Judul
|
: Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
|
Penulis
|
: Phutut Ea
|
Penerbit
|
: Buku Mojok
|
Cetakan
|
:
|
Tebal
|
: 255 halaman
|
ISBN
|
: 978-623-7284-20-8
|
Peresensi
|
: Siti Barokhatin Ni'mah
|
Diceritakan bahwa tokoh Aku sebagai sosok laki-laki petualang cinta. Beberapa kali dikisahkan dekat dengan perempuan, dan beberapa kali pula kisahnya tidak dapat dilanjutkan. Sebagaimana di awal cerita, tokoh Aku bertemu dengan perempuan yang telah lima tahun lebih tidak bertemu. Perempuan itu juga yang menjadikannya kesulitan untuk mencintai perempuan lain, lagi.
Dalam perjalanannya, saat masa perkuliahan tokoh Aku bergabung dengan kelompok diskusi politik serta menjadi tim agitasi dan propaganda saat memperjuangkan turunnya rezim Soeharto tahun 1998. Phutut dalam karya yang satu ini begitu runtut mendeskripsikan bagaimana tokoh Aku berperan pra dan pasca aksi ‘98. Sosok idealis yang justru bertentangan dengan keputusan struktural teratas organisasi. Potret yang sudah menjadi hal biasa, kaum tua dan kaum muda berbeda pendapat.
Merenungkan tentang kemanusiaan, yang di dalamnya menyangkut agama, ekonomi, keadilan, membuat tokoh Aku semakin sesak karena menyadari bahwa dia hanya orang kecil, orang biasa yang bagaimanapun tetap dimintai pertanggungjawaban dimasa hidupnya. Dia begitu menghargai harapan, Phutut menuliskannya.
“Hei, jangan pernah menghancurkan harapan seseorang, sebab jangan-jangan hanya itu satu-satunya hal penting yang mereka miliki”.
Melalui pemikiran yang dilematis, tokoh Aku memutuskan untuk keluar dari struktural organisasi. Dan mengatakan bahwa, “Kita harus siap sepi. Penderitaan bagi orang seperti kita adalah sebuah keputusan politik”. Dalam waktu-waktu keputusan itu ia pilih, di hari-hari itu pula kekasih yang menemani dimasa-masa sulit meninggalkannya.
Dalam masa-masa sulit itu, sahabat-sahabatnya berduyun-duyun membantu dan memberi semangat. Digambarkan oleh banyak orang, bahwa tokoh Aku merupakan sosok yang tidak layak untuk tidak bahagia. Dikaruniai banyak hal penting yang dapat mengukuhkan banyak hal dalam hidupnya. Tapi ternyata, tokoh Aku merasa tak lebih dari sekadar seorang pesakitan yang murung dan selalu tercenung di dalam kamar.
Tokoh aku memutuskan untuk menjadi penulis dalam suatu naungan. Rutinitas itu membuatnya kembali bersemangat melakoni hari-harinya. Dalam sekian panjang perjalanan, ia dikagetkan oleh perkataan perempuan yang dia cintai sekaligus telah meninggalkannya, yang mengatakan bahwa ia masih mencintainya. Sayangnya, kekasih tersebut kini telah bersuami dengan laki-laki lain, dan sudah beranak.
Meski begitu, keduanya berjanji untuk tidak menghubungi lagi dan perempuan tersebut mengatakan “Aku akan mencintaimu dengan cara yang paling sunyi”. Meski terlihat baik-baik saja, hal ini kembali menggoyahkan semangat tokoh Aku dan membuatnya kembali dalam keadaan ‘jatuh’.
Dalam masa-masa kejatuhannya, ia memutuskan untuk menemui Tante Wijang, sosok yang menurutnya bijaksana. Tante Wijang menyarankan untuk mengubah cara hidup, menanggung dan mengobati lukanya. Yoga dan meditasi ia lakoni, kemudian mengunjungi hal-hal baik lain yang dia namai surga-surga kecil. Di pertengahan awal cerita, tokoh Aku akhirnya menemukan cinta sejatinya.
Phutut EA, Penulis lulusan Fakultas Filsafat UGM ini begitu lihai membuat pembaca mencermati kembali halaman demi halaman yang telah selesai dibaca. Alur maju-mundur yang disuguhkan cukup membuat pembaca kesulitan merangkai kembali cerita yang telah disusun rapi. Meski begitu, banyak pesan-pesan intrinsik yang disampaikan penulis dalam novel ini.
Saya mencoba membaca karya Puthu dengan melihat dari persektif lain, bahwa dalam diskursus mindfullnes kita dilatih untuk melakukan kesadaran penuh dalam aktivitas sehari-hari. Berfokus pada apa yang dijalani saat ini dan melakukan yang terbaik. Jika sudah begitu, apa-apa yang sudah terjadi akan kita terima.
Bukan sekedar pasrah, karena apa yang terjadi, terjadi dengan kesadaran. Seperti halnya peristiwa-peristiwa yang menimpa tokoh Aku, yang dia sendiri berpikiran bahwa dia telah mengalami banyak kesialan dalam hidup. Namun jika ditelisik, kesialan-kesialan itu yang mengantarkannya sampai pada posisi saat ini. Apa yang hari ini dicapai merupakan hasil dari perjalanan yang telah dilalui. Keadaan saat ini, adalah tentang bagaimana kita memaknai hari-hari yang telah lalu.
‘Cinta Tak Pernah Tepat Waktu’, suatu kondisi yang coba dijelaskan oleh penulis melalui tokoh Aku. Suatu judul yang menyiratkan makna pesimisme, penegasan juga penyesalan. Namun di akhir, diceritakan kembali kita tidak harus kesal terhadap sesuatu yang tidak tepat waktu.
Tugas kita adalah mencoba memberi harga pada berbagai peristiwa, juga hal-hal yang sepintas dianggap tidak menyenangkan. Peristiwa yang tidak menyenangkan hari ini belum tentu tidak menyenangkan dihari esok, juga sebaliknya. Penyesalan-penyesalan baiknya kita maknai ulang, karena mungkin dapat berubah menjadi pemakluman. Maka, sebenarnya semua waktu adalah tepat, hanya kita yang belum tepat memaknainya.
Tulisan Siti Barokhatin Ni'mah lainnya