Menjadi Orang Proyek, Pilih Idealisme atau Pragmatisme?


Aku mengenal Ahmad Tohari sejak di bangku SMA. Kala itu aku sempat membaca salah satu buku novel karyanya yang kudapat dari perpustakaan sekolah berjudul Kubah. Walau aku tak begitu mengerti isinya, entah kenapa aku langsung jatuh cinta pada caranya merangkai kata untuk melukiskan keindahan alam, terutama di pedesaan.

Dua tahun kemudian di kampus aku menjumpai novel Ronggeng Dukuh Paruk, dan mulai saat itu aku mengerti bahwa novel-novelnya tidak jauh dari cerita tentang PKI dan Orde Baru. Tentu saja aku bisa paham karena waktu itu aku pun telah membaca buku-buku seputar sejarah pahit Indonesia itu. Tak terkecuali karya Ahmad Tohari yang belakangan selesai kubaca, berjudul Orang-Orang Proyek.

Bermula dari penggambaran kondisi sungai Cibawor yang letih selepas diterjang banjir besar, Tohari mulai memperkenalkan sosok Tarya, seorang pemancing, juga pensiunan pegawai kantor penerangan yang pandai bermain seruling. Lalu datang Kibul, seorang pemuda yang menjadi ketua pelaksana proyek jembatan sungai Cibawor, yang kemudian menjadi tokoh utama novel ini.

Kibul merupakan seorang berlatar belakang keluarga sederhana yang dibesarkan oleh ibunya dengan rasa prihatin yang tinggi. Ia selalu bersyukur, karena kerja keras ibunyalah ia akhirnya mampu meraih gelar sarjana teknik, lalu bekerja sebagai pelaksana proyek pembangunan. Dari situlah kemudian dia bisa membantu adik-adiknya untuk melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi.

Desa tempat Kabul mengerjakan proyek jembatan rupanya dikepalai oleh teman lamanya semasa kuliah dulu. Basar namanya. Ketika di kampus, mereka adalah aktivis yang kerap berdiskusi dan mengkritisi kebijakan kampus dan pemerintah. Dari latar belakang itulah cerita novel ini menciptakan dinamika, di mana Kabul (juga Basar) menghadapi kenyataan yang berlainan dengan idealisme mereka.

Sebagai seorang sarjana teknik yang mengerti betul bagaimana sebuah bangunan dapat dikatakan layak dan bermutu bagus, tentu Kabul ingin pekerjaannya pun dikerjakan sesuai dengan pengetahuan yang ia miliki. Sayangnya, anggaran proyek jembatan yang dipegangnya telah dijadikan bancakan oleh orang-orang yang menguasai proyek, sehingga memaksanya menurunkan kualitas bahan bangunan.

Ditambah lagi, proyek jembatan ini dijadikan sebagai ajang kampanye pemilu oleh pihak penguasa. Selain itu proyek ini juga hendak diresmikan bertepatan dengan HUT partai golongan penguasa Orde Baru sehingga dituntut untuk diselesaikan secepat mungkin hingga mengabaikan rekomendasi para perancang untuk memulai pembangunan pada musim kemarau. Akibatnya, kerugian tak terelakkan ketika banjir besar merusak beton pancang.

Bagi Kabul ini adalah kerugian, tetapi barangkali malah keuntungan bagi yang lain. Kata Pak Tarya:

“Bahkan saya juga bisa menebak, tidak semua teman sampeyan kini sedih. Karena, kerugian akibat banjir itu bisa dijadikan alasan untuk meminta biaya tambahan. Dan hal ini merupakan kesempatan baru untuk menggelembungkan anggaran proyek. Ah, kami rakyat kecil tahu kok, apa arti penggelembungan biaya bagi orang-orang proyek.” (h.11)

Dalam suatu obrolan yang lain, Kabul bertanya mengapa beberapa penduduk desa menyuap orang-orang kuli untuk ‘mendapatkan’ semen dari proyek? Kata Pak Tarya, karena pada dasarnya kebanyakan orang masih dilekati watak primitif. Suka mementingkan diri sendiri alias serakah. Lalu Kabul menyadari ketika mengaitkannya dengan angka kebocoran anggaran proyek hingga 40 persen.

Dan bila si primitif adalah orang kampung di sekitar proyek yang miskin dan kurang terdidik, harap maklum. Namun kalau si primitif tadi adalah menteri, dirjen, kakanwil, dan seterusnya? Apa mereka tidak mencak-mencak bila dikatakan primitif? (h.22)

Idealisme Kabul kerap diuji setiap kali ia berhadapan dengan Dalkijo, manajer proyek yang sekaligus seniornya di kampus dulu. Seperti Kabul, Dalkijo juga berangkat dari keluarga miskin. Ia bertekad untuk tobat melarat dan hidup mewah.

Sayangnya cara yang ia tempuh tidak benar. Ia masuk ke dalam golongan mereka yang memanfaatkan anggaran proyek untuk memperkaya diri sendiri. Dalkijo juga sering menceramahi Kabul untuk ikut saja dalam permainan kongkalikong proyek ini. Namun Kabul tidak bisa. Ia masih memegang teguh prinsip idealismenya.

Puncaknya, ketika Kabul tidak tahan lagi menghadapi berbagai hal non-teknis yang tidak mendukung pembangunan jembatan sebagaimana yang ia harapkan, iapun memutuskan untuk mengundurkan diri. Ia tidak sanggup menyelesaikan jembatan menggunakan material bekas yang ditawarkan Dalkijo.

Alhasil, proyek dengan anggaran besar yang seharusnya menghasilkan jembatan sesuai dengan mutu baku, nyatanya kemudian dibuat alakadarnya. Dan entah sudah berapa banyak lagi proyek pembangunan yang bernasib demikian. Yang dirugikan tentu saja rakyat kecil yang harus membayar pajak.

Undang-undang yang mengatur bahwa pengembang harus membangun proyek yang dapat bertahan hingga 10 tahun hanya sekedar aturan tanpa realisasi. Jembatan Cibawor pun hanya mampu bertahan satu tahun.

“Dan karena kebiasaan itu, kata ‘proyek’ pun kini memiliki tekanan arti yang khas. Yakni semacam kegiatan resmi, tapi bisa direkayasa agar tercipta ruang untuk jalan pintas menjadi kaya. Maka apa saja bisa diproyekkan. Tidak hanya jembatan, tapi juga pengadaan kotak pemilu, sembako untuk orang miskin, program transmigrasi, program penanggulangan bencana alam. Bahkan sidang umum MPR dan penyusunan undang-undang bisa diproyekkan. Orang-orang proyek rakus dan licin, dan mereka ada di mana-mana.” (h.252)

Begitulah sekilas gambaran cerita di dalam novel setebal 256 halaman ini. Tentu tidak cukup untuk menunjukkan betapa jenius Tohari meramu cerita yang menggambarkan realita sesungguhnya tentang bagaimana pembangunan proyek di zaman Orde Baru (dan mungkin sampai sekarang) tidak pernah sepenuhnya dibuat untuk kemaslahatan umum. Mereka yang masih punya idealisme tentu dipaksa untuk memilih, melawan atau menerima? Idealis atau pragmatis?


Judul Buku : Orang-Orang Proyek
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Kedua, tahun 2015
Tebal : 256 halaman
Peresensi : Umi Ma’rufah