Penulis : Faisal Oddang
Penerbit : Diva Press
Cetakan : I, Januari 2019
Tebal : 193 halaman; 14 x 20 cm
ISBN : 978-602-391-665-8
Peresensi : Habiburrachman
Kumpulan cerpen Sawerigading Datang Dari Laut bisa dibaca sebagai dokumentasi sejarah. Di dalamnya terentang sejarah lokal Sulawesi Selatan, terutama periode pasca revolusi kemerdekaan sampai 1965. Di antara topik pentingnya adalah pemberontakan Negara Islam Indonesia, Permesta, dan pemberontakan komunis. Kehadiran karya ini mengisi ruang kosong khazanah sastra Indonesia yang kerap berpusat di Jawa jika menyangkut topik-topik tersebut.
Topik tersebut juga jarang diangkat penulis daerah lainnya yang kebanyakan berfokus pada kearifan lokal. Bukannya Fai tidak menulis kearifan lokal. Terdapat beberapa, misalnya Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon, Sebelum Berangkat Ke Surga, dan Yang Terbaring Di Rumah Arung, Pagi Itu.
Rentang sejarah dalam karya ini menunjuk pada masa Indonesia belum stabil sebagai negara.
Pemberontakan bergulir di daerah-daerah, dan menciptakan keadaan darurat. Menurut Giorgio Agamben, dalam kondisi darurat negara bisa menunda hukum.
Negara selalu dapat menetapkan hukum dan bediri di luarnya atas nama kedaruratan, seperti demi stabilitas nasional. Dalam kondisi ini negara memiliki kekuasaan “luas biasa” untuk mengeluarkan warganya menjadi berstatus bukan warga. Sehingga mereka bisa dengan mudah dikucilkan, dibunuh, dan hak-hak dasarnya dirampas.
Warga yang dieksklusi berstatus sebagai subjek yang tidak diakui, boleh dibunuh dan yang membunuhnya tidak mendapat hukuman. Negara modern tidak pernah absen dalam memproduksi mereka. Indonesia pun begitu. Dalam Sawerigading ini Anda dapat menjumpai mereka yang dieksklusi.
Dalam Jangan Tanya Tentang Mereka yang Memotong Lidahku Anda akan menjumpai kisah para Bissu yang dibersihkan ketika operasi militer 1965. Pendeta transgender dalam tradisi pra-Islam di Bugis ini dituduh mengkhianati Tuhan serta dianggap bagian dari kaum merah (sebutan untuk komunis).
Para Bissu diburu dan dihabisi secara keji. Ada yang ditenggelamkan di danau, juga ada yang dipotong lidahnya dan dijadikan tahanan politik. Konon jumlah Bissu sekarang tersisa sedikit. Berkurangnya Bissu disebabkan pembersihan pada 1965, juga pada pemberontakan Negara Islam Indonesia (DI/TII) tahun 1953.
Hal yang sama terjadi pada penganut kepercayaan Tolotang dalam cerpen Orang-Orang dari Selatan Harus Mati Malam Itu. Para penyembah Dewata Sewwae ini oleh tentara dipaksa meninggalkan kepercayaan mereka untuk menganut agama resmi dan mencantumkannya di KTP. Seorang tentara mengancam pada pimpinan mereka: ”Uwak harus memilih, atau hak sebagai warga negara tidak kalian dapatkan, bisa saja diusir, bisa saja ada yang bertindak di luar kendali. Uwak sudah tahu sendiri, bukan, apa yang akan terjadi?” (Hal—25).
Mereka akhirnya memang menerima perubahan agama di KTP meski harus menanggung dilema menyakitkan. Andai mereka menolak, barangkali terjadilah apa yang diancamkan tentara itu: hak sebagai warga negara tidak didapatkan.
Ancaman serupa juga menimpa mantan gerilyawan kemerdekaan atau komunitas muslim sipil lantaran dicurigai terlibat dalam pemberontakan DI/TII. Di bawah keadaan darurat operasi menundukkan pemberontakan, warga sipil kerap berada di posisi rawan. Karena sewaktu-waktu, dan memang begitu adanya, mereka kerapkali menjadi sasaran hanya disebabkan kecurigaan tak berdasar.
