Pendidikan dalam Pandangan Yudi Latif
Yudi Latif, sebagai cendekiawan terkemuka Indonesia, menarasikan gagasan berupa lipatan demi
lipatan sejarah pendidikan di Indonesia, mulai pra kemerdekaan hingga pasca
kemerdekaan. Gagasan tersebut meliputi historis, konsep, dan transformasi pendidikan—yang
tidak lain merupakan buah pemikiran intelektual hasil dari interaksi baik
berupa pembacaan, perjumpaan, dan pertukaran pikir dengan banyak kalangan. Semua itu ia sajikan dalam buku berjudul Pendidikan yang
Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif.
Dinamika pendidikan di Indonesia merupakan sejarah
panjang penuh pergulatan, ada konsep maupun paradigma yang berbeda
dalam tiap zaman yang berjalan. Pendidikan harus
diakui menjadi tugas wajib sepanjang zaman untuk mempersiapkan dan melahirkan
generasi yang tangkas, berani, kreatif, inovatif, dan memiliki dedikasi dalam
kehidupan berbagangsa dan bernegara. Apalagi, hal itu juga termaktub dalam
alinea pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, “mencerdaskan kehidupan
bangsa”. Fakta tersebut tentunya memberikan arti pentingnya pendidikan sebagai
sarana meningkatkan martabat bangsa serta meningkatkan kesejahteraan.
Yudi Latif membagi lanskap sejarah yang menjadi akar pendidikan Indonesia dari mulai pendidikan barat masa rezim liberal dan masa politik etis, pendidikan Islam pada abad ke-19, hingga masa kemajuan baik itu awal politik etis hingga terbentunknya ruang modern di masa Hindia, kemudian bergeser pada terbentuknya ruang modern dan berbagai ruang intelektual sampai masa kemerdekaan.
![]() |
Resensi Buku Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif oleh Joko Priyono |
Miskonsepsi Dunia Pendidikan
Tak selesai sampai di sini, kontekstualisasi gagasan Yudi
Latif juga merefleksikan masa yang dihadapi saat ini, khususnya pada abad ke-21
dengan berbagai transformasi perubahan yang ada. Bahkan, tak sebatas langsung
mengedepankan peluang yang ada, Yudi Latif juga menyuguhkan realitas berupa
ancaman-ancaman terhadap pendidikan
bangsa ini.
Ancaman tersebut beberapa di antaranya berupa
miskonsepsi terkait industri, teknologi, dan pengembangan sumber daya manusia. Misalnya, “Teknologi
acapkali diidentikkan sebagai alat (tools). Dengan memandang teknologi melulu
sebagai alat (mesin), konsentrasi pengembangan SDM berwawasan teknologi dan
industri seolah-olah hanya dialamatkan pada bidang-bidang keteknikan” (h.. 9).
Padahal sejatinya selain menggarap pada perihal keteknikan, pengembangan teknologi juga membutuhkan dukungan ilmu-ilmu sosial humaniora. Dengan begitu, ada sebuah hubungan yang berkesinambungan antara satu keilmuan dengan keilmuan yang lain. Tidak kemudian pendidikan menjadi ruang pemahaman akan dikotomi ilmu, yang sejatinya menjadi masalah yang berarti dalam gagasan ilmu pengetahuan.
Hal
tersebut juga memberikan kerangka paradigmatik, saat gayung bersambut hadirnya
periodesasi Revolusi Industri 4.0
maupun Society 5.0—tidak sebatas
menggaungkan hal itu, namun memahami upaya apa yang mestinya dilakukan baik itu
dalam meningkatkan budaya inovasi, pengelolaan sumber daya manusia, pengolahan
informasi, dan penciptaan kondisi sosial yang kondusif.
“Di Indonesia,
ancaman disrupsi pendidikan sebagai konsekuensi perluasan industri 4.0 itu
acapkali diwacanakan dengan semburan ultimatum ‘doomsday scenarious’, tanpa
jalan keluar yang terang. Padahal, meski fenomena tersebut harus diantisipasi
dan disiapkan kerangka tanggapannya, namun tidaklah berarti bahwa
prinsip-prinsip pendidikan selama ini otomatis kedaluwarsa dan harus
ditinggalkan” (h.. 348).
