Sejak 12 Maret 2020, World Health Organisation (WHO) telah menetapkan Corona Virus Disease (COVID-19) sebagai pandemi global. Penetapan kondisi pandemi global dikarenakan virus jenis baru ini telah menjangkit 188 negara di seluruh dunia. Sejak artikel ini ditulis, Data Corona Virus Resource Center John Hopkins University U.S menyebutkan sekitar 4,3 juta orang terkonfirmasi positif dengan angka kematian lebih dari 300 ribu jiwa.
Amerika Serikat, Rusia, dan Inggris Raya menjadi tiga negara dengan jumlah kasus terbesar di dunia. Lantas mengapa virus yang pertama kali teridentifikasi di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok ini menyebar sangat cepat ke seluruh penjuru dunia? Bagaimana respon masyarakat internasional kontemporer (selanjutnya saya sebut sebagai MIK) di masa pandemi? Bagaimana solusi MIK dalam merespon ancaman resesi ekonomi global saat ini?
Memahami pola interaksi masyarakat global bukanlah sesuatu yang mudah. Selain perbedaan latar belakang sosial dan budaya, MIK adalah masyarakat cepat, tak bersekat, sangat dinamis dalam perkembangannya. Dalam memahami dinamika dan relasi internasional, banyak perspektif disiplin ilmu pengetahuan yang dapat digunakan, mulai dari aspek sosiologi, ekonomi, ataupun politik. Wattimena dan Banyu Perwita mencoba memberikan cara pandang yang baru untuk memahami dinamika hubungan internasional di era kontemporer.
Disiplin ilmu hubungan internasional (HI) adalah ilmu yang mempelajari hubungan antarnegara. Studi HI selalu berkaitan dengan 3 (tiga) hal penting, yaitu aktor, proses dan isu internasional. Penulis dalam buku ini mencoba untuk menghadirkan sebuah diskurus akademik HI yang lebih segar, aktual, dan mudah dipahami tanpa meninggalkan inti dari pembahasan. Buku ini merupakan karya penulis yang juga dikompilasikan dengan beberapa tulisan ilmiah yang sudah diterbitkan di beberapa Jurnal ilmiah nasional, internasional dan website pribadi. Buku ini tepat untuk dibaca oleh siapapun, tidak terbatas hanya untuk akademisi HI semata.
Seiring perkembangan zaman, globalisasi telah mengakibatkan hubungan internasional tidak terbatas pada relasi diplomatik di didang ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang melibatkan negara sebagai aktor utama. Hubungan internasional dalam perspektif kontemporer bukanlah pola relasi yang hanya didominasi oleh aktor-aktor negara, akan tetapi juga melibatkan aktor-aktor non-negara seperti organisasi non-pemerintahan internasional (INGO), masyarakat, dan Individu.
Singkatnya, sebagai contoh, kita dapat membeli telepon genggam produksi Tiongkok secara langsung, bersosial media untuk mengkritik kebijakan negara lain, mengikuti internship yang diselenggarakan oleh NGO internasional, atau hanya sekedar travelling untuk mengunjungi tempat wisata di banyak negara.. Aktivitas tersebut dapat dilakukan tanpa melibatkan negara sebagai aktor penghubung.
Memahami hubungan internasional kontemporer menurut Wattimena haruslah berangkat dari pemahaman yang utuh atas globalisasi di era kontemporer. Hal ini dikarenakan relasi internasional di era globalisasi abad ke-21 telah mengubah wajah politik internasional, ekonomi global, struktur sosial hingga identitas pribadi menjadi tidak bersekat lagi, serba transparan. Setidaknya ada empat pilar dalam globalisasi kontemporer, yaitu 1) internasionalisasi (saling terhubung) , 2) interdependensi (saling ketergantungan), 3) Westernisasi (serba Barat) dan 4) perkembangan masyarakat dunia (kesadaran sebagai masyarakat global yang satu).
