Siapa dan Apa Peran dari Seorang Intektual?




Judul : Peran Intelektual
Penulis : Edward Said
Penerbit : Yaysan Pustaka Obor Indonesia
Cetakan : Pertama, Tahun 1998
Tebal : 53 + 99 Halaman
ISBN : 979-461-293-6
Peresensi : Ahmad Muqsith

Karakteristik seorang intelektual adalah orang yang mengarang bahasa dan mencoba membicarakan kebenaran kepada pihak berkuasa (Edward Said).

Edward Said merupakan professor bahasa di Universitas Colombia, seorang nasionalis Palestina berkewarganegaraan Amerika. Ia terus lantang menentang Israel meski harus menghadapi resiko dikucilkan dari lingkungan pergaulannya. Buku ini adalah kumpulan pidatonya di siaran langsung radio BBC yang berjudul “Peran Intelektual”, acara yang selalu mengundang pemikir terkemuka pada zamannya tersebut terkenal dengan nama “Reith Lectures”.

Semangat intelektual Edward Said yang bernada oposisi sangat dipengaruhi beberapa tokoh seperti Malcom X dan James Baldwin. Bagi Said, kepentingan dan tantangan kehidupan intelektual ditemukan dalam pembangkangan terhadap status quo, terutama pada masa ketika perjuangan untuk kepentingan kaum yang tersisihkan, tampak ditimbang secara tidak adil.

Said mengajak pembaca berdialektika mengenai definisi “siapa itu intelektual” dengan memaparkan definisi dari J. Benda dan A. Gramsci.  Bagi Benda,  intelektual adalah sekelompok orang terpilih yang mewarisi moral filsuf-raja. Bagi seorang intelektual tidak ada kekuasaan yang terlalu besar untuk dikritik. Mengkritik memanglah tugas seorang intelektual. Bahkan, intelektual harus menghadapi resiko diasingkan bahkan disalibkan.

Said sendiri berpendapat intelektual sebagai pribadi dengan peran publik tertentu dan tidak bisa direduksi sebagai pribadi yang hanya berkompeten di bidangnya saja. Hal ini karena intelektual adalah pribadi yang dikaruniai bakat merepresentasikan, mengekspresikan, dan mengartikulasikan pesan, pandangan serta sikapnya kepada publik.

Peran intelektual tidak harus selalu diidentikkan dengan mengkritik kebijakan pemerintah. Lebih dari itu, perannya adalah mengawasi negara dengan penuh kewaspadaan, menjaga agar tidak ada kebenaran yang diselewengkan (h.19).

Said juga mengutip pendapat Matthew Arnold dalam buku Culture and Anarchy (1869), yang menyatakan bahwa negara adalah jati diri terbaik dari sebuah bangsa, sementara kebudayaan nasionalnya merupakan ekspresi terbaik dari apa yang dikatakan dan dipikirkan. Intelektual Menurut Arnold, adalah individu yang kapasitasnya untuk berpikir dan menimbang untuk merepresentasikan suatu pemikiran terbaik dan membuatnya berlaku.

Said menangkap dalam benak Arnold ada ketakutan jika masyarakat mendapatkan tatanan terlalu demokratis dan lebih banyak orang yang menuntut haknya untuk berpendapat dan melakukan hal yang mereka sukai, maka akibatnya masyarakat yang seperti itu akan lebih cengeng dan sulit diperintah. Jika terlanjur demikian hendaknya intelektual, meyakinkan dan menenangkan masyarakat dengan menunjukan ide dan literatur terbaik perihal cara untuk menjadi bagian dari komunitas nasional.

Ketakutan tersebut tentu bisa kita rasakan di Indonesia dewasa ini. Kemudahan akses internet membuat banyak orang berkomentar meski tanpa pengetahuan yang mumpuni, lalu menganggap komentar mereka sama bobotnya dengan pendapat orang yang benar-benar memahami suatu masalah yang sedang dibahas.

Tantangan Primordialisme

Di Bab II Said menggeser pembahasannya ke batasan kebangsaan seorang intelektual. Dia menggunakan pendekatan esai George Orwell, Politics and the English Language.  Said sangat berhati-hati ketika melempar pertanyaan ke publik, jika intelektual adalah individu, lalu bagaimana saat ia dihadapkan dengan isu yang melibatkan primordialisme atau nasionalisme? Hal ini tentu sangat mungkin menimbulkan konflik batiniyah si intelektual di tengah meningginya interaksi antar negara di zaman globalisasi ini.

Tugas intelektual adalah secara eksplisit me-universal--kan krisis serta memberi sentuhan kemanusiaan yang kental serta mengasosiasikan pengalaman tersebut dengan penderitaan masyarakat lainnya (h. 37). 

Penekanan Said ini tentu terpengaruh dari Woolf dan Walter Benjamin. Said bersikeras mempercayai bahwa menentang norma yang ada adalah satu-satunya peran intelektual modern yang paling masuk akal dibanding mengkompromikan norma-norma yang ada dengan kondisi realita seperti saran Edward Shils.

Maka dalam kasus isu masyarakat Papua misalnya, jika menuruti Said, intelektual harus mampu melampaui batasan primordialisme saat timbul konflik batin seperti, mempertanyakan apakah dengan mendukung masyarakat papua merdeka berarti bertentangan dengan doktrin NKRI harga mati? Padahal tugas intelektual me-universal-kan krisis, kemudian menyuarakan betapa nilai-nilai kemanusian telah terampas dan ditimbang secara tidak adil.

Profesionalisme Vs Amatirisme

Kemudian Said mengangkat pendapat Jacoby dalam The last intelectual, tesisnya menganggap bahwa intelektual yang tersisa sekarang hanyalah profesor yang tertutup, dengan penghasilan terjamin dan tak berkepentingan terhadap dunia di luar ruang kuliah. Mereka menulis prosa esoterik yang dipahami kalangan terbatas yang maknanya lebih untuk pencapaian akademis dan bukan untuk perubahan sosial. Jacoby melanjutkan kesinisannya dengan menyebut mereka tidak berupaya membangun perdebatan tetapi hanya membangun reputasi dan mengintimidasi mereka yang berada di luar kepakaran (h. 60-61).

Mengenai kepakaran (profesionalisme), Said punya istilah sendiri untuk menentangnya. Said menghadap-hadapkan profesionalisme dengan amatirisme, yaitu aktifitas yang digerakkan oleh kepedulian dan rasa, bukannya digerakkan laba, ego sendiri (oportunis) serta sosialisasi yang sempit. Karena semua intelektual punya pendengar dan wilayah, masalah yang muncul kemudian apakah pendengar itu harus dipuaskan dan dijaga agar merasa senang?

Said membawa kita ke permasalahan yang mendudukan kita di hadapan realita. Misalnya seorang intelektual tahu jika sesuatu benar, tetapi memutuskan untuk tidak memilihnya agar terlihat tidak terlalu politis, agar tidak tampak kontroversial, karena butuh restu atasan atau figure kuat yang punya otoritas, ingin mempertahankan diri sebagai sosok moderat sehingga suatu saat masih bisa masuk kembali ke arus utama? Bagi said, jika ada intelektual seperti itu, maka itu adalah puncak korupsi pikiran tertinggi (h.86).