Penulis : Jean Rocher dan Iwan Santosa
Penerbit : Kompas
Jumlah Halaman :282 Halaman
ISBN : 978-979-709-767-7
Peresensi : Ahmad Muqsith
Sebagai buku sejarah, buku ini bisa dibilang cukup, karena pendekatan sejarahnya kurang detail, tetapi untuk menghapus kepercayaan bahwa kita hanya pernah dijajah Belanda selama 350 tahun, buku ini modal awal pembantah argumen tersebut. Fakta yang disajikan menggambarkan bagaimana secara khusus Indonesia (dulu Hindia-Belanda) sudah punya hubungan dengan Prancis (masa Kerajaan Napoleon Bonaparte).
Kaum Huguenot
Karena mencoba membangun kontruksi sejarah relasi Indonesia-Prancis, buku ini dibuka dengan menceritakan kaum Huguenot yang berjasa bagi Indonesia. Kaum Huguenot sendiri adalah kelompok Kristen Reformis yang diburu di Prancis semasa pemerintahan Louis XIV (1660). Pertama, ada Cornelis Chastelein, pejabat di perusahaan dagang Vereenigde Oost-indische Copagnie (VOC).Sebagai Kristen Reformis yang taat Chastelein, keluar dari VOC yang prinsip dagangnya ia nilai bertentangan dengan ajaran agamanya. Selepas keluar dari VOC dan memulai mengembangkan pertanian ala negara asalnya dengan membeli banyak lahan kosong. Ia memerdekakan budaknya pada tahun 1714, sebelum kematiannya bahkan ia mewasiatkan tanahnya agar dibagi ke para budaknya.
Kedua, Edy Du Perron, tokoh jurnalis yang terinspirasi dari Multatuli. Ia penulis progresif di Jurnal Kritiek en Opbouw di Bandung. Jurnal ini satu-satunya media yang secara tegas menuliskan ketidaksetujuan orang-orang Belanda sendiri terhadap kebijakan kerajaannya di Hindia-Belanda. Kelak dia yang menerjemahkan karya Soewarsih (feminis Indonesia) "Manusia Bebas" menjadi "buiten het Gareel” (Di Luar Kekang).
Raden Saleh di Eropa
Pada Tahun 1829, Raden Saleh (18) meninggalkan Pulau Jawa menuju Belanda. Tahun 1845 Raden Saleh datang ke Prancis dan diperkenalkan sebagai Pangeran dari negeri eksotis nan misterius. Raden Saleh dalam lukisannya "Banjir di Jawa" (Een over-storming op Java) dinilai mempunyai komposisi sama dengan lukisan terkenal Theodore Garicault yang menggambarkan tenggelamnya Kapal Medusa dan menjadi ikon di Museum Louvre, Prancis.Raden Saleh kembali ke Jawa Tahun 1849, membangun rumah di daerah Cikini dan sempat tinggal di Yogyakarta Tahun 1867. Lama di Eropa membuat ia membangun rumah mirip Istana ala arsitektur Eropa di Cikini. Rumah tersebut kemudian dibangun lembali berkat sumbangan Ratu Belanda untuk menjadi sebuah Rumah Sakit, sekarang bisa dilihat bangunan tersebut menjadi Rumah Sakit Persatuan Gereja-Gereja Indonesia.
Selain Raden Saleh, dalam sejarah modern buku ini juga menyebutkan perjalanan Soemitro Djojohadikoesoemo, ayah Parabowo Subianto yang sering dilabeli sebagai Begawan ekonomi Indonesia, selama menempa diri di Eropa.
Pada 9 Juli 1810, Napoleon Bonaparte menganeksasi Kerjaan Belanda menjadi Departemen ke sembilan Kerajaan Prancis. Tidak lama, di tahun yang sama pada 28 Desember Napoleon mengutus Mayor Jendral Jan Willem Janssens untuk menjadi Gubernur Hindia Belanda menggantikan Dandeles. Janssens dibantu Jendral Lapangan Jean-Marie Jumel.
Duet duo Jendral itu adalah akhir masa kejayaan Napoleon Bonaparete menguasai Jawa. Diawali pendaratan pasukan Inggris dibawah komando Lord Minto, pada 4 Agustus 1810 pasukan Inggris mulai menyerang pasukan Belanda-Prancis, Janssens terpukul mundur ke Bogor, dan akhirnya sampai ke Semarang dan menyerah kepada Inggris di sekitar Sungai Tuntang (sekarang wilayah administrasi Kabupaten Semarang). Janssens menandatangani kapitulasi ke Jenderal Inggris, Auchmuty.
