Dari Bahasa Persatuan ke Persatuan Bahasa | Resensi Buku Sumpah Pemuda; Makna & Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia

 

Resensi Buku Sumpah Pemuda; Makna & Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia oleh Karunia Haganta


Bagaimana Politisasi Peringatan Sumpah Pemuda?

           

            Sumpah Pemuda sejak lahir sudah sangat politis, sesuai dengan kepentingan politik rezim yang sedang berkuasa. Tapi di dalam peringatan Sumpah Pemuda, ia berubah menjadi simbol sakral. Sejarah monumental Sumpah Pemuda–selayaknya  sejarah monumental seperti Hari Kebangkitan Nasional dll–kerap kali menjadi bias karena terdapat hal yang politis yang kemudian di sakralkan. Tidak hanya peristiwa itu sendiri yang politis, tetapi bahkan keputusan untuk memperingati pristiwa itu kemudian bisa juga politis.

            Hadirnya Sumpah Pemuda sebagai simbol sakral menguntungkan pihak yang berkuasa. Pihak ini mampu mempolitisasi simbol sakral tersebut untuk kepentingan mereka. Peringatan Sumpah Pemuda tidak bisa lepas dari otoritas kekuasaan pada zaman tersebut.

            Di sinilah Keith Foulcher, berdiri menunjukkan posisi keberpihakannya sebagai penulis. Posisi yang mendekonstruksi Sumpah Pemuda, suatu monumen sejarah Indonesia, untuk melihat betapa monumen itu tidak sesakral seperti yang selama ini kita kira. Peringatan Sumpah Pemuda itu adalah peristiwa politik, politik bahasa. Kenyataannya, catatan sejarah menunjukkan bahwa Sumpah Pemuda yang kita kenal sekarang lebih merupakan suatu konstruksi politik dari generasi yang berbeda masa dengan momen berdirinya suatu bangsa dan bahasa nasional (h. 4-5).

Lahirnya Bahasa Nasional

            Polemik utama yang dibahas dalam buku ini adalah betapa problematiknya poin ketiga dari Sumpah Pemuda, suatu poin mengenai bahasa nasional. Bahasa yang umum digunakan oleh kaum pergerakan adalah Bahasa Belanda. Resolusi Kongres Pemuda II berusaha mengubah “bahasa persatuan” dari Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia. Suatu perubahan simbolik yang menjadi fondasi kebangsaan Indonesia. Penegasan ini berfungsi sebagai suatu identifikasi terhadap siapa yang dimaksud “orang Indonesia”.

            Politik bahasa tidak hanya terjadi dalam penciptaan “bahasa persatuan”. Bahkan poin dari resolusi Kongres Pemuda II tersebut juga menjadi objek dari politik bahasa. Dari awalnya, Sumpah Pemuda menjadi subjek politik bahasa, dengan “memaksa” kaum pergerakan menggunakan Bahasa Indonesia, seiring waktu Sumpah Pemuda justru menjadi objek politik bahasa. Terlihat bahwa sejak 1949, ingatan terhadap sejarah mulai goyah (h. 33).

            Penegasan bahwa Sumpah Pemuda termasuk “bahasa persatuan” mengalami bias menjadi “bahasa yang satu”. Bahasa yang tunggal bukanlah hal baru dalam penciptaan identitas nasionalisme. Mary Callahan pernah membahas penekanan bahasa persatuan di Burma sebagai standarisasi oleh rezim militer. Mazzini menyebutnya sebagai speaking the same tongue yang menjadi unsur penting bagi suatu bangsa (nation) (Migdal, 2004: 16-17).

            Dengan kata lain, pasca-merdeka terjadi perubahan penekanan dalam tafsiran terhadap Sumpah Pemuda. Tidak hanya tafsiran, tetapi terdapat versi baru Sumpah Pemuda, yaitu poin ketiga berubah menjadi berbahasa satu, bahasa Indonesia. Versi ini terus direproduksi, bahkan oleh tokoh yang mengikuti Kongres Pemuda II.

            Berbarengan dengan Kongres Bahasa Indonesia II pada 28 Oktober 1954, Sumpah Pemuda resmi menjadi hari yang diperingati tiap tahunnya. Tokoh yang berperan penting dalam penciptaan Hari Sumpah Pemuda adalah Sukarno dan Muhammad Yamin. Dapat dicermati bahwa Yamin dan Sukarno sedang membangun sebuah simbol yang menjadi bagian dari susunan ideologi sebuah bangsa dan negara (h. 45).

Sumpah Pemuda dari Presiden ke Presiden

            Sumpah Pemuda menjadi simbol yang menekankan persatuan di tangan Sukarno dan Yamin. Cita-cita persatuan berhadapan dengan tujuan kelompok pemberontak seperti PRRI/Permesta. Pemberontakan ini dianggap sebagai sautu pengkhianatan. Begitu juga dengan menegaskan pentingnya identitas nasional. Penegasan ini seiring dengan tindakan-tindakan yang diambil Sukarno, seperti pembebasan Irian Barat, penolakan terhadap musik Barat, dan juga konfrontasi dengan Malaysia.

            Lain Orde Lama, lain Orde Baru. Sumpah Pemuda menjadi suatu slogan dan legitimasi atas kepentingan negara. Inti dari politisasi Sumpah Pemuda oleh Orde Baru adalah memperlancar pembangunan. Bahwa kepentingan negara adalah prioritas dibanding kepentingan lain.

            Setelah Orde Baru, era Reformasi juga memberi penekanan yang berbeda. Peranan pemuda ditekankan dalam proses Reformasi untuk memulihkan Indonesia pasca-krisis. Terobosan dalam penekanan nilai-nilai Sumpah Pemuda yang tidak pernah muncul adalah pentingnya pluralisme. Tafsiran mengenai Sumpah Pemuda yang menunjukkan kemajemukan berbanding terbalik dengan penekanan akan persatuan oleh rezim-rezim sebelumnya.

            Setiap zaman memberi tafsirannya sendiri terhadap Sumpah Pemuda. Setelah lama Sumpah Pemuda diperingati, sudah saatnya Sumpah Pemuda hadir dengan wujud yang lebih demokratis. Bukan sekadar slogan keramat untuk kepentingan negara. Sudah sepatutnya Sumpah Pemuda ditafsirkan oleh pihak yang menjadi aktor inti dari Sumpah Pemuda, yaitu kaum pemuda itu sendiri. Pemuda harus menjadi subjek bukan lagi objek dari Sumpah Pemuda. Dengan ini pemuda mengkontekstualisasikan Sumpah Pemuda sesuai semangat zamannya, tanpa paksaan dari negara.

 

Judul               : Sumpah Pemuda; Makna & Proses Penciptaan Simbol                                              Kebangsaan Indonesia

Penulis             : Keith Foulcher

Penerjemah      : Daniel Situmorang & Iskandar P. Nugraha

Penerbit           : Komunitas Bambu

Cetakan           : Kedua, Oktober 2008

Tebal               : xlii + 118 halaman

ISBN               : 979-3731-35-4

Peresensi         : Karunia Haganta