Memahami Fenomena Premanisme dalam Lintasan Sejarah Indonesia

 


 

Resensi M.A.D. Restu Putra tentang Buku Politik Jatah Preman


Buku ini mendemosntrasikan bagaimana proses transformasi hubungan antara kelompok-kelompok preman dengan negara. Hubungan keduanya saat Orde Baru yang bersifat patron-klien kemudian berubah menjadi oposisi saat rezim itu runtuh. Meskipun dalam waktu-waktu tertentu, seperti Pemilu dan pergolakan sosial, keduanya dapat menjalin (lagi) konsesi-konsesi yang saling menguntungkan. Dalih yang digunakan oleh kelompok-kelompok preman pun fleksibel dan dinamis, mulai dari membela negara yang bersifat ultra-nasionalis, menjadi klaim-klaim teritorial, identitas, etnisitas dan agama.

Dengan mendekonstruksi analisis Max Weber perihal negara dan kekerasan, Wilson mendefinisikan “sistem jatah preman” sebagai relasi di mana kekuatan koersif dan intimidasi digunakan untuk meraih uang, sumber daya atau kekuasaan dengan dalih menawarkan jasa keamananan dari ancaman eksternal. Dalam relasi ini nampak adanya ancaman kekerasan yang imajiner, atau kadang juga benar-benar nyata, namun tetap diatur dan direncanakan sebelum melaksanakannya.

Artinya, preman, jago, misili, atau pengusaha kekerasan menampakkan diri secara simultan: sebagai penyulut sekaligus pelindung dari ancaman kekerasan yang terjadi. Apabila diimplementasikan pada negara, maka negara pun menjalankan sistem jatah preman (h. 11).

Selama masa krisis hegemoni, Kelompok preman dapat dimanfaatkan untuk menghancurkan kelompok-kelompok kontra-hegemoni (biasanya kelompok yang berideologi kiri). Dalam konteks ini, negara dan kekuatan koersif lokal menciptakan simbiosis mutualisme: negara membutuhkan kekuatan koersif lokal untuk menekan daya-daya hegemonik tandingan, sementara kekuatan koersif lokal membutuhkan negara untuk meleburkan diri ke dalam tampuk kekuasaan (h. 16).

Jatah Preman di Zaman Orde Baru

Setelah selesai membasmi kaum komunis, kelompok-kelompok Preman yang terafiliasi dengan Pemuda Pancasila, Pemuda Ansor dari Nahdhatul U’lama (NU) dll, banyak yang melanjutkan aktivitas kriminal-kriminal mereka. Minimnya lapangan kerja dan tiadanya kesempatan-kesempatan yang berarti, mendorong mereka untuk menjarah, menguras dan mencuri harta-harta yang tersisa dari kaum komunis.

Sebagai bentuk respon atas menjamurnya persepsi kekerasan terkait premanisme, pada 1972, Jendral Ali Moertpo yang dipercaya sebagai asisten pribadi Soeharto, membubarkan segala jenis kelompok preman. Namun, sebagaimana dikatan oleh Ryter yang dikutip oleh Wilson:

Pembubaran ini tidak dimaksudkan semata-mata untuk menumpas kejahatan, melainkan untuk membuka jalan menata dan mengatur mereka kembali dalam sebuah cara yang kondusif bagi penguatan kekuasaan negara (h. 74).

Setelah itu banyak kelompok preman dilembagakan seperti; Pemuda Panca Marga (PPM), Angkatan Muda Siliwangi (AMS), Ikatan Pemuda Karya (IPK), Forum Komunikasi Putra Putri Purnawiraman (FKPPP), dan Angkatn Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI). Organisai-organisasi itu dimanfaatkan untuk memastikan Golkar mendapatkan perolehan suara yang sudah ditetapkan sebelumnya sekaligus mengintimidasi lawan-lawan dan para pencoblos supaya mendukung Golkar.