Bangunan Prancis yang dulu terdiri dari vila-vila mewah sepanjang Jalan Gajah Mada sekarang hanya menyisakan Gedung Arsip Nasional. Buku ini kurang detail dalam penyampaiannya sebagai buku bergenre sejarah, tetapi kekurangan itu ditutupi dengan beberapa buku atau dokumen lain yang dirujuk jika pembaca ingin tahu lebih detail, lebih jauh dan dalam.
Di Bab yang lain kita juga disuguhkan beberapa sejarah Kerajaan Jawa pada medio awal abad IXX. Tentara Mangkunegaraan yang dididik ala tentara Prancis, sampai keterlibatan mereka menghalau Inggris bersama pasukan Belanda-Prancis. Meski begitu kita juga harus berhati-hati membaca, misal penyebab Perang Jawa (Diponegoro) yang disimplisitkan, kita harus siap-siap mencari data tambahan, pembanding.
Urusan penerbitan, ada beberapa media cetak Prancis yang terkenal. Pertama Koran cetak tentang humor, seni dan kritik teater bernama La Lorgnete (1875-18876). Kemudian komik Tanguy-Laverdure, dari komik inilah latar sosial Prancis dipahami masyarakat Hindia Belanda sebagai salah satu negara anggota 5 besar di Perserikatan Bangsa-Bangsa bersama Amerika, Inggris, Rusia dan China.
Orang Didon dan Pramoedya
Pada Tahun 1873 Belanda mulai menyerang Kerajaan Aceh, perlawanan panjang ini baru berakhir pada tahun 1910 dengan kemenangan Belanda. Tahun 1875 saja 3.000 tentara Belanda dan Aceh meninggal dan 7.000 orang dinonaktifkan karena sakit dan luka yang parah. Kehilangan banyak tentara membuat pasukan dari Eropa didatangkan, Ini adalah awal “orang Didon” masuk nusantara.Orang Didon dikenal sebagai tentara Prancis yang pemberani tetapi berprilaku baik kepada perempuan dan anak-anak di menang perang. Dalam Bumi Manusia karya Paramodeya Ananta Toer, Jean Marais bisa digolongkan sebagai orang Didon. Mereka sebenarnya berasal dari kota Paris, mereka ke Hindia-Belanda setelah gagal mewujudkan pemerintahan ala komunis dan pemberontakannya (Commune de Paris) melawan pemerintah yang sah kalah.
Sumatera juga menjadi tempat mudik orang Jawa-Kaledonia, tepatnya di daerah Lampung. Mereka adalah kebanyakan orang Jawa Tengah, Betawi, dan Sumatera yang migrasi ke daerah Koloni Prancis di Kaledonia Baru, dekat Australia. Sampai sekarang masih ada warga Indonesia yang menetap di Kaledonia, sebagian keturuannya ada yang pulang ke Jawa dan ada yang menetap, sebagian memilih bermukim dan menjadi warga negara Prancis.
Beralih ke musik, Gamelan dan penari Jawa dari Mangkunegara berkemben pernah menyedot perhatian banyak warga Prancis di perhelatan 100 tahun peringatan Revolusi Prancis. Tarian tersebut tentu bertentangan dengan gaya pakaian perempuan zaman Victoria yang cenderung tertutup (lihat film Titanic). Sementara Gamelannya mengilhami karya L Benedictus, yaitu kumpulan transkip musik Debussy untuk dimainkan dengan piano yang berjudul Le Gamelang (Gamelan).
Tugas ilmu sejarah adalah untuk mengerti masa silam kemudian menerangkannya, tidak untuk menciptakan kembali atau menghidupakannya kembali pada masa sekarang. Sebab sejarah sendiri pun menginginkan adanya kemajuan.
Ilmu sejarah juga ingin mempelajari struktur dari serangkaian pristiwa besar yang begitu kompleks. Ilmu sejarah seringnya digunakan untuk mencoba membangun kepastian dan obyektifitas sejarah. Ilmu sejarah bisa menjelasakan pada kita tentang bagaimana kehidupan masa lampau manusia mengalami kemajuan dan kemandegan atau malah kemuduruan. Mempelajari relasi Indonesia-Prancis tentu bagian ikhtiar kecil membaca kontruksi peradaban dunia yang lebih besar lagi.