Indonesia adalah topik sensitif”. Beberapa buku bertema Tionghoa biasanya memang banyak menyinggung masalah identitas semacam ini.

Alternatif Sumber Bacaan Sejarah

Novel ini banyak mengandung unsur sejarah, yang memang dalam proses penulisannya diawali dengan riset. Penulisnya berhasil mengisahkan kembali pengalaman para tapol dipenjara, tentang bagaimana kerasnya kehidupan penjara. Dia juga merrujuk pada dokumen deklasifikasi CIA. Hal ini sekaligus memperkuat dugaan bahwa selama ini CIA memang terlibat dalam pembunuhan massal anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekaligus berperan dalam penggulingan Soekarno sebagaimana yang pernah ditulis oleh Peter Dale Scott.

Saya menilai novel ini dapat menjadi alternatif, bahkan dapat dijadikan sebagai counter narasi dari sejarah “resmi”, sejarah versi pemerintah (Orba). Pembelokan sejarah tidak hanya melalui pendidikan di bangku sekolah, pemerintah Orde Baru bersama penulis anti-komunis juga memanfaatkan sastra dan film. Hal inilah yang menurut Wijaya Herlambang “melumrahkan”, “menormalkan” pembantaian massal 1965. Maka kiranya perlu dihasilkan novel-novel lain semacam ini. 

Buku ini juga cukup besar untuk memotret satu tema besar, pengalaman dan pengetahuan pembaca sebelum membaca buku ini akan menentukan tema mana yang akan benar-benar menarik perhatiannya. Mungkin anda akan membaca dengan cara berbeda dibanding saya.

 

Judul : Dari Dalam Kubur

Penulis : Soe Tjen Marching

Penerbit : Marjin Kiri

Tahun terbit : 2020

Halaman: vi+ 509

Peresensi : Nur Hafiz Zulkarnain