Pada pembahasan ini, Wattimena menyampaikan sebuah hal menarik tentang globalisasi sebagai Westernisasi. Ia mengidentikkan globalisasi sebagai Westernisasi atau pemujaan terhadapan budaya Barat (Amerika dan Eropa), tentu hal ini tidaklah sepenuhnya salah. Hal tersebut dikarenakan besarnya pengaruh budaya Barat yang hadir di kehidupan kita sekarang, dan mengarah pada homogenisasi cara hidup. Beberapa penulis menyebutkan bahwa Westernisasi sebagai bentuk imperialisme gaya baru (Neo-Imperialism) abad-21 yang didukung perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi (h. 3). Bagaimana bisa seperti itu?
Globalisasi sebagai identitas masyarakat internasional hari ini mengandung paradoks, yaitu kemakmuran bagi negara-negara maju serta kemiskinan dan ketidakadilan sosioekonomi bagi negara miskin dan berkembang. Globalisasi menuntut semua negara untuk berdiri dan duduk pada level yang setara. Artinya, adanya standarisasi terkait aktivitas ekonomi, politik, dan budaya.
Pada tahap ini, negara-negara miskin dan berkembang kesulitan untuk mengikuti level yang diterapkan oleh negara-negara maju, karena kemampuan pembangunan mereka yang sangat minim dan terbatas. Selanjutnya Watimena menjelaskan beberapa strategi dalam menyelesaikan paradoks dalam globalisasi tersebut. Strategi tersebut mencakup 1) kerjasama Global di bidang perdamaian, pendidikan, dan pelayanan kesahatan, 2) perlindungan ekonomi dan bisnis lokal, 3) adanya Good Governance dan partisipasi publik serta 4) menguatkan konsep Welfare State melalui jaminan sosial bagi masyarakat.
Relasi Internasional dalam Perspektif English School
Pandemi COVID-19 merupakan salah satu bentuk ancaman keamanan non-tradisional yang dihadapi dunia internasional hari ini. Sebagai ancaman yang tak kasat mata dan baru, COVID-19 telah benar-benar mengubah fokus masyarakat dunia. Hampir semua negara yang dulu fokus dalam pembangunan ekonomi kini bekerja keras dalam memutus mata rantai penyebaran virus.
Krisis epidemik global ini telah memaksa seluruh negara untuk melakukan langkah kuratif dan preventif guna melindungi warga negaranya dari bahaya virus jenis ini, mulai dari membangun fasilitas kesehatan, menutup akses keluar-masuk manusia, membatasi kerjasama internasional, melakukan penelitian terpadu, hingga menghentikan total aktivitas negara tersebut (lockdown).
Pandemi global ini setidaknya telah mengubah wajah masyarakat dunia kontemporer untuk sementara waktu. Sebagaimana kita ketahui, masyarakat internasional di era kontemporer adalah masyarakat saling terhubung, saling ketergantungan, serba maju, dan mempunyai kesadaran tinggi sebagai makhluk global. Masyarakat kontemporer abad ke-21 adalah masyarakat dunia yang dekat dengan kemajuan teknologi. Di setiap aktivitasnya, masyarakat internasional kini selalu terhubung dengan dunia luar melalui sambungan internet (Internet of Things).
Di awal pembahasan Watimena mencantumkan Teori English School. Teori ini muncul pada tahun 1959 sebagai hasil konsensus para pakar politik internasional yang difasilitasi oleh Kerajaan Inggris. Teori English School dalam studi internasional adalah sebagai cara untuk menjelaskan kompleksitas hubungan antar entitas internasional, yaitu relasi negara dan non-government orgnazation (NGO).
Teori ini didasarkan pada tiga konsep dasar, yaitu masyarakat internasional, masyarakat dunia, dan sistem internasional (h. Xxi). Sistem internasional dalam perkembangannya bisa kita lihat dengan adanya lembaga, organisasi atau hukum internasional yang mengikat kekuasaan-kekuasaan negara, seperti Uni Eropa (EU), Perserikatan Bangsa-bangsa (UN), ASEAN dan banyak organisasi internasional lainnya.