Paska diberlakukannya desentralisasi, mendorong penegasan klaim berbasis identitas, etnisitas dan agama yang dipilih kelompok-kelompok preman guna mengamankan keuasaan dan sumber daya mereka. Sebagaimana dicatat oleh Wilson:

Dalam iklim pasca Orde-Baru, yang labil dan cair, penciptaan kembali identitas dan komunitas lokal, serta identifikasi sesudahnya mengenai “orang luar”, telah menjadi stretegi yang digunakan oleh elite-elite dan preman politik lokal untuk menguatkan sistem premanisme dalam cara-cara yang tidak bergantung kepada elite-elite nasional (h. 109).

Dalam hal ini, Wilson mencontohkan organisasi FBR (Forum Betawi Rembug). Organisai yang didirikan oleh Munir Fadloli el-Muhir ini merepresentasikan diri sebagai wahana bagi kelas papa Betawi, yang sudah berabad-abad lamanya tereksklusi dari episentrum ekonomi-politik, guna menjustifikasi model-model jatah preman yang dijalankan.

Dengan agensi populis ini, dari tahun ke tahun banyak orang Betawi menjadi anggota FBR. Banyak dari mereka memilih menjadi anggota FBR karena akan mendapatkan lapangan pekerjaan, terhindar dari penggusuran pemerintah dan terlindungi dari ancaman-ancaman preman lain.

Memang, organisasi ini bekerja secara mandiri dan oposisioner bagi para elite politik, namun pendirian itu tak mencegah FBR untuk menjalin persekutuan dengan para elite politik, demi memantapkan pengaruh atau meraih posisi dalam struktur pemerintahan dan adminstrasi kota (h. 187).

Identitas Betawi kemudian direkonstruksi menjadi “orang yang nasibnya terikat dengan Jakarta. Orang yang hidup di sini, bekerja di sini, dan uangnya tetap di Jakarta, tidak dikirim ke daerah lain” (h. 217). Berbeda dengan FBR, FPI (Front Pembela Islam) merupakan organisasi vigilante yang berdalih membela islam untuk memperoleh ceruk-ceruk keuntungan dari transformasi sosial politik. Mereka kerap melakukan razia klub, bar, pub atau tempat bordil.

Dari sini FPI seolah dianggap oleh masyarakat sebagai pelindung dari cemarnya moralitas masyarakat. Razia FPI sebenarnya hanya menyasar tempat maksiat yang tidak dimliki oleh ormas kuat dan militer. Sehingga, sengaja atau tidak, sebenarnya razia itu telah menstimulus gembong-gembong maksiat yang besar. Tak heran, Wilson menyebutnya sebagai “Centeng Moralitas”

Kaum miskin kota dan kelas pekerja merupakan partisipan terbesar dari FPI. Salah satu yang mendorong ketertarikan mereka bergabung dengan FPI ialah kecemburuan sosial-ekonomi. Namun, bagi preman lokal, keikusertaannya dalam FPI ialah untuk mencai dalih baru dalam pemerasan (h. 266). FPI terang-terangan mengklaim demokrasi lebih haram darpada babi. Namun, sejatinya, organisasi ini justru lihai bermain dalam demokrasi electoral.

Memang, FPI tak menggali ceruk-ceruk dalam konteks teritorial—yang tentunya dapat memerosotkan citranya sebagai pembela islam tanpa pamrih—namun FPI subtil memainkan isu, di mana ia menggembar-gemborkan ancaman yang dilebih-lebihkan yang padahal ia berada dalam posisi strategis untuk menyelasaikannya.

Meski FPI menggunakan tudung yang berbeda dengan FBR, namun ada persamaannya: menguatkan marjinalisai ekonomi kelas miskin kota.  Jangankan menyejahterakan masyarakat miskin kota, mereka malah menikmati keuntungan yang pragmatis dan sempit semata. Politik Jatah Preman adalah kacamata tambahan utuk melihat realitas sosial-politik dunia premanisme yang terlembagakan di Indonesia sejak Orde Baru.   

 

Judul               : Politik Jatah Preman: Ormas Dan Kuasa Di Indonesia Pasca Orde Baru

Penulis             : Ian Douglas Wilson

Penerjemah      : Mirza Jaka Suryana

Cetakan           : Pertama, Desember 2018

Halaman          : 315

Penerbit           : Marjin Kiri

Peresensi         : M.AD.  Restu Putra