Kita mungkin terbiasa mendengar istilah
‘Teologi’, sebagai tema yang sangat erat kaitannya dengan kajian agama. Terlepas
dari fakta serta kritik terhadap eksistensi ‘objek’ kajian teologi berupa Tuhan
dalam teropong fenomenologi. Dikotomi antara fenomologi dengan kritik
metafisika atas objek teologi, justru mendorong para ilmuan agama untuk
memahami teologi secara lebih detail, merefleksikannya secara mendalam, serta
menjadikannya sebagai ilmu yang layak dikaji dan didiskusikan.
Namun bagaimana ketika istilah teologi
disandingkan dengan kata ‘negatif’? Tentu menjadi wacana yang terdengar ganjil di
telinga kita, bahkan sebagian besar kalangan agama. Denys Turner misalnya, guru
besar teologi dari Birminghan University, dalam The Darkness of God, lebih memilih tidak mendefiniskan ‘teologi
negatif’. Penulis buku yang sedang saya ulas, Muhammad Al-Fayyadl mengutarakan,
barangkali Turner memlih hal tersebut sebab sepadan dengan kata negatif yang
berkonotasi ‘negatif’. Lebih dari itu, Marry-Jane Rubenstein dengan eksplisit menyatakan
bahwa “teologi negatif” hanya bisa diungkapkan dengan bahasa yang juga negatif
(h. 96).
Tuhan bagi teologi negatif adalah realitas
yang tak terjangkau oleh pikiran manusia. Mencoba memahami-Nya berarti memahami
Dia yang tak dapat dipahami. Dia adalah yang tak terbatas; Dia tidak dapat
dibatasi, didefiniskan, dan dipahami dalam kerangka konseptual yang disusun
oleh pikiran. Oleh karena itu, teologi negatif hadir sebagai reaksi dan cara
pandang alternatif dari teologi yang ada.
Epistemologi Teologi
Berbeda dengan teologi sebagai sistem keyakinan,
teologi sebagai ‘kajian’ akan mengarah pada sebuah wacana yang dikembangkan
dari studi, telaah, dan pendekatan-pendekatan atas konsep ketuhanan. Dalam
islam, definisi teologi juga mengalami pendekatan yang beragam dengan berbagai
dimensi dan varian.
Hingga kini, setidaknya terdapat lima
terminologi yang telah mendefiniskan teologi dalam islam. Pertama, teologi disebut sebagai ilmu Kalam. Perdebatan yang
terkenal dalam sejarah yakni Mu’tazilah dan Asy’ariyyah.
Kedua,
teologi dikenal juga sebagai Ilmu
Ushuluddin atau pengetahuan atas dasar-dasar agama. Ketiga, disebut Ilmu Tauhid atau pengetahuan tentang keesaan Allah.
Keempat, Ilmu Aqoid atau
pengetahuan tentang keyakinan yang benar.
Dan terakhir, teologi juga disebut sebagai al-fiqh al-akbar atau pengetahuan yang
paling agung. Walaupun definisi terkahir dinilai sebagai pelengkap, sebab secara
eksplisit teologi berisi dasar-dasar keimanan yang bersifat fundamendal dalam pengetahuan
islam (h. 66).
Dalam kerangka epistemologi, menurut Fayyadl
terdapat tiga aspek inheren dalam kerja epistemik teologi. Pertama, aspek sumber pengetahuan berupa wahyu, ditopang nalar sebagai
instrumen dalam menafsirkan wahyu atau firman Tuhan yang tersurat maupun
tersirat.
Kedua, perihal mekanisme dan/atau prosedur
pengetahuan. Dalam konteks ini kaum teolog berpijak logika kasualitas tentang
sebab-akibat, dan logika analogi yang bertumpu pada ekuivalensi (mencari kesamaan di antara dua hal berbeda) serta koneksi (mencari hubungan antar dua hal
yang semula tidak berkaitan).
ketiga, aspek aksiologi atau tujuan teologi itu
sendiri. Dengan adanya sumber pengetahuan yang berbasis pada hubungan antara
wahyu, nalar, dan tradisi, kemudian upaya rasionalisasi sumber-sumber tersebut
guna membangun legitimas kebenaran teologi, maka pertanyaan “untuk apa tujuan
teologi ?” dengan gamblang dikatakan, bahwa tujuan utama dari refleksi teologi
adalah keimanan atau kepercayaan yang sangat kuat. (hal. 70-83)
Ibn ‘Arabi, Pengagas Teolog Negatif
Islam
Terlahir dengan nama lengkap Muhammad ibn ‘Ali
ibn Muhammad ibn al-‘Arabi al-Ta’i al-Hatimi, Ibn ‘Arabi adalah seorang sufi
terkemuka dari Andalusia. Namun, berbeda dengan al-Ghozali yang pengaruhnya
luas terhadap kalangan Sunni saja, pemikiran Ibn ‘Arabi bisa diterima di hampir
semua kalangan muslim baik Sunni maupun Syi’ah.
Lahir pada 17 Ramadhan 560 H, atau 28 Juli
1165 M, di Mursia, tahun kelahirannya bersamaan dengan wafatnya Syekh Abd
al-Qodir al-Jailani. Ada spekulasi bahwa Ibnu ‘Arabi dilahirkan guna
menggatikan kedudukan spiritual seorang yang dikenal luas di dunia islam
sebagai wali, “kekasih Allah”.
Teologi negatif sendiri memiliki karakteristik
yang singular dalam wacana teologi karena kontradiksi sekaligus paradoks yang
terstruktur dalam dirinya. Diskursivitasnya bersifat non-diskursus. Karena
kendati teologi ini berbicara tentang pengetahuan tentang Tuhan, sesungguhnya
ia juga menegasikan pengetahuan itu sendiri, di satu sisi teologi negatif
membangun kerangka teori, tetapi sekaligus melakukan kritik dan pembongkaran
internal terhadap pengetahuan di sisi yang lain (h. 129).
Ibnu ‘Arabi, sebagai representasi teologi
negatif perspektif islam, memulai kritiknya terhadap tiga konsep dasar yang
menjadi perdebatan sengit di kalangan pemikir teologi seperti Mu’tazilah dan
Asy’ariyyah, yakni terkait Dzat Tuhan, Nama-Nama/ Sifat Tuhan, dan Pengetahuan
Ketuhanan.
Perdebatan Dzat Tuhan, dalam ilmu kalam
merupakan hal fundamental, dan titik awal dari asumsi-asumsi yang menimbulkan
persoalan, saling menklaim, serta menghukumi kafir satu sama lain.
Dalam kacamata Ibnu ‘Arabi, logika positif
yang dilontarkan kalangan Mu’zatilah dan Asya’ariyyah tentang Dzat Tuhan, malah
berbenturan dengan negasinya sendiri (baca: sisi negatif). Pasalnya, Ibnu
‘Arabi mempertanyakan apakah Dzat Tuhan dapat dibicarakan dan diperdebatkan
secara ilmiah? Sebab setiap diskursus keilmuan bermuara pada “kepastian”, dan
kepastian identik dengan “kebenaran”.
Namun, diskursus kalam mengenai Dzat Allah
yang mestinya menghasilkan ‘kepastian’, malah menyimpan kontardiksinya berupa
‘ketidak-pastian’. Mengingat apa yang dianggap benar (positif) oleh suatu
kelompok ternyata meragukan atau dianggap (negatif) salah oleh kelompok lain,
dan begitu juga sebaliknya (h. 193).
Mu’tazilah berprinsip “al-Shifah ‘ayn al-Dzat” (Sifat adalah Dzat itu sendiri), lalu
Asya’ariyyah menyangkal dengan pernyataan “Laa
hiya huwa, wa Laa hiya ghayruhuu” (Sifat bukan Dzat, tetapi bukan yang lain
dari Dzat). Di sini, untuk kedua kalinya Ibn ‘Arabi melontarkan kritik
metafisika ketuhanan, dengan menyatakan sisi negativitas paling mendasar berupa
kontradisi kaum Mutakallimun (pemikir
ilmu kalam) dalam membicarakan sifat Tuhan secara objektif dan diskursif.
Diskursus ini satu sisi tampak ‘ilmiah’, namun
di sisi lain, secara kontradiksi, sesungguhnya sangat subjektif. Sejatinya,
tidak ada satu orang pun yang mengerti apa yang dimaksud dengan Sifat, ketika
dikaitkan dengan Dzat. Asumsi-asumsi tersebut menurut Ibnu ‘Arabi bersifat
arbiter dan sewenang-wenang, dan perdebatannya pun berakhir pada titik
problematis (h. 215).
Ibn ‘Arabi kemudian menyebut bahwa perdebatan
ilmu kalam tidak mengandung “hal-hal yang membawa pencerahan”. Objek kalam
berupa ‘Tuhan’, kendati tampak positif, sesungguhnya juga mengandung
negatif. Karena pembicaraan dan diskusi
kepastiannya malah berujung pada ketidak-pastin dalam dirinya.
Berdasarkan uraian tersebut, lalu apa sebenarnya
tujuan Ibnu ‘Arabi menginisiasi atau mengagas Teologi Negatif dengan mengkritik
mayoritas Ulama Kalam (Mu’tazillah & Asy’ariyyah)? Tujuanya adalah
penegasan bahwa pengetahuan memiliki ‘batas’ dan secara final tidak pernah
dapat menjangkau “Tuhan” dan mempersepsikannya secara objektif.
Mencoba memahami-Nya berarti memahami Dia yang
tak dapat dipahami. Dia adalah yang tak terbatas; Dia tidak dapat dibatasi,
didefiniskan, serta dipahami dalam kerangka konseptual yang disusun oleh
pikiran.
Judul Buku :
(Krtitik Metafisika Ketuhanan)
Penulis :
Muhammad Al-Fayyadl
Penerbit :
LKiS
Kota Terbit :
Yogyakarta
Tahun Terbit :
2012
Cetakan :
Ke-I
Jumlah Halaman :
xviii + 276 hlm
ISBN :
979-25-5375-4
Peresensi :
Fahmi Saiyfuddin