Pendidikan Merunut Sejarah
Peletakan konsep pendidikan di Indonesia tak terlepas
gagasan yang Ki Hadjar Dewantara. Salah satu konsep itu berupa kepemimpinan yang kita kenal terdiri dari tiga
hal, masing-masing berupa: ing ngarsa
tuladha (di depan memberi contoh), ing
madya mangun karsa (di tengah memberi semangat), dan tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan). “Dalam pandangan Ki Hadjar, ‘pendidikan’
(opvoeding) merupakan sesuatu yang lebih luas dan esensial daripada
‘pengajaran’ (onderwijs) (hlm. 137).
Pendidikan kemudian proses belajar menjadi manusia
dengan seutuhnya. Ia tak dapat dipisahkan dengan keberadaan kebudayaan. Bahkan,
pendidikan itu sendiri tidak lain merupakan proses kebudayaan yang menghendaki perkembangan
dalam berbagai aspek pendidikan, baik itu kemampuan kognitif, kemampuan
afektif, dan kemampuan konatif. Ki Hadjar Dewantara meletakkan kebudayaan untuk menggapai orientasi di dalam pendidikan
tersebut dalam empat terminologi penting yaitu; belajar olah pikir, belajar
olah rasa, belajar olah karsa, dan belajar olah raga.
“Ki Hadjar
menyatakan bahwa visi pendidikan dan kebudayaan harus mampu melakukan
usaha-usaha sintesis kreatif dengan mengambil faedah dari Barat yang senapas
dengan kearifan Timur, sebagai usaha dinamis untuk membebaskan individu dari
materialisme Barat maupun tradisi lokal yang menindas, agar peserta didik bisa
mewujudkan segenap kemampuannya dalam ‘tuntunan kolektif’” (h.. 193).
Tak Sekadar Asal Ikut
Menariknya, Yudi Latif juga mengemukakan gagasan
menarik tentang habitus yang
kerap muncul di dalam perkembangan pendidikan. Seperti di antaranya saat
hadirnya diskursus periodesasi transformasi peradaban, kita kerapkali mudah
terbawa sebuah arus besar tanpa memahami substansi yang ada. Kita kerap
menggemborkan untuk terus menyusul ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih maju dalam bidang ilmu pengetahuan, inovasi
teknologi, hingga kapasitas sumberdaya manusia. Akan tetapi, hal itu hanya
berakhir pada sebatas slogan,
tanpa diikuti upaya dan kerja keras bersama oleh berbagai pihak.
Pada akhirnya, ketika menilik berbagi hasil survei maupun
indikator dalam bidang pendidikan seperti minat baca, sains dan matematika,
literasi, numerasi, dan indeks inovasi global, negara Indonesia tercatat sebagai negara yang secara yang bisa dikatakan berada di
peringkat rendah. Hal tersebut tentunya perlu menjadi refleksi
bersama untuk mencari jalan keluar nasib pendidikan Indonesia. Hal itu bukan
sebatas pada kesadaran satu atau dua pihak saja. Namun lebih dari itu, pendidikan
memerlukan keterlibatan dari para pakar, akademisi, dunia industri, lembaga
riset, dan pihak swasta.
Buku ini menjadi penting untuk dijadikan sebuah
diskursus yang terkait perihal pendidikan di banyak kalangan. Selain
pengemasannya yang terstruktur dan berdasarkan alur sejarah yang runtut,
gagasan demi gagasan yang ada di dalam buku ini menawarkan hal-hal baru yang
bisa saja belum banyak kalangan yang melakukan diskursus maupun pembahasan
secara mendalam baik itu terkait kultur kebudayaan, jenjang sekolah, metode
pembelajaran, hingga kurikulum. Walaupun demikian, juga diperlukan literatur
maupun referensi lain sebagai pendukung agar menjadi seorang pembaca tak
sebatas puas pada satu bacaan saja.
Judul : Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi
Pendidikan Transformatif
Penulis : Yudi Latif;
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama,
Tahun Terbit :Oktober, 2020;
Jumlah Halaman : xvi + 424
Peresensi :
Joko Priyono, penulis lepas, bergiat di Lingkar
Diskusi Eksakta.