Cerita tentang mereka dapat Anda jumpai dalam cerpen Peluru Siapa Yang Kami Temukan Ini? dan Siapa Suruh Sekolah Di Hari Minggu?
Dalam cerpen lain Anda juga dapat temui bahwa warga tidak hanya menjadi objek kekerasan negara, tetapi juga objek kekerasan sesamanya ketika kekerasan terpolarisasi secara horizontal. Dapatlah dikatakan bahwa dalam kondisi kedaruratan negara memproduksi subjek-subjek rentan. Di mana tidak ada kepastian keamanan dan perlindungan atas hak-haknya untuk terhindar dari kekerasan.
Dan selanjutnya, belajar dari sejarah, kita lihat bahwa tak satu pun dari pelaku pembunuhan atau pelanggaran hak asasi manusia memeroleh hukuman. Alih-alih, pelakunya justru melenggang bebas. Persis di titik begini Agamben menjelaskan bahwa “kondisi kedaruratan” menyediakan kondisi alamiah atas adanya kekebalan hukum terhadap pelaku kekerasan. Termasuk ketika pelakunya adalah negara sendiri.
Dari Sarewigading kita bisa mengambil hal itu sebagai pelajaran. Dengan ini bolehlah dibilang bahwa Sarewigading berhasil menampilkan potret berbeda tentang sejarah lokal Sulawesi Selatan dan juga akhirnya tentang Indonesia. Akan tetapi, perihal gaya bercerita dalam kumpulan cerpen ini sudah lain soal.
Seragamnya Cara Tutur
Sebagai karya sastra, Sawerigading tidak semata perlu dikhidmati sebagai dokumentasi sejarah, meskipun sebagian besar cerpennya bertendensi ke arah tersebut. Itu dapat dipahami karena kebanyakan cerpennya adalah produk sastra koran.
Tetapi, bagaimana pun ia tetaplah cerpen yang berurusan dengan seni menulis dan menyampaikan cerita. Bicara dua ihwal tersebut, keseluruhan cerpen ini tidak punya masalah dalam penataan kalimat. Kalimatnya ditulis dengan baik dan benar, juga liris, lancar, dan puitis.
Hanya saja gaya bercerita antara satu cerpen dengan cerpen lain nyaris seragam. Hal itu barangkali disebabkan dua hal. Pertama, Fai kerap mempekerjakan kisah cinta untuk membangun tangga dramatik atau untuk memberi kejutan. Misalnya antara tokoh aku dan Upe dalam Orang-Orang dari Selatan Harus Mati Malam Itu, atau kisah cinta Arung dan Malia dalam Sebelum dan Setelah Perang, Sebelum dan Setelah Kau Pergi, atau motif dendam karena cinta ditolak dalam Siapa Suruh Sekolah Di Hari Minggu? Pola tersebut diulang dan membuat cerita kehilangan daya gigit.
Kedua, hampir di semua cerpen tidak muncul karakter yang hidup kecuali digerakkan oleh suara pencerita yang lebih intens menjaga nada kalimat ketimbang memberi daging pada tokoh-tokohnya. Bila pun ada, karakter tersebut kalah ketimbang narasi liris kalimat-kalimat pengarang.
Namun, terlepas dari catatan di atas, melalaui anasir cerpen-cerpennya, Anda dapat merasakan bahwa Fai telah berupaya melihat dan menghadirkan narasi sejarah—mengutip esai pengantarnya, “dengan cara berpikir sebaliknya. Dengan lugu, dengan kembali, dan meminjam cara pikir kanak-kanak.”
Pustaka
Faisal Oddang, Sawerigading Datang Dari Laut, Yogakarta: Diva Press, 2019.
Marcelus Ungkang, “Metafora Baru untuk Peristiwa 1965”, dalam Jurnah Ruang, https://jurnalruang.com/read/1546688667-metafora-baru-dalam-penggambaran-peristiwa-1965
Robertus Robet dan Hendrik Boli Tobi, Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan, Jakarta: Marjin Kiri, 2014.
Sari Asih, “Essai Foto: Bissu Menuju Sunyi”, dalam magdalene.co, https://magdalene.co/story/bissu-menuju-sunyi.