Resensi Buku Sains dan Agama oleh Joko Priyono |
Relasi Agama dan Sains dalam Pemikiran Einstein
“Saya tak dapat membayangkan seorang ilmuwan sejati tanpa
iman yang mendalam semacam itu. Situasi ini dapat diungkapkan oleh sebuah
gambaran: sains tanpa agama lumpuh, agama tanpa sains buta (Albert Eisntein).”
Tesis di atas telah diketahui banyak orang lahir dari perenungan mendalam Albert Einstein ketika membicarakan relasi antara sains dengan agama. Fisikawan masyhur kelahiran Ulm,
Jerman pada 14 Maret 1879 tersebut memanglah satu dari sederet nama ilmuwan
terkemuka di dunia yang sampai saat ini masih menjadi bahan perbincangan. Namnya abadi berkat
kejeniusannya dalam merumuskan konsep teori relativitas yang terbagi menjadi
dua tahap. Tahap pertama, relativitas khusus pada tahun 1905, kedua mengenai relativitas umum pada tahun 1915.
Gagasan revolusioner tersebut kemudian menasbihkan Einstein sebagai
tonggak lahirnya sains secara besar-besaran atau dikenal dengan Big Science. Gagasannya juga sangat
berpengaruh dalam perkembangan ilmu fisika, terutama perkembangan fisika kuantum. Ahli fisika dari Rusia,
Lev Landau, menyebut Teori Relativitas Umum (TRU) sebagi teori terindah di
antara semua teori yang pernah ada.
Sementara itu, ahli
fisika teoretis Italia penggagas teori Gravitasi Kuantum Simpal, Carlo Rovelli
menyebutkan pengaruh Einstein pada dunia kuantum dalam bukunya yang berjudul Tujuh Pelajaran Singkat dari Fisika Modern—Jika
Planck adalah ayahnya teori kuantum, maka Einstein adalah pengasuhnya.
Ya, memang demikian,
pencapaian dan perjalanan intelektual Einstein yang pada masanya banyak
dianggap sebagai omong kosong, akhirnya membuahkan penghargaan penghargaan Nobel di bidang ilmu fisika pada
tahun 1921. Hal ini berkaitan dengan jasanya terkait
hukum tentang efek fotolistrik.
Hal yang menarik dalam perjalanan intelektual
seorang Albert Einstein adalah pemaknaannya mengenai relasi agama dengan sains. Buku berjudulkan
Sains & Agama ini setidaknya
memberikan gambaran pikiran Einstein mengenai kedua hal tersebut. Secara
keseluruhan, tulisan-tulisan dalam buku tersebut adalah tulisan Eintein yang
semula terpisah dan disampaikan di beberapa forum. Baik itu berupa gagasan,
catatan, koreksi, kritik hingga pendapat darinya terhadap singgungan demi
singgungan yang dilalui oleh Einstein.
Einstein menggunakan
frasa “religius kosmis” untuk menggambarkan keyakinan dirinya terhadap relasi
antara sains dengan agama. Kita dapat menemukannya di antaranya dalam tulisannya,
“Apa yang umum untuk semua jenis ini adalah
ciri antropomorfik konsepsi mereka tentang Tuhan. Secara umum, hanya
individu-individu dengan bawaan-bawaan lahir yang luar biasa, dan masyarakat
yang berpikiran sangat tinggi, naik sampai batas tertentu di atas tingkat ini.
Tetapi ada tingkat ketika pengalaman relgius yang menjadi milik mereka semua,
meskipun jarang ditemukan dalam bentuk murni: Saya akan menyebutnya perasaan
religius kosmis. Sangat sulit untuk menjelaskan perasaan ini kepada siapa pun
yang sepenuhnya tidak memilikinya, terutama karena tidak ada konsepsi
antropomorfik Tuhan yang sesuai dengannya” (h. 4).
Hal tersebut juga banyak
menjadi bahasan oleh Profesor Fisika dan mantan Rektor Universitas Iban Ilal
Israel, Max Jamer. Jamer menerbitkan karyanya yang berjudulkan Einstein and Religion: Physics and Theology
pada tahun 1999. Ia menggunakan sumber dari the Einstein Archieve di the
National and University Library, Yerusalem dan perpustakaan the Union
Theological Seminary, New York, sebagai sumber penulisannya.