Masyarakat dunia identik dengan masyarakat kosmopolitan universal yang mempunyai visi global yang sama. Sedangkan masyarakat internasional adalah masyarakat yang memiliki kontrak sosial. Terinspirasi dari teori kontrak sosial Thomas Hobbes dan kosmopolitanisme Immanuel Kant, masyarakat internasional dalam English School adalah masyarakat yang saling berinteraksi satu sama lain sehingga muncul kesadaran universal sebagai komunitas global.
Jika dikaitkan dengan relasi masyarakat internasional kontemporer di masa pandemi seperti sekarang, nampaknya teori ini cukup relevan dalam menjelaskan pola relasi baru yang muncul akibat pandemi ini. Pandemi COVID-19 telah memperlihatkan kepada kita akan kepatuhan negara-negara di dunia terhadap protokol kesehatan yang diterapkan oleh WHO.
Sebagai organisasi kesehatan terbesar di dunia, WHO mempunyai kekuatan yang besar untuk memberikan rekomendasi terkait standarisasi kesehatan terhadap negara-negara di dunia, pelarangan akses-keluar masuk warga negara tanpa izin, strandarisasi alat kesehatan, hingga anjuran untuk memperbanyak fasilitas kesehatan. Dan yang terbaru, organisasi Uni Eropa sedang berkolaborasi dengan negara-negara anggotanya untuk menciptakan vaksin virus ini.
Pandemi COVID-19 juga telah memunculkan sebuah gerakan bersama untuk terbebas dari virus. Banyak gerakan global untuk melawan corona, baik tingkat negara seperti negara Tiongkok yang membantu Italia, Serbia, Spanyol, Arab Saudi dan Iran dengan mengirimkan tenaga medis dan alat kesehatan, atau tingkat individu seperti gerakan mahasiswa kedokteran dan kampanye musisi internasional tentang #stayathome yang tersebar di seluruh dunia.
Selain itu, di Indonesia juga banyak aksi-aksi penggalangan dana untuk membantu masyarakat terdampak pandemi ini, seperti #konserdirumahaja, Konser Amal dari Rumah, dan banyak aksi sosial lainnya. Aksi dan gerakan ini tentunya tidak akan muncul tanpa adanya kesadaran sebagai masyarakat internasional yang mempunyai kesadaran yang sama dalam melawan pandemi ini.
Solusi atas Ketidakamanan Ekonomi di Masa Pandemi
Selain berdampak pada kesehatan manusia, pandemi global COVID-19 juga berdampak pada memburuknya perekonomian dunia. International Monetary Fund (IMF) mengatakan bahwa kondisi ekonomi global saat ini merupakan kondisi terparah sejak tahun 1930. Penerapan kebijakan lockdown di banyak negara adalah penyebabnya. Akibat kebijakan tersebut, banyak industri jasa berhenti beroperasi, aktivitas manufaktur menurun, perdagangan menyusut dan pada akhirnya berdampak pada menyusutnya ekonomi global dan meningkatkan angka pengganguran di dunia.
Banyak negara menerapkan kebijakan ekonomi untuk menyelamatkan negaranya dari dampak resesi ekonomi global. Amerika Serikat menggelontorkan 2 triliun USD untuk menjaga stabilitas ekonomi mereka. Pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan ekonomi yang nilainya 213,7 miliar dollar Australia atau hampir 2000 triliun rupiah untuk menjaga perokonomian mereka. Negara kita Indonesia telah menyiapkan Rp 405,1 triliun untuk penanganan dampak pandemi ini. Upaya-upaya tersebut dilakukan tidak lain adalah untuk menghindari dampak yang lebih buruk yang disebabkan oleh krisis dan ketidakamanan ekonomi di negara masing-masing.
