Rekam jejak surat-menyurat Kartini dengan sahabat penanya yang bernama Estelle Zeehandelaar, seorang gadis Sosalis Belanda yang aktif dalam gerakan sosial dan feminisme, menyingkap buah pemikiran wanita kelahiran 21 April 1879 ini akan cita-cita pembebasan. Kepekaan dan keprihatinan Kartini terhadap kondisi bangsanya, berhasil melambungkan namanya melampaui batas waktu dan dikenang hingga kini.
Yaa “Panggil Aku Kartini Saja” tanpa embel-embel Raden Ajeng (saat masih gadis) atau Raden Ayu (saat sudah beristri) atau Nyonya/Mevrouw Djojoadinigrat (Bupati Rembang suami Kartini), adalah sosok perlawanan terhadap realitas Kolonialisme dan feodalisme di Jawa, serta perjuangan kesetaraan terhadap perempuan sebangsanya.
Pramoedya Ananta Toer mendialektikakan buah pemikiran Kartini secara historis, tanpa melupakan kondisi materiil sosio-politik Hindia Belanda zaman tengah,era yang disebut Soekarno sebagai zaman feodalisme sakitan. Pram tidak sekedar menceritakan sudut pandang domestik rumah tangga atau Kartini sebagai gadis pingitan yang dinikahkan secara paksa lalu mati setelah melhirkan (seperti cerita pada umumnya). Melainkan bagaimana Kartini melawan itu semua, melawan patriarki, feodalisme, dan kolonialisme.
Keluarga Tjondronegoro
Pram memulai dengan memaparkan kondisi leluhur yang semakin miskin dalam penjajahan. Diponogoro jatuh, perang Jawa telah selesai, perang yang paling mahal dalam sejarah Belanda di Indonesia. Berlanjut ke politik “tanam paksa” Van den Bosch yang berkali lipat lebih menyengsarakan rakyat. Kalau sebelumnya orang menderita buat perjuangan, sekarang orang makin menderita tanpa sesuatu manfaat bagi dirinya (h. 24).
Lantas bagaimana sikap Ario Tjondronegoro (kakek Kartini) terhadap tanam paksa, tidak jelas. Sesungguhnya Ia iba melihat kondisi rakyatnya, tapi dengan kekuasaan yang sangat terbatas Tjondronegoro sadar apabila ikut angkat senjata seperti yang dilakukan Diponegoro, pasti berhasil dipatahkan Belanda. Akhirnya, leluhur Kartini ini mencoba membela rakyatnya dengan memberikan laporan-laporan atau nota berupa saran kepada pemerintah semasa itu. Walhasil bencana kelaparan yang berjangkit di daerah kekuasaannya bisa dipadamkan (h. 40).
Kemudian ayah kartini, Adipati Sosroningrat, Bupati Jepara, adalah generasi permulaan yang menerima pendidikan barat, dan menguasai bahasa Belanda dengan sempurna. Waktu itu bahasa Belanda merupakan satu-satunya bahasa ilmu pengetahuan, maka indikator pengetahuan seseorang diukur dari pengetahuannya akan bahasa Belanda. Salah satu tulisannya adalah nota protes kepada pemerintah Hindia Belanda atas “diskriminasi pendidikan”.
Inilah warisan berharga dalam pemikiran Kartini, menjadikan Kartini visioner sejak dalam pikiran demi kemajuan bangsanya. Tertulis dalam suratnya kepada Estella Zeehanladeer 15 Agustus 1902:
“...Kakekkulah yang mula-mula sekali memberikan putra-putra serta putri-putrinya pendidikan barat. Kakekku adalah pelopor, adalah sungguh-sungguh seorang mulia. Kami berhak untuk tidak bodoh.” (h. 46)
Juga pada surat-surat berikutnya, Kartini sering menyebut kata ‘rakyatku’ sebagai manifestasi perjuangan membebaskan bangsanya.
Pribumi dan Barat
Kondisi zaman tengah, pertama ditandai dengan kolonialisme yang berperan menciptakan perbudakan dan perendahan harga diri, martabat sekaligus mental pribumi. Tanda kedua adalah Feodalisme yang menciptakan patriarki dihampir seluruh rumah tangga pribumi, dimana pria lebih menguasai kepentingan ekonomi, politik, sosial ketimbang perempuan. Dua hal inilah yang mengasah pena tajam Kartini hingga ia bisa menjadi seperti yang kita kenal sekarang.
Meski hanya lulus sekolah rendahan, sebab dilarang adat, namun simpati terhadap kemanusiaan (kondisi Pribumi kala itu) segera menggerakan Ia untuk memikiran mereka yang hidup dalam derita kemelaratan, dalam ketidaktahuan (h. 86). Dalam hal ini, Kartini selalu terngiang kata-kata Multatuli, bahwa “Tugas Manusia adalah menjadi Manusia” (h. 123).
Kartini mengilustrasikan masyarakat Pribumi sebagai “rimba-belantara” yang gelap gulita. Dan tanpa malu-malu Kartini mengakui bahwa obor untuk menerangi rimba-belantara yang gelap gulita itu adalah “intelektualitas Eropa”, yang belum dikuasai pribumi. Mengapa demikian? Karena pada masa itu benua Eropa yang mengendalikan seluruh dunia, dan tidak ada kekuatan yang dapat mematahkannya (h. 125)
Terjadilah persinggungan dalam benak Kartini terkait kondisi sosial Pribumi dengan pengetahuan Eropa. Walau kartini mengagumi Barat, lantas tidak menjadikannya seorang Barat. Berkat bacaannya kartini dapat melihat peradaban barat secara objektif, kemudian Ia tafsiri dengan keadaan materiil bangsanya sendiri guna cita-cita pembebasan. Sebuah gagasan progresif pada masanya dari seorang gadis pingitan yang hidupnya terhalang tembok besar Kabupaten.
Manifestasi perjuangan kartini tertuang dalam surat-suratnya kepada Nyonya Abendanon. Salah satunya pada 31 Oktober 1901, kartini menulis:
“sudah pastilah, bahwa dunia Pribumi akan menentang aku,.....Orang akan menganggap aku gila. Namun, gagasan itu indah, yaitu dengan melalui pers memperjuangkan cita-cita” (h. 228).
Habis Gelap Terbitlah Terang
Surat-surat kartini yang dihimpun oleh Mr. J.H. Abendanon (Direktur Departemen Pengajaran & Ibadat Hindia Belanda) diterbitkan dengan judul: Door Duisternis to Licht atau yang kita kenal “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Abendanon tidak pernah meminta nasihat atau pertimbangan, terutama kalangan Indonesia (h. 231). Menjadi kontroversial, sebab naskah tersebut terbit pada 1911, tujuh tahun setelah kartini meninggal pada 17 september 1904.
Terdapat indikasi bahwa Kartini sengaja diproklamirkan Belanda, sebab gagasan menerbitkan naskah Kartini timbul karena cemburu Internasional, sebab waktu itu India sebagai koloni Inggris memiliki wanita maju bernama Pandita Ramabai, yang dengan perjuangan serta sepak terjangnya mendapat simpati internasional. Kemudian terbentuklah Ramabai Foundation di London maupun di New York (h. 235).
Hasilnya pun mengejutkan, naskah Door Duisternis to Lict berhasil menarik perhatian internasional. Berturut-turut majalah Atlantic Monthly (New York, 1919-1920) menerbitkannya.Lebih dari itu, buku Kartini itu juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, mulai Inggris, Arab, Rusia, Tionghoa. Bahkan naskah tersebut turut membantu bangkitnya emansipasi wanita Syria (hal. 239).
Setelah itu perayaan-perayaan setiap 21 April ramai, baik di luar Negeri maupun di Hindia Belanda sebagai hari peringatan perjuangan emansipasi wanita. Himpunan pena tajam kartini ini diuntungkan dengan kondisi zaman peralihan dari kolonialisme kuno menjadi imprealisme modern, yang melakukan pengisapan dengan bentuk Undang-Undang serta narasi ilmiah untuk mengeruk sumber daya alam dan menghisap tenaga kerja manusia tanpa kekerasan fisik, namun lebih menyengsarakan.
Penutup
Menarasikan Kartini sebagai ‘objek’ adalah persinggungan kondisi sosial-politik dari masa ke masa. Hal ini terbukti sejak tahun 1946 pasca kemerdekaan, Kartini sebagai wacana kolonial diambil alih atau mengalami nasionalisasi wacana dan nyaris tidak ada yang baru. Modifikasi Kartini justru dilakukan oleh gerakan wanita kiri di Indonesia (Gerwani dan Gerwis). Dua organisasi ini gigih berkampanye Kartini bukan hanya memperjuangkan hak pendidikan perempuan, namun juga memperjuangkan anti-feodalisme dan anti-kolonialisme.
Kemudian polemik 1965 dan kebangkitan Orde Baru juga tak luput menarasikan Kartini sebagai wanita domestik dengan kembali ke dalam rumah, mengurus kasur, dapur, sumur, dan mendampingi anak dan suami. Atau beraktivitas/berorganisasi PKK atau Dharma Wanita. Warisan inilah yang menyebabkan perayaan Hari Kartini hanya diperingati dengan memakai kebaya dan lomba masak, lantas merasa sudah emansipasi.
Kartini tidak punya massa apalagi uang, yang dipunyai Kartini adalah kepekaan dan keprihatinan terhadap kondisi bangsanya. Dan ia tulisankan segala keresahannya itu untuk memperjuangkan cita-cita pembebasan melalui tulisan-tulisannya. Semangat Kartini yang seperti ini semoga lebih diaktualisasikan dalam setiap perayaan-perayaan setiap 21 April. Memperingati Kartini bukanlah sekadar perempuan berpakaian kebaya, tetapi lebih kepada apa isi kepalanya.
Fahmi Saiyfuddin (Pegiat Rumah Pengetahuan Daulat Hijau dan FNKSDA Jombang)
Tulisan Fahmi Saiyfuddin lainnya