Jamer menyebut bahwa
Einstein tak pernah menggunakan term “teologi”. Lanjutnya, dalam perjalanan
Einstein, ia mulai tertarik mengenai diskursus agama dan sains dalam kurun
waktu 1920 hingga 1930.
Di sisi lain, kita perlu
menilik mendalam tulisan-tulisan Einstein yang membicarakan perihal agama dan
sains. Lewat buku tersebut kita akan menemukan beberapa tulisannya yang
disampaikan pada forum yang berbeda-beda. Misal Agama
dan Sains (Ditulis untuk New York Times Magazine, November 1930), Ruh Religuis Sains (Dalam Meein
Weltbild, 1934), Sains dan Agama
(Pidato di Princeton Theological Seminary pada 9 Mei 1939), dan Agama dan Sains: Tak Terdamaikan? (The Christian Register, Juni 1948).
Einstein mendeskripsikan
agama dengan menarik dalam sejarah kelahiran dan perkembangan agama. Ketika
diminta Majalah New York Times ikut
menyumbangkan esai tentang konsepsinya mengenai hubungan antara sains dan agama,
ia menyebutkan keberadaan agama mengalami pergeseran dari belenggu keberadaan
ketakutan seperti kelaparan, binatang buas, penyakit, dan kematian menjadi
agama dengan keberadaan moral.
“Perkembangan dari agama
ketakutan menjadi agama moral adalah langkah langkah besar dalam kehidupan
masyarakat” (hlm. 3).
Melihat pernyataan
tersebut tentu menarik ketika dikontekstualisasikan dalam perkembangan zaman
sekarang.
Khususnya relasi antara sains dan agama. Terlebih, kalau menilik dalam rekaman
sejarah mengenai
catatan ketidakrukunan antara ilmiah dan ilahiah. Seperti di antaranya Baruch
Spinoza dalam sejarah Yahudi, Galileo Galilei dan Giordano Bruno dalam sejarah
Kristen, serta para pemikir dalam sejarah Islam yang mendapati perlakuan dikucilkan
oleh kelompoknya (ahli fisika Pakistan yang mendapat penghargaan Nobel Fisika
pada tahun 1979, Abdus Salam) yang mendapat tuduhan Ahmadiyah, ketimbang apresiasi atas
revolusi ilmu pengetahuan dan temuannya.
Kendati perlu untuk terus
diupayakan dialog terbuka dan rendah hati antara keduanya, menafsirkan apa yang
digagas oleh Einstein setidaknya menyiratkan bahwa sains dan agama dapat
berdampingan dan mendukung antara satu dengan yang lain. Masing-masing memiliki
peran masing-masing.
Sains adalah upaya untuk
memahami fenomena maupun peristiwa untuk kemudian diterjemahkan kedalam sebuah
abstraksi pengetahuan. Ia berbicara terkait mengenai apa yang ada, bukan apa
yang seharusnya ada. Sementara agama adalah keterikatan ilahiah yang mestinya
menjadi ranah privat, yang mana menjalankan fungsi moral dan menjauhkan dari
segala ketakutan yang kerap menjadikan manusia mudah menyalahkan dan menyerang
antara satu dengan lainnya.
Buku ini
tidak akan menjadi jawaban final bagi pertanyaan yang menyoal relasi agama
dengan sains. Tetapi jika digunakan sebagai pintu masuk memahami perdebatan
tersebut, buku ini lebih dari sekedar cukup. Begitu.[]
Judul :
Sains & Agama
Penulis :
Albert Einstein
Penerjemah :
Hari Taqwam Santoso
Penerbit :
Penerbit Circa
Terbit :
Pertama, Juli 2020
Dimensi :
12 x 18 cm; x + 120 hlm
ISBN :
978-623-7624-23-3
Peresensi : Joko Priyono.
Penulis Lepas. Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta (LDE).