Watimena juga mengutip Barry Buzan, ahli hubungan internasional dari London School of Economics, bahwa keamanan global akan terancam dengan adanya isu-isu keamanan non tradisional seperti keamanan ekonomi. Lebih lanjut lagi, Helen Nesadurai, seorang pakar ekonomi politik dari Monash University, menyatakan bahwa keamanan ekonomi dapat terjamin ketika negara-negara di era globalisasi mampu mencapai 3 hal berikut, yaitu aliran pendapatan dan konsumsi dasar masyarakat, integritas pasar, dan ekuitas distributif (h.38). Di masa pandemi sekarang ini tentunya ancaman tersebut tampak nyata dan membayangi semua negara.
Pandemi global COVID-19 seharusnya menjadi momentum yang tepat bagi dunia internasional untuk meninjau ulang sistem perekonomian dunia yang selama ini mereka gunakan. Sebagaimana kita ketahui, sistem perekonomian dunia hari ini adalah sistem persaingan bebas yang berorientasi pada pasar dan kapital semata. Akibat dari ini, tentu akan menimbulkan ketidakadilan ekonomi akibat tidak adanya kesetaraan dalam modal.
Negara maju dengan modal yang besar akan mendapatkan keuntungan dari sistem ini, sedangkan negara miskin dengan modal kecil akan semakin terjebak pada dominasi negara-negara kaya. Dalam buku ini, Watimena menawarkan sebuah konsep solusi dari sistem kapitalisme ekonomi global, yaitu ekonomi pasar ekososial. Sistem ekonomi ini merupakan sebuah respon terhadap dua model klasik teori ekonomi tentang pasar, yaitu ekonomi liberal kapitalis (free trade) dan ekonomi terpusat.
Ekonomi pasar ekososial merupakan sistem yang mempertimbangkan aspek keamanan sosial, performa ekonomi, dan kesadaran ekologis. Ekonomi pasar ekososial menawarkan cara berpikir baru dalam memecahkan ketidaksetaraan ekonomi global. Rekomendasi dari perspektif ekonomi ekososial adalah pembentukan kontrak global untuk melawan ketidaksetaraan ekonomi global, kemiskinan, dan kesehatan.
Rekomendasi selanjutnya adalah membentuk institusi politik adil yang mendukung kerja pembangunan dan kerangka kerja internasional untuk investasi politik global yang adil dan ramah lingkungan. Selain itu, adalah perdagangan yang adil, sistem keuangan yang memberikan anggaran pembangunan di negara miskin dan berkembang, kerja sama global untuk memerangi perubahan iklim, dan kerjasama internasional untuk melawan kejahatan internasonal seperti korupsi.
Sistem pasar ekososial tentu menjadi relevan sebagai solusi atas sistem perekonomian global saat ini. Sistem ini akan sangat berdampak positif bagi semua negara karena akan memunculkan keadilan sosial ekonomi. Pembangunan ekonomi dan sosial juga akan terjadi secara merata, mengurangi angka ketergantungan ekonomi negara miskin, dan yang terpenting sistem ini akan menjadikan semua negara akan lebih mandiri, termasuk kebangkitan ekonomi pasca krisis yang diakibatkan oleh pandemi seperti sekarang ini.
Sebagai hasil kajian akademik, buku ini terkesan tidak fokus pada satu topik pembahasan. Akan tetapi karya ini membahas begitu banyak persoalan kontemporer, mulai dari isu sosial, ekonomi, politik-keamanan global, agama, perdamaian, hingga strategi keamanan siber. Hal ini menjadikan pembaca akan dibingungkan dengan inti yang hendak disampaikan dalam buku ini.
Selain itu, bagi pembaca pemula terkait isu-isu internasional, buku ini akan sedikit sulit untuk dipahami karena menggunakan pemilihan kata yang lebih dekat dengan kajian-kajian filsafat. Pembaca sekiranya perlu untuk membaca referensi-referensi terkait tema ini sebelum membaca buku ini. Sedangkan hal yang sangat menarik dari buku ini adalah kemampuan Watimena untuk menghadirkan banyak problematika global menjadi lebih dekat dengan kehidupan kita, sehingga kita sebagai pembaca akan merasa menjadi bagian dari dinamika global tersebut.
Muhammad Afit